Laman

Selasa, 15 September 2015

Teguran itu Bernama Tsunami

#Repost
Tiba di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda
Meskipun saya lahir dan dibesarkan di Medan, jangan dikira kalau saya pernah berkunjung ke Provinsi Aceh. Itu sebabnya, setelah seumuran ini ketika ada yang mengajak berkunjung ke sana, hati saya girangnya bukan main. Seperti cerita saya sebelumnya di sini, ide awal dari perjalanan kami ke Aceh bermula dari obrolan iseng di rumah sakit. Ide itu datang dari kakak kelas saat menjenguk anak saya yang sedang dirawat di rumah sakit.
Rencana itu terucap di bulan Januari 2014. Cukup lama mempertimbangkannya. Setelah semuanya disepakati lewat diskusi panjang, akhirnya kami terbang juga dan tiba di Tanah Rencong. Begitu menjejakkan kaki di bumi yang akrab disebut Serambi Mekah itu, pertama-tama yang terlintas di kepala saya adalah tentang tsunami.
Meskipun banyak informasi tentang peristiwa ini yang tersebar secara rinci dan saya sudah membacanya tapi karena tak melihat secara langsung dan hanya bisa menyaksikannya lewat tivi sehingga rangkaian berita tentang peristiwa mengerikan itu membuat hati saya ingin sekali berkunjung ke Aceh.
Namun, hingga kami dijemput dan langsung berjalan-jalan mengitari kota, sama sekali tidak terlihat bekas-bekas tsunami yang telah meluluhlantakkan sebagian bumi Aceh. “Sekarang semua sudah kembali normal dan tertata, Kak,” begitu ucap Usman, penjemput kami. Hanya lokasi-lokasi yang sudah tertata baik itulah menurut Usman menjadi saksi betapa mengerikannya tragedi itu dulu menghancurkan Aceh.
Di gerbang Kuburan Masal Siron (doc. pribadi)
Di sepanjang perjalanan dari bandara menuju penginapan, Usman sengaja menghentikan mobil jemputan kami untuk menyinggahi pemakaman para korban tsunami Aceh. Kuburan Masal Siron, namanya. Di kuburan yang berlokasi di Jalan Bandara Sultan Iskandar Muda inilah dimakamkan sekitar 46.718 jiwa para syuhada tsunami Aceh. Merinding saya menyimak penuturan Usman tentang mayat-mayat yang dikuburkan di sana. Usman juga bercerita kalau dia ikut mencari mayat kerabatnya waktu itu dan sempat menyisir ratusan mayat yang bergelimpangan pasca tsunami.
            Setelah itu, saya masih belum ingin menutup jejak ingatan pada peristiwa mengerikan itu. Meskipun kami terus melanjutkan jadwal kunjungan di Aceh dengan kegiatan wisata lainnya, saya tetap menyimpan sisa keingintahuan lainnya. Rasanya ingin sekali mendengar kisah itu langsung dari korban yang selamat. 
Di depan Museum (doc. pribadi)
Ternyata keinginan saya terpenuhi. Hari berikutnya kami diajak untuk mengunjungi Museum Tsunami. Di sanalah jejak sejarah memilukan itu tersimpan. Sayangnya museum belum dibuka, sementara kami harus segera berangkat menuju Sabang. Sahabat saya berjanji akan kembali membawa kami ke sini setelah pulang dari Sabang.
Saya tak berkecil hati dan justru merasa terpuaskan ketika niat menelurusi museum sempat tertunda. Keinginan saya yang ingin menyimak langsung tragedi mengerikan  itu terjawab sudah. Salah satu kerabat sahabat saya yang tinggal di Aceh dengan penuh haru mau menyempatkan diri dan berbagi pengalaman memilukan yang pernah dialaminya tentang tsunami Aceh itu. Sambil duduk di atas batu berbentuk bola yang diletakkan di tepi kolam museum itu, dia mulai berbagi ceritanya kepada kami. 


Akmal menceritakan pengalamannya (doc. pribadi)

Meskipun dengan suara bergetar dan tersendat, Akmal (begitu namanya) mau mengisahkan ulang apa yang sudah dialaminya. Waktu itu, Akmal merasa maut sudah menjemputnya saat gulungan air setinggi lebih dari lima meter itu mengombang-ambingkan tubuh gempalnya sesaat setelah dia bisa ke luar dari dalam mobil. Sementara penumpang lainnya yang terjebak di mobil tak satu pun yang selamat. Akmal menyaksikan itu dengan mata sadarnya.
Saksi bisu di dalam Museum Tsunami (doc.pribadi)
Nama-nama korban tsunami (doc. pribadi)
Menyimak cerita Akmal, sambil merekam saya bolak-balik menahan napas. Ngeri dan haru berbaur, mencekam. Tak terbayangkan jika saja saya yang mengalami itu. Menurut Akmal, hingga saat ini pun dia sesekali masih susah menghilangkan memori pahit itu. Sampai-sampai Akmal tak mau melihat laut untuk waktu yang lama. 
Kapal yang terdampar di rumah Lampulo (doc.pribadi)
Tidak hanya Museum Tsunami Aceh yang mampu memberi kesaksian, beberapa tempat lainnya masih menyisakan betapa hebatnya bencana itu. Kesanalah akhirnya kami dibawa menyusurinya. Mulai dari kapal yang terdampar di atas rumah Lampulo, PLTD Apung yang tercampak hingga beberapa kilometer dari tengah laut, hingga Mesjid Baiturrahman yang tetap berdiri kokoh saat badai tsunami menghantamnya menjadi bukti yang menunjukkan kebesaran Allah. 

PLTD Apung yang tadinya berada di tengah laut (doc. pribadi)

Mesjid Baiturrahman yang tetap berdiri kokoh dan indah (doc. pribadi)
 Kembali pada cerita Akmal. Satu yang saya catat dari kata-kata Akmal dan cukup menampar hati saya juga. “Sudah sedemikian dahsyatnya pun Allah menegur saya, tapi hingga saat ini masih saja sesekali saya lalai untuk tekun beribadah. Saya terkadang malu dan merasa sangat berdosa karena sesungguhnya saya sadar bahwa Allah sebenarnya sudah memberi kesempatan hidup kedua untuk saya,” ujarnya tanpa kuat membendung air mata yang meleleh di pipinya.
Begitulah, tsunami Aceh saya yakini sebagai bentuk peringatan Maha Dahsyat dari Allah SWT. Bukan hanya bagi penduduk Aceh tapi untuk semua umat manusia di muka bumi ini. Tapi, mengapa masih ada yang lalai seolah terlupa dengan teguran ini? Termasuk saya. Astaghfirullah. [Wylvera W.]

2 komentar:

  1. Masya Allah, foto kapal terdampar itu, bisa ya jauh dari laut sampe kedarat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak, gak kebayang ya gimana kekuatan tsunami itu. :(

      Hapus