(#Part 1)
Sesaat setelah keluar dari pesawat (dokpri) |
“Ikut
yuk! Habis aku seminar, kita lanjut jalan lagi berdua.”
Itu kalimat tawaran pertama yang
diajukan ke saya beberapa waktu setelah suami mendapat kesempatan seminar di
Frankfurt. Galau. Itu yang spontan
terbersit di hati saya. Berdua saja, itu artinya saya akan kembali meninggalkan
anak-anak selama berhari-hari. Belum lagi jadwal keberangkatannya masih dalam
suasana lebaran. Lalu, ditambah Khalid (anak bungsu saya) akan memulai kelas
barunya di level SMA. Waduh! Banyak sekali yang membuat saya tidak serta-merta
menerima tawaran suami ini.
Setelah
mempertimbangkan situasi dan kondisi, akhirnya kami menemukan solusi. Pertama,
saya bertanya ke anak-anak saya. Izin dari mereka adalah hal utama yang
akan meringankan hati saya menerima tawaran Bapak mereka. *meskipun pengin juga
sih, hahaha....*
Diskusi yang awalnya diwarnai nada
keberatan dari anak bungsu saya pun akhirnya berakhir dengan kata “setuju”.
Kami sepakat mengatur segala sesuatunya dengan rapi selama saya tidak di rumah.
Terlebih untuk keperluan Khalid yang baru saja memasuki jenjang SMA. Sebelum
berangkat, saya harus menyelesaikan semua urusan yang terkait dengan
pendidikannya di sekolah yang baru.
Alhamdulillah,
semua berjalan dengan lancar. Urusan daftar- mendaftar sekolah baru termasuk
atribut yang dibutuhkan Khalid, selesai saya urus. Solusi kedua pun segera kita
jalankan. Yaitu, mau tidak mau harus meminta kesediaan kedua orangtua saya
untuk kembali tinggal bersama kami. Meninggalkan anak-anak berdua saja di rumah
selama dua minggu tanpa pendamping, tentu tidak akan membuat saya lega.
Lagi-lagi, saya bersyukur... Nenek dan Kakek mereka akhirnya bersedia terbang
kembali dari Medan menuju Jakarta setelah lebaran seminggu. Amanlah sudah
perasaan saya untuk ikut dengan suami.
Terbang menuju Frankfurt
Setelah memuaskan waktu mudik di Medan (15 – 25 Juli 2015), kami pun
harus kembali ke Bekasi. Walaupun sebenarnya hati kami masih ingin berlama-lama
di tanah kelahiran saya dan suami, tapi tanggal 26 Juli 2015, suami dan saya
harus terbang menuju destinasi berikutnya. Ya, Frankfurt dan beberapa negara
lainnya.
Saya
selalu mengucap syukur atas segala kemudahan yang diberikan Allah Swt. untuk
semua rencana yang sudah kami susun bersama. Akhirnya setelah kedua orangtua
saya tiba di Bekasi, di hari yang sama (26 Juli ’15) sore harinya kami pun
berangkat menuju bandara Internasional Soekarno Hatta. Pesawat Singapore
Airlines yang akan membawa kami transit di Changi Airport berangkat pukul 19.50
WIB.
Hati saya terasa berdebar-debar
ketika penerbangan dilanjutkan menuju bandara Internasional Frankfurt
(Frankfurt Flughafen). Beberapa kenangan melintas-lintas di pikiran saya.
Frankfurt bukanlah kota yang asing bagi saya. Dulu, saat suami kembali dari
tugas belajar di University of Illinois, USA, kami sempat mampir ke Frankfurt
bersama anak-anak. Enam tahun sudah kenangan itu terlewati. Itu yang membuat
saya sedikit merasa excited.
Seperti apakah kota yang menjadi
pusat keuangan dan transportasi serta pusat finansial terbesar di Eropa itu
sekarang? Masih samakah ramainya seperti enam tahun lalu? Bagaimana dengan Römerberg (alun-alun di kawasan kota tua) yang telah meninggalkan jejak
kenangan bagi saya dan keluarga? Dan, pertanyaan lainnya yang membuat saya tak
sabar ingin segera menjejakkan kaki kembali di sana.
Setelah menempuh waktu
penerbangan sekitar 12 jam, akhirnya pesawat SQ yang kami tumpangi pun tiba di
Frankfurt Flughafen (27 Juli 2015). Saat itu masih pagi dan udara musim panas di Frankfurt
masih bersahabat di kulit.
“Frankfurt,
I’m coming!”
ucap saya sambil tersenyum ketika melihat nama bandara itu tertulis gagah jauh
dari posisi pesawat yang baru saja mendarat.
Seperti biasa, setiap memasuki
negeri orang, hal yang tidak bisa dilewati begitu saja adalah pos pemeriksaan
imigrasi. Di pos ini, petugas akan mengecek identitas di paspor, termasuk
halaman visa. Meskipun sudah beberapa kali melewati pos imigrasi seperti ini,
tentulah rasa cemas akan selalu ada. Tidak semua petugas di pos ini bisa bersikap
ramah. Terkadang ada saja yang sengaja mengajukan rentetan pertanyaan yang
membuat kita gugup. Seperti, “Siapa yang membiayai perjalanan, berapa lama,
dalam rangka apa,” dan sebagainya yang seolah sengaja membuat kita gugup
menjawabnya. Namun, untunglah, saya tidak dipersulit karena ikut dengan suami
yang menggunakan paspor dinas.
Urusan imigrasi pun selesai. Kami bergegas
mengambil bagasi setelah suami saya menukar uang dollarnya dengan Euro. Setelah
mengambil koper, perjalanan kami segera dilanjutkan. Karena suami akan
mengikuti seminar perbankan di Deutsche Bundesbank, beliau harus melaporkan
diri terlebih dahulu. Kami pun menuju kantor tersebut dengan taksi. Dari sana,
cerita akan saya lanjutkan di part berikutnya. Sabar ya. ^-^ [Wylvera W.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar