Laman

Jumat, 13 November 2015

Frankfurt, I’m Coming!

(#Part 1)

Sesaat setelah keluar dari pesawat (dokpri)

“Ikut yuk! Habis aku seminar, kita lanjut jalan lagi berdua.”

Itu kalimat tawaran pertama yang diajukan ke saya beberapa waktu setelah suami mendapat kesempatan seminar di Frankfurt.  Galau. Itu yang spontan terbersit di hati saya. Berdua saja, itu artinya saya akan kembali meninggalkan anak-anak selama berhari-hari. Belum lagi jadwal keberangkatannya masih dalam suasana lebaran. Lalu, ditambah Khalid (anak bungsu saya) akan memulai kelas barunya di level SMA. Waduh! Banyak sekali yang membuat saya tidak serta-merta menerima tawaran suami ini.

            Setelah mempertimbangkan situasi dan kondisi, akhirnya kami menemukan solusi. Pertama, saya bertanya ke anak-anak saya. Izin dari mereka adalah hal utama yang akan meringankan hati saya menerima tawaran Bapak mereka. *meskipun pengin juga sih, hahaha....*

Diskusi yang awalnya diwarnai nada keberatan dari anak bungsu saya pun akhirnya berakhir dengan kata “setuju”. Kami sepakat mengatur segala sesuatunya dengan rapi selama saya tidak di rumah. Terlebih untuk keperluan Khalid yang baru saja memasuki jenjang SMA. Sebelum berangkat, saya harus menyelesaikan semua urusan yang terkait dengan pendidikannya di sekolah yang baru.

            Alhamdulillah, semua berjalan dengan lancar. Urusan daftar- mendaftar sekolah baru termasuk atribut yang dibutuhkan Khalid, selesai saya urus. Solusi kedua pun segera kita jalankan. Yaitu, mau tidak mau harus meminta kesediaan kedua orangtua saya untuk kembali tinggal bersama kami. Meninggalkan anak-anak berdua saja di rumah selama dua minggu tanpa pendamping, tentu tidak akan membuat saya lega. Lagi-lagi, saya bersyukur... Nenek dan Kakek mereka akhirnya bersedia terbang kembali dari Medan menuju Jakarta setelah lebaran seminggu. Amanlah sudah perasaan saya untuk ikut dengan  suami.


Terbang menuju Frankfurt

            Setelah memuaskan waktu mudik di Medan (15 – 25 Juli 2015), kami pun harus kembali ke Bekasi. Walaupun sebenarnya hati kami masih ingin berlama-lama di tanah kelahiran saya dan suami, tapi tanggal 26 Juli 2015, suami dan saya harus terbang menuju destinasi berikutnya. Ya, Frankfurt dan beberapa negara lainnya.

            Saya selalu mengucap syukur atas segala kemudahan yang diberikan Allah Swt. untuk semua rencana yang sudah kami susun bersama. Akhirnya setelah kedua orangtua saya tiba di Bekasi, di hari yang sama (26 Juli ’15) sore harinya kami pun berangkat menuju bandara Internasional Soekarno Hatta. Pesawat Singapore Airlines yang akan membawa kami transit di Changi Airport berangkat pukul 19.50 WIB.

Hati saya terasa berdebar-debar ketika penerbangan dilanjutkan menuju bandara Internasional Frankfurt (Frankfurt Flughafen). Beberapa kenangan melintas-lintas di pikiran saya. Frankfurt bukanlah kota yang asing bagi saya. Dulu, saat suami kembali dari tugas belajar di University of Illinois, USA, kami sempat mampir ke Frankfurt bersama anak-anak. Enam tahun sudah kenangan itu terlewati. Itu yang membuat saya sedikit merasa excited.

Seperti apakah kota yang menjadi pusat keuangan dan transportasi serta pusat finansial terbesar di Eropa itu sekarang? Masih samakah ramainya seperti enam tahun lalu? Bagaimana dengan Römerberg (alun-alun di kawasan kota tua) yang telah meninggalkan jejak kenangan bagi saya dan keluarga? Dan, pertanyaan lainnya yang membuat saya tak sabar ingin segera menjejakkan kaki kembali di sana.

Setelah menempuh waktu penerbangan sekitar 12 jam, akhirnya pesawat SQ yang kami tumpangi pun tiba di Frankfurt Flughafen (27 Juli 2015). Saat itu masih pagi dan udara musim panas di Frankfurt masih bersahabat di kulit.

Frankfurt, I’m coming!” ucap saya sambil tersenyum ketika melihat nama bandara itu tertulis gagah jauh dari posisi pesawat yang baru saja mendarat.

Seperti biasa, setiap memasuki negeri orang, hal yang tidak bisa dilewati begitu saja adalah pos pemeriksaan imigrasi. Di pos ini, petugas akan mengecek identitas di paspor, termasuk halaman visa. Meskipun sudah beberapa kali melewati pos imigrasi seperti ini, tentulah rasa cemas akan selalu ada. Tidak semua petugas di pos ini bisa bersikap ramah. Terkadang ada saja yang sengaja mengajukan rentetan pertanyaan yang membuat kita gugup. Seperti, “Siapa yang membiayai perjalanan, berapa lama, dalam rangka apa,” dan sebagainya yang seolah sengaja membuat kita gugup menjawabnya. Namun, untunglah, saya tidak dipersulit karena ikut dengan suami yang menggunakan paspor dinas.

Urusan imigrasi pun selesai. Kami bergegas mengambil bagasi setelah suami saya menukar uang dollarnya dengan Euro. Setelah mengambil koper, perjalanan kami segera dilanjutkan. Karena suami akan mengikuti seminar perbankan di Deutsche Bundesbank, beliau harus melaporkan diri terlebih dahulu. Kami pun menuju kantor tersebut dengan taksi. Dari sana, cerita akan saya lanjutkan di part berikutnya. Sabar ya. ^-^ [Wylvera W.]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar