#Part 3
|
Menunggu kereta di stasiun Dornbusch |
Hari
ketiga tidak saya habiskan di Frankfurt. Sementara suami mulai mengikuti jadwal
seminar, saya tidak ingin menunggu dan hanya diam di motel. Sehari sebelumnya,
saya sudah menyusun rencana. Kebetulan ada anak teman saya yang kuliah di
Darmstadt. Wisnu nama anak muda yang santun dan
baik hati itu. Mamanya memberi saya nomor Wisnu. Jadilah kami saling menyapa lewat
whatsapp dan menyusun rencana
perjalanan di hari Rabu, 29 Juli ’15 itu.
|
Sarapan pagi di motel bersama suami |
Singkat
cerita, pagi itu setelah menemani suami menikmati jatah sarapan di motel, saya
pun minta izin untuk mengunjungi Heidelberg. Suami saya yang baik hati dan
pemurah itu, langsung memberi izin. Duh! Senangnyaaa....
Setelah
selesai sarapan dan melepasnya seminar, saya pun bersiap-siap menuju Frankfurt
Hauptbahnhof kembali. Bismillah ....
Siap menuju Heidelberg
Saya
dan Wisnu sepakat untuk bertemu di Frankfurt Hauptbahnhof jam 9 pagi. Sementara
kereta yang akan membawa kami berangkat pukul 10:10 waktu Frankfurt. Hmm... harga
tiketnya lumayan juga. Berdua totalnya 56 Euro (sstt ... jangan dikonversikan ke
rupiah ya, bakal nggak nyaman perjalanannya. Hahaha....). Tapi, tidak apa-apa,
demi memuaskan hati yang pengin banget melihat Heidelberg.
|
Stasiun kereta di Frankfurt yang tak pernah sepi (dokpri) |
Waktu tempuh dari Frankfurt ke
Heidelberg menghabiskan durasi sekitar satu setengah jam. Untunglah teman
seperjalanan saya ini tipe anak kuliahan yang tidak pendiam. Hingga waktu
selama itu tidak terlalu membosankan. Ada saja yang ingin dijelaskan Wisnu
kepada saya. Sesekali saya menimpali dan selebihnya memilih menyimak.
|
Selfie di kereta menuju Heidelberg |
Tiba
di stasiun Heidelberg, kami harus melanjutkan perjalanan dengan bis menuju
lokasi kastil dan kota tuanya. Wisnu ternyata sudah lebih dulu menghubungi
temannya yang sedang melanjutkan kuliah di kota tua yang romantis itu. Awalnya
saya pikir, temannya itu laki-laki juga. Begitu turun dari bis, kami disambut
cewek manis berjilbab yang sudah sabar menunggu di bawah rintik hujan.
“Kenalkan,
Tante. Ini Arin, temanku,” ujar Wisnu.
Perkenalan
singkat itu pun akhirnya membawa saya, Wisnu, dan Arin dalam suasana keakraban.
Seolah kami sudah lama saling mengenal. Setelah itu, Arinlah yang mengambil
alih menjadi tour guide kami.
Memutuskan naik kereta
menuju kastil
Ada momen lucu yang sepertinya bolehlah buat saya ceritakan di catatan
ini. Entah segan, atau apalah namanya. Wisnu dan Arin agak lama memberi
keputusan tentang cara supaya sampai ke Schloss Heidelberg atau yang lebih
populer disebut Heidelberg Castle itu. Pasalnya, mereka khawatir saya tidak
mampu mendaki bukit kalau tidak naik kereta. Nah, untuk naik kereta tarifnya
per orang sekitar 4 Euro untuk mahasiswa yang kuliah di sana, 6 Euro untuk
turis. Ini yang membuat mereka segan.
|
Wisnu dan Arin di dalam kereta (dokpri) |
|
Itu jalur yang dilewati kereta menuju bukit kastil (dokpri) |
|
|
|
|
Saya geli melihat kecanggungan
mereka. Maklumlah, anak kuliahan. Saya paham sekali kalau uang 4 Euro itu
sangat berarti buat mereka. Dan, tidak mungkin saya membiarkan mereka
menanggung biaya itu demi memuaskan rasa ingin tahu saya. Sayalah yang
bertanggung jawab untuk itu. Nah, setelah membeli tiket, kami pun menuju kereta
yang akan membawa kami mendakit ke puncak bukit dimana istana tua itu berada.
Menelusuri simbol utama
kota Heidelberg nan romantis
Heidelberg
merupakan kota otonom (Kreisfreie Stadt) yang terletak di Baden – Wurttemberg,
Jerman. Letaknya di tepi sungai Neckar. Kastil, kota tua, dan universitas
tertua (Universitas Heidelberg) membuat daya tarik tersendiri bagi Heidelberg.
Heidelberg adalah salah satu kota besar di Jerman yang tidak hancur dilanda
perang dunia kedua. Heidelberg juga merupakan bagian kawasan padat yang dikenal
sebagai Wilayah Rhein-Neckar Raya.
|
Berpose di salah satu sudut kota tua (dokpri) |
Salah
satu sudut pandang menarik dari Heidelberg adalah kota tua yang sudah ada dari
zaman Barok (Barocke Altstadt). Uniknya, jalan utama sepanjang 1,6 km (terpanjang
di Eropa) yang ada di kota tua hanya dikhususkan untuk para pejalan kaki. Di
sepanjang jalan ini berdiri bangunan-bangunan penting bersejarah.
Dari
sekian banyak bangunan bersejarah itu, tujuan utama saya mengunjungi kota ini
adalah Schloss Heidelberg atau Heidelberg Castle (Kastil Heidelberg). Inilah
yang menjadi simbol utama kota Heidelberg serta membuatnya mendapat julukan
kota paling romantis di Jerman. Selain naik kereta (funicular railway),
mencapai kastil yang berada di atas bukit dengan bangunan setinggi 80 meter
pada tebing gunung bisa juga dengan berjalan kaki. Tapi, saya lebih memilih
naik keretanya sajalah. Kasihan kalau Wisnu dan Arin nanti menjadi terbebani
jika tiba-tiba saya gempor. *hahaha
....*
|
Ini tempat pemberhentian keretanya |
Tak
sampai 5 menit, kereta kami pun tiba di jalur masuk menuju Kastil Heidelberg.
Saya pun menyiapkan kamera DSLR Nikon kesayangan suami. Begitu menapakkan kaki
di bukit itu, mata saya langsung tersedot oleh bangunan bergaya gothic dan renaissance itu. Kastil Heidelberg dibangun pada abad 13 di atas
bukit Koenigstuhl oleh Prince Rupert I yang juga dikenal sebagai pendiri Uni
Heidelberg. Kastil ini sarat dengan sejarah. Berkali-kali hancur akibat perang,
dibakar pasukan Prancis, disambar petir, dan dihajar meriam pasukan Swedia.
Belum lagi ketika penduduk Heidelberg beramai-ramai mengambil batu kastil untuk
mendirikan rumah baru mereka. Berkat jasa Charles de Graimberg (bangsawan
Prancis), bangunan kastil pun bisa diselamatkan dan dipromosikan sebagai objek
wisata hingga saat ini.
|
Pintu masuk menuju Kastil Heidelberg |
Kami
terus berjalan menelusuri bangunan kastil. Diam-diam saya masih memikirkan
sebutan “romantis” itu. Kira-kira dari sudut mana ya sebutan itu dipopulerkan? Namun,
sebelum usai, saya tak mau mempertanyakannya kepada Arin yang sudah lebih dari
dua tahun kuliah di Heidelberg.
Selain mengagumi kemegahannya,
tiba-tiba saya disuguhi sebuah bangunan yang letaknya menyatu dengan kastil itu
sendiri. Di depan sudah jelas diletakkan papan nama. Deutsches Apotheken Museum
dan Keller (ruang bawah tanah) tempat menyimpan gentong wine.
|
Pintu masuk ke museum apotek (dokpri) |
|
Wadah tempat menumbuk bahan obat-obatan (dokpri) |
“Kalau
mau moto, jangan pakai flash ya, Tan,”
pesan Arin mengingatkan saya.
Saya
mengangguk saja, padahal dalam hati ada rasa tidak puas jika mengambil gambar
di ruang tertutup dengan pencahayaan yang tidak maksimal tanpa blitz. Sesekali melanggar aturan saya
pikir tak masalah asal jangan ketauan. Kapan lagi saya bisa masuk ke museum
pembuatan obat-obatan yang super lengkap ini. *hahaha... don’t try ini ya*
|
Ada ruang apotek tempat anak-anak belajar meracik obat (dokpri) |
Saya
pun memuaskan mata dengan bidikan kamera di setiap objek yang bisa saya ambil.
Silakan nikmati hasilnya di bawah ini.
|
Lemari tempat penyimpanan obat-obatan (dokpri) |
Selesai
mengitari museum apotek tua itu, kami pun ke luar dan melanjutkan eksplorasi ke
sisi lain dari Schloss Heidelberg. Begitu menaiki tangga menuju teras atas,
barulah saya percaya kalau kastil ini mampu meniupkan aura romantisme yang
sesungguhnya.
|
dokpri |
|
Pemandangan dari atas pelataran kastil (dokpri)
|
Saya membayangkan, jika matahari senja turun di atas sana, maka
duduk di atas teras kastil dengan batu dinding batanya yang kemerah-merahan ini
sambil memandang kota Heidelberg di bawah sana bersama pasangan, tentulah mampu
menghadirkan keromantisan tersendiri.
|
Dari sini kami menuruni kastil (dokpri) |
Karena
tiket funicular railway yang kami
beli hanya untuk sekali jalan, maka ketika menuruni bukit kastil kami harus
berjalan kaki. Lumayanlah untuk saya. Untungnya Wisnu dan Arin mau menyamakan
langkahnya dengan derap perlahan kedua kaki saya yang mulai senja ini. *lebay
.... hahaha *
Menyusuri Altstadt
hingga ke Old Bridge
Saat
pertama masuk sebenarnya kami sudah melewati kota tua (Altstadt), namun karena
tujuan pertama adalah kastil, saya masih mengabaikannya. Saat turun dari kastil
itulah saya merasa seolah dibawa ke alam pada kisah-kisah zaman kerajaan di
Eropa. Di sepanjang kota tua Heidelberg ini tersedia kafe, restoran (ada yang
halal juga lho), toko-toko suvenir, butik, museum, gereja, monumen, market
square, dan balai kota. Saya sempat membayangkan wajah suami saat itu. Sayang
dia tidak bisa ikut serta menikmati keromantisan kota Heidelberg bersama saya.
|
Toko cokelat Lindt yang populer itu berdiri megah di Heidelberg |
Sesaat
sebelum menuju jembatan tua yang juga menjadi ikon kota Heidelberg, perut kami
tak bisa lagi diajak berdamai. Arin mengajak saya dan Wisnu untuk menikmati
kebab. Di restoran Turki itulah kami melepas lelah sambil mengisi perut yang
mulai keroncongan. Sambil menikmati kebab pilihan masing-masing, Arin bercerita
tentang jurusan yang diambilnya.
Kalau tidak salah dengar, Arin
mengambil jurusan BioKimia. Dia juga bercerita bahwa saat mengukur tekanan air,
tangga menuju bukit kastil pernah dijadikan tempat praktik. Mereka, teman-teman
mahasiswa Arin estafet mengantarkan air sampai ke tangga atas. Saya tersenyum
menyimak cerita-cerita Arin dan Wisnu. Terbayang, jika anak-anak saya kelak ada
yang pengin kuliah di Heidelberg.
|
Hotel Ritter di kawasan kota tua(dokpri)
|
Eiiits, ada Hardrock Cafe juga di sini (dokpri) |
|
Selepas makan siang, kami kembali
melanjutkan perjalanan menuju jembatan yang terbentang di atas Sungai Neckar.
Sesekali saya singgah dan membidik objek yang saya sukai. Salah satunya kedai
eskrim yang kata Arin murah banget harganya. Cukup 1 Euro, kita bisa menikmati
satu scoop eskrim sesuai pilihan rasa
yang kita suka. Namun karena saat itu udaranya lumayan dingin, kami
mengurungkan selera untuk mencicipinya.
|
Di sini kalau mau mencicipi eskrim murah itu (dokpri) |
|
Wisnu dan saya |
|
|
Bukan yang ini penjaga jembatan lho ya :p |
Satu lagi yang tak luput dari bidikan
kamera saya adalah patung kera yang terbuat dari logam. Lagi-lagi Arin sambil
bercanda mengatakan bahwa patung kera itu dilambangkan sebagai penjaga jembatan.
Baiklah kalau begitu... saya harus berfoto dengan patung keranya. *hahaha...
eksis sih kudu tetap*
Waktu memaksa saya
harus kembali ke Frankfurt
Sebelum benar-benar berpisah dari Arin, kami sempat dibawa melihat
perpustakaan tua yang ada di Heidelberg. Arin juga tidak lupa mengingatkan
saya.
|
Mampir ke perpustakaan (dokpri) |
“Jangan
lupa titipkan novel karya Tante ke Wisnu ya, Tan. Dia mau liburan ke Indonesia.
Aku penasaran pengin baca cerita “Geranium Blossom”,” ujar Arin yang ternyata
memiliki hobi menulis juga. Bahkan beberapa cerpennya pernah dimuat di media
asal kota kelahirannya (Padang).
Terima
kasih,
Arin. Semoga kita bisa bertemu lagi. Tante tidak akan lupa menitipkan
novel itu buatmu. Bahkan satu ide kisah romantis pun sudah tersimpan
rapi di kepala ini, Rin. Selamat meneruskan kuliahmu di Heidelberg.
To be continued .... [Wylvera W.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar