Tiba di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda |
Meskipun
saya lahir dan dibesarkan di Medan, jangan dikira kalau saya pernah berkunjung
ke Provinsi Aceh. Itu sebabnya, setelah seumuran ini ketika ada yang mengajak
berkunjung ke sana, hati saya girangnya bukan main. Seperti cerita saya
sebelumnya di sini, ide awal dari perjalanan
kami ke Aceh bermula dari obrolan iseng di rumah sakit. Ide itu datang dari
kakak kelas saat menjenguk anak saya yang sedang dirawat di rumah sakit.
Rencana
itu terucap di bulan Januari 2014. Cukup lama mempertimbangkannya. Setelah
semuanya disepakati lewat diskusi panjang, akhirnya kami terbang juga dan tiba
di Tanah Rencong. Begitu menjejakkan kaki di bumi yang akrab disebut Serambi
Mekah itu, pertama-tama yang terlintas di kepala saya adalah tentang tsunami.
Meskipun banyak informasi tentang peristiwa ini yang tersebar secara rinci dan saya
sudah membacanya tapi karena tak melihat secara langsung dan hanya bisa
menyaksikannya lewat tivi sehingga rangkaian berita tentang peristiwa mengerikan
itu membuat hati saya ingin sekali berkunjung ke Aceh.
Namun, hingga
kami dijemput dan langsung berjalan-jalan mengitari kota, sama sekali tidak
terlihat bekas-bekas tsunami yang telah meluluhlantakkan sebagian bumi Aceh.
“Sekarang semua sudah kembali normal dan tertata, Kak,” begitu ucap Usman,
penjemput kami. Hanya lokasi-lokasi yang sudah tertata baik itulah menurut
Usman menjadi saksi betapa mengerikannya tragedi itu dulu menghancurkan Aceh.
Di gerbang Kuburan Masal Siron (doc. pribadi) |
Di
sepanjang perjalanan dari bandara menuju penginapan, Usman sengaja menghentikan mobil jemputan
kami untuk menyinggahi pemakaman para korban tsunami Aceh. Kuburan Masal Siron,
namanya. Di kuburan yang berlokasi di Jalan Bandara Sultan Iskandar Muda inilah
dimakamkan sekitar 46.718 jiwa para syuhada tsunami Aceh. Merinding saya
menyimak penuturan Usman tentang mayat-mayat yang dikuburkan di sana. Usman
juga bercerita kalau dia ikut mencari mayat kerabatnya waktu itu dan sempat menyisir
ratusan mayat yang bergelimpangan pasca tsunami.
Setelah itu, saya masih belum ingin
menutup jejak ingatan pada peristiwa mengerikan itu. Meskipun kami terus
melanjutkan jadwal kunjungan di Aceh dengan kegiatan wisata lainnya, saya tetap
menyimpan sisa keingintahuan lainnya. Rasanya ingin sekali mendengar kisah itu
langsung dari korban yang selamat.
Di depan Museum (doc. pribadi) |
Ternyata
keinginan saya terpenuhi. Hari berikutnya kami diajak untuk mengunjungi Museum
Tsunami. Di sanalah jejak sejarah memilukan itu tersimpan. Sayangnya museum
belum dibuka, sementara kami harus segera berangkat menuju Sabang. Sahabat saya
berjanji akan kembali membawa kami ke sini setelah pulang dari Sabang.
Saya
tak berkecil hati dan justru merasa terpuaskan ketika niat menelurusi museum sempat tertunda. Keinginan saya yang ingin
menyimak langsung tragedi mengerikan itu
terjawab sudah. Salah satu kerabat sahabat saya yang tinggal di Aceh dengan
penuh haru mau menyempatkan diri dan berbagi pengalaman memilukan yang pernah
dialaminya tentang tsunami Aceh itu. Sambil duduk di atas batu berbentuk bola
yang diletakkan di tepi kolam museum itu, dia mulai berbagi ceritanya kepada
kami.
Akmal menceritakan pengalamannya (doc. pribadi)
Meskipun
dengan suara bergetar dan tersendat, Akmal (begitu namanya) mau mengisahkan
ulang apa yang sudah dialaminya. Waktu itu, Akmal merasa maut sudah
menjemputnya saat gulungan air setinggi lebih dari lima meter itu
mengombang-ambingkan tubuh gempalnya sesaat setelah dia bisa ke luar dari dalam
mobil. Sementara penumpang lainnya yang terjebak di mobil tak satu pun yang
selamat. Akmal menyaksikan itu dengan mata sadarnya.
Saksi bisu di dalam Museum Tsunami (doc.pribadi) |
Nama-nama korban tsunami (doc. pribadi) |
Menyimak
cerita Akmal, sambil merekam saya bolak-balik menahan napas. Ngeri dan haru
berbaur, mencekam. Tak terbayangkan jika saja saya yang mengalami itu. Menurut
Akmal, hingga saat ini pun dia sesekali masih susah menghilangkan memori pahit
itu. Sampai-sampai Akmal tak mau melihat laut untuk waktu yang lama.
Kapal yang terdampar di rumah Lampulo (doc.pribadi) |
Tidak
hanya Museum Tsunami Aceh yang mampu memberi kesaksian, beberapa tempat lainnya
masih menyisakan betapa hebatnya bencana itu. Kesanalah akhirnya kami dibawa
menyusurinya. Mulai dari kapal yang terdampar di atas rumah Lampulo, PLTD Apung
yang tercampak hingga beberapa kilometer dari tengah laut, hingga Mesjid
Baiturrahman yang tetap berdiri kokoh saat badai tsunami menghantamnya menjadi
bukti yang menunjukkan kebesaran Allah.
PLTD Apung yang tadinya berada di tengah laut (doc. pribadi) |
Mesjid Baiturrahman yang tetap berdiri kokoh dan indah (doc. pribadi) |
Kembali
pada cerita Akmal. Satu yang saya catat dari kata-kata Akmal dan cukup menampar
hati saya juga. “Sudah sedemikian dahsyatnya pun Allah menegur saya, tapi
hingga saat ini masih saja sesekali saya lalai untuk tekun beribadah. Saya
terkadang malu dan merasa sangat berdosa karena sesungguhnya saya sadar bahwa
Allah sebenarnya sudah memberi kesempatan hidup kedua untuk saya,” ujarnya
tanpa kuat membendung air mata yang meleleh di pipinya.
Begitulah,
tsunami Aceh saya yakini sebagai bentuk peringatan Maha Dahsyat dari Allah SWT.
Bukan hanya bagi penduduk Aceh tapi untuk semua umat manusia di muka bumi ini.
Tapi, mengapa masih ada yang lalai seolah terlupa dengan teguran ini? Termasuk
saya. Astaghfirullah. [Wylvera W.]
Masya Allah, foto kapal terdampar itu, bisa ya jauh dari laut sampe kedarat.
BalasHapusIya, Mbak, gak kebayang ya gimana kekuatan tsunami itu. :(
Hapus