#Part 1
Pulau Bali bukanlah destinasi baru
yang pernah saya kunjungi. Saya sudah tiga kali ke sana. Dua kali bersama
keluarga dan sekali bersama teman. Ketika pengurus Persatuan Istri Pegawai Bank Indonesia (PIPEBI) Pusat
memutuskan untuk mengadakan acara perpisahan (mengakhiri periode kepengurusan) ke sana, saya biasa saja. Tidak terasa akan
menemukan sesuatu yang berbeda. Ternyata saya salah besar. Mengapa? Ikuti
catatan saya selama empat hari di Bali ini. Yuuuk ....
Terbang
dari bandara Soekarno Hatta
Pagi itu, Senin, 16 November 2015, kami (26 orang) dijanjikan
untuk berkumpul di terminal keberangkatan bandara Soekarno Hatta. Pesawat
Garuda yang akan menerbangkan kami ke Denpasar Bali, berangkat pukul
07.50 WIB. Begitu tiba dan bergabung dengan ibu-ibu PIPEBI, saya langsung
merasakan sensasi awal. Bagaimana tidak. Dress
code bernuansa kuning yang disepakati langsung menarik perhatian. Belum
lagi kehebohan saat tiba-tiba muncul ide untuk berfoto. Wuiiih ...! Bandara itu
serasa milik kami. Tentu saja, banyak mata yang melirik. Cueeek ....
Seruuu ...! |
Singkat cerita, pesawat yang kami
naiki pun siap terbang. Penerbangan yang menghabiskan durasi sekitar 1 1/2 jam,
akhirnya mendarat di bandara Ngurah Rai. Kembali nuansa kuning meramaikan
bandara dengan sesi foto. Seolah moto kami, “Tiada waktu jeda tanpa berfoto
ria”. *dilarang protes ...hihi*
Hari
Pertama di Bali
Setelah urusan bagasi selesai, kami
tidak diantar ke hotel. Bis wisata yang sudah menunggu, langsung membawa kami menuju
Rumah Makan Ayam Betutu “Gilimanuk”. Tempatnya biasa saja, tapi pengunjungnya
lumayan ramai.
Tempatnya biasa tapi pengunjungnya luar biasa (dokpri) |
Ayam
Betutu merupakan salah satu masakan khas Bali. Betutu adalah lauk yang terbuat
dari ayam atau bebek utuh berisi bumbu. Memasaknya dengan cara memanggang. Ayam
Betutu merupakan makanan khas Gilimanuk yang awalnya digunakan sebagai sajian
pada upacara keagamaan dan upacara adat. Sejalan dengan perkembangannya makanan
ini juga dijadikan hidangan utama yang dijual di rumah-rumah makan, hotel, dan
tempat-tempat tertentu.
Maaf, terlalu jauh jarak motonya ya (dokpri) |
Sementara,
di RM. Ayam Betutu Gilimanuk yang kami singgahi, ayam yang disajikan adalah
jenis ayam kampung. Ada dua jenis, yaitu berkuah yang rasanya lumayan
pedas dan digoreng. Saya tidak tahan makanan pedas, jadi saya memilih yang
digoreng. Hmm ... mantaps!
Pura
Taman Ayun
Setelah kenyang
menyantap ayam betutu, perjalanan pun dilanjutkan menuju Pura Taman Ayun. Pura
ini terletak di Desa Mengwi, Kabupaten Badung, sekitar 18 km ke arah Barat dari
Denpasar. Sesuai dengan namanya “Pura di Taman yang Indah”, pura ini memang indah
dan menyejukkan pandangan. Sesaat mampu mengalahkan udara panas yang semakin menyengat di kulit.
Papan nama ini berada di dekat pintu masuk taman (dokpri) |
Kolam yang bersih yang mengitari taman (dokspri) |
Selain
tertata rapi dan bersih, taman di dalamnya terlihat sangat terpelihara dengan
baik. Pura ini merupakan peninggalan Kerajaan Mengwi yang memiliki nilai
sejarah. Pada tahun 2002, Pemda Bali mengusulkan kepada UNESCO agar pura ini
dimasukkan dalam World Heritage List. Catatan lengkap tentang Pura Taman Ayun
bisa dilihat di sini.
Cuaca
panas di atas langit Eropa Bali, membuat kami galau memilih. Buru-buru
kembali ke bis atau kembali berfoto ria. Tapi kapan lagi bisa ke sini. Sayang
rasanya kalau tidak berpuas-puas mengabadikan objek yang hampir seluruhnya
bagus di taman ini. Sambil berjuang menahan sengatan matahari, saya
menyempatkan diri untuk membidik sisi-sisi taman.
Sebenarnya
bukan hanya cuaca panas yang membuat kami tidak bisa berlama-lama di taman itu.
Program full day tour yang sudah
disepakati masih membutuhkan waktu. Ada tempat lain yang harus kami kunjungi
sebelum matahari tenggelam di hari pertama kedatangan kami di Bali.
Akhirnya,
setelah puas mengabadikan beberapa objek di Pura Taman Ayun, kami pun bergegas
menuju bis. Nyeeesss ... AC
bis langsung menetralkan rasa panas yang menyengat. Perjalanan pun dilanjutkan
menuju destinasi berikutnya.
Menuju
Pura Tanah Lot
Destinasi
berikutnya adalah Pura Tanah Lot, sebuah pura yang dibangun di atas batu
karang. Tempat yang sangat tepat untuk melihat sunset. Namun sebelum matahari
turun, kami memuaskan diri untuk menikmati objek di Tanah Lot.
Susahnya mencari lokasi yang sepi di sini. Alesyaaan .... ^_^ (dokpri) |
Saya sendiri sangat penasaran ingin
melihat dan menyentuh ular. Ular itu diyakini oleh masyarakat Bali sebagai Ular
Suci. Awalnya saya ragu karena hanya segelintir dari ibu-ibu PIPEBI yang mau
melihatnya. Namun, rasa penasaran saya mengalahkan keraguan. Lagi pula, ada
pawang ularnya di lokasi itu. Kalau ada apa-apa, si Pawang rasanya tidak mungkin
membiarkan saya mati konyol. *don’t try
this ya .... hihihi*
Ularnya kalem banget ^_^ (dokpri) |
Setelah berhasil menyentuh dan
berfoto dengan Ular Suci, saya juga ingin merasakan kesegaran “Air Suci” yang
mengalir dari sebuah lokasi semacam goa. Benar saja, airnya dingin dan
menyegarkan ketika dibasuh ke wajah. Selepas itu, para penjaga “Air Suci”
menempelkan beras dan menyelipkan kembang kamboja di balik jilbab saya. Tradisi
Bali yang sangat menarik perhatian para turis, tak terkecuali saya.
Airnya dingin. Brrr.... |
Habis merasakan air suci dikasih kembang |
Selebihnya, saya kembali bergabung
untuk sesi foto-foto seperti biasa. Kami sengaja menghabiskan waktu menunggu sunset. Namun sayang, cuaca tidak
terlalu mendukung. Saya tidak berhasil mengabadikan sunset di Tanah Lot. Akhirnya kebersamaan di Tanah Lot kami akhiri
dengan menyantap hidangan air kelapa muda yang langsung diminum dari kelapanya.
Segaaar ....
Ditutup
dengan makan malam
Hari pertama di Bali berakhir di
rumah makan. Sebelum check in di Kuta
Beach Club Hotel (tempat kami menginap selama di Bali), tour guide kembali mengajak kami menikmati santap malam di RM.
Tempo Doeloe. Karena badan sudah terasa sangat letih, saya tak sempat mengambil
foto hidangan yang disajikan di rumah makan itu. Yang saya ingat, semua menunya
sangat pas di lidah. Lezaaat ....
Sebelum melanjutkan cerita di hari kedua, sebenarnya ada cerita yang lumayan seru di malam pertama. Saat check in, hari sudah lumayan larut. Fisik kami pun sudah memaksa ingin diistirahatkan. Tapi ternyata harapan tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Kamar yang seharusnya sudah di-setting sedemikian rapi dan sesuai dengan rencana panitia, ternyata berubah.
Sebelum melanjutkan cerita di hari kedua, sebenarnya ada cerita yang lumayan seru di malam pertama. Saat check in, hari sudah lumayan larut. Fisik kami pun sudah memaksa ingin diistirahatkan. Tapi ternyata harapan tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Kamar yang seharusnya sudah di-setting sedemikian rapi dan sesuai dengan rencana panitia, ternyata berubah.
Posisi kamar kami yang 26 orang terpisah jauh. Saya dan teman sekamar
contohnya. Kamar kami berada di posisi paling belakang dari bangunan hotel.
Kalau saja tidak terlalu lelah, saya mungkin orang pertama yang akan teriak,
“Takuuut ...!” Begitu juga dengan beberapa teman lainnya. Intinya, kami menolak
diberikan kamar yang posisi jalan menuju ke sananya remang-remang dan sepi.
Setelah menunggu beberapa saat, dengan kesigapan tour guide kami yang
sabar dan baik hati, kami pun akhirnya kembali mendapatkan posisi kamar yang
aman dan saling berdekatan.
[Wylvera W.]
--------------
Bersambung -------------