#Part
7
Setelah meninggalkan Munich, perjalanan
kami berlanjut ke destinasi berikutnya. Pengalaman di Munich dengan waktu
singgah yang pendek, membuat saya sedikit pesimis untuk bisa mengeksplor negara
kaya berikutnya itu. Tidak akan cukup waktu untuk menjelajahi semua sudut kota.
Dalam kereta menuju Luxemburg. ^_^ |
Kota yang akan kami kunjungi
merupakan kota yang letaknya di dataran tinggi berbatu, di salah satu lembah
Sungai Alzette dan Petrusse. Menurut sejarah, Pangeran Sigefroy (Siegfried)
adalah pendiri kota ini di tahun 963. Lalu dengan bantuan para bawahannya dan
penduduk di sekitar lembah, dibangunlah sebuah istana di atas tebing batu (yang
dikenal dengan nama Bock). Ke sanalah kami akan melanjutkan perjalanan yang
memasuki hari ke-7. Luxembourg, kami
datang ke kotamu.
Bingung
melihat kota yang sepi
Begitu ke luar dari stasiun, saya
sempat bingung. Tidak seperti Frankfurt dan kota-kota sebelumnya yang sudah
kami singgahi. Sepi sekali. Saat googling
di internet, saya sempat membaca kalau di negara ini banyak tempat wisata yang
masuk dalam bagian situs warisan dunia UNESCO. Malah gambar-gambar yang sempat
saya browsing didominasi oleh
bangunan kuno yang kokoh. Negara ini tidak memiliki pantai karena wilayahnya
berbatasan langsung dengan Paris, Jerman, Austria, dan Swiss.
Beberapa saat kami ragu. Kami belum
pasti mana bus yang tepat menuju lokasi hotel yang sudah dipesan. Beberapa
orang yang kami tanya lagi-lagi tak menguasai Bahasa Inggris. Masyarakat di
kota ini menggunakan bahasa Prancis, Jerman, Belanda, dan Luxembourg. Untunglah,
akhirnya kami bertemu dengan wanita muda yang Bahasa Inggrisnya lumayan.
Kebetulan dia juga ingin naik bus yang akan singgah di halte dekat jalan menuju
hotel pesanan kami. Dengan ramah dia mengatakan akan mengingatkan kami nanti
kalau haltenya sudah dekat.
Jalan menuju lokasi hotel kami. Lengang dan bersih sekali (dokpri) |
Tak
sampai sepuluh menit, kami pun turun di halte yang dimaksud. Berdasarkan arahan
wanita yang ramah tadi, kami kembali melanjutkan berjalan kaki. Tapi, hotelnya
belum juga ketemu. Lagi-lagi kami bertemu dengan seorang wanita separuh baya
yang tak kalah ramah dengan wanita muda sebelumnya. Wanita berpenampilan high class itu membawa anjingnya yang
lucu. Dialah yang memandu kami menuju hotel.
“Dejavu!” bisik saya dalam hati. Kejadian
tadi mengingatkan saya, ketika pernah kebingungan saat pulang dari klinik
setelah selesai imunisasi anak saya di Urbana Illinois, USA. Wanita separuh baya
yang sangat baik dan santun, bersama anjing piaraannya, waktu itu juga mau
meluangkan waktu mengantarkan saya dan anak saya menuju halte bus yang benar.
Jadi, dimanapun kita berada, jika kita menunjukkan sikap bersahabat, maka orang
lain juga akan menyambutnya dengan balasan serupa, atau mungkin bisa lebih baik.
Maka, jangan buru-buru berprasangka buruk. *jiaaah ... jadi ceramah*
Alhamdulillah,
akhirnya kami tiba di hotel Avenue Victor Hugo, 3 – 5 Limpertsberg Luxembourg,
1750, Luxembourg. *hahaha... lengkap* Sayang, saya lupa memoto hotelnya. Keheranan saya kembali muncul. Hotel yang
dipesan suami benar-benar senyap. Hanya ada seorang resepsionis perempuan yang
siap melayani kami. Pada saat duduk di bus dan melewati jalan-jalan kota
Luxemburg pun saya tidak melihat keramaian orang berlalu-lalang. Pada ke mana
mereka?
“Kotanya
lumayan sepi ya?” tanya suami saya kepada resepsionis hotel.
“Oh,
kalau hari Minggu memang seperti ini. Karena toko-toko banyak yang tutup, jadi
semua terpusat di suatu tempat saja. Kalau mau, kalian bisa ke lokasi wisata
dan beberapa area yang biasa dikunjungi turis,” ujarnya membuat saya refleks
menepuk kening.
Suami saya baik sekali memilihkan hotel-hotel yang nyaman (dokpri) |
Saya
nyaris ngakak menertawakan diri saat suami melirik ke arah saya. Pantas saja
seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan di beberapa ruas jalan yang sempat kami
lewati. Kami lupa kalau hari itu adalah hari Minggu yang tak sama dengan hari
kerja. Toko-toko dan restoran pun menurutnya tidak semua buka.
Melihat
landmark terdekat saja
Setelah meletakkan koper, kami
langsung keluar lagi. Dengan sisa waktu yang lagi-lagi sempit, kami mencoba memilih
down town Luxembourg. Berharap di
sana kami bisa menemukan beberapa lokasi yang menjadi salah satu ikon kota
Luxemburg. Sebelum keluar, Resepsionis hotel sudah memberi petunjuk tentang bus
mana saja yang bisa kami naiki.
Grand Theatre de Luxembourg |
Kami berjalan menuju halte terdekat
dengan hotel. Begitu duduk di halte, mata saya langsung jelalatan (baca: melihat ke sekeliling). Saya tersenyum lebar. Di
dekat halte sedikit ke kanan di seberang jalan, saya melihat sebuah gedung yang
bentuknya bukan seperti hotel. Ternyata gedung itu adalah Grand Theatre de Luxembourg yang diresmikan pada tahun 1964 sebagai
Theatre Municipal de la Ville de Luxembourg. Gedung ini sempat mengalami
renovasi (2002 -2003) termasuk perbaikan besar untuk teknologi panggung,
akustik, dan fasilitas pencahayaan. Gedung ini dijadikan pertunjukan utama
untuk drama, opera, dan balet.
“Ah, kapan ini busnya lewat!” kesal
suami setelah hampir 20 menit kami menunggu, bus tak kunjung tiba.
“Gimana kalau kita jalan aja ke
halte depan sana. Sepertinya itu taman kota ini,” ajak saya yang juga mulai
tidak sabar.
Sambil berjalan, saya kembali
mengingat-ingat informasi yang pernah saya baca. Dari keterangan di wikipedia,
Luxemburg adalah salah satu negara terkecil di Eropa. Negara ini berada pada
urutan ke-167 dibandingkan negara lainnya. Dengan luas sekitar 2.586 km²,
Luxemberg berbatasan dengan Provinsi Luxemburg milik Belgia di sebelah Barat,
yang luasnya 4.443 km².
Setelah berjalan kaki ke halte
berikutnya, bus yang kami tunggu pun tiba. Belum sempat rasanya meluruskan
kaki, bus pun sampai di halte yang kami tuju. Dengan sedikit berjalan kaki
lagi, kami pun tiba di pusat kotanya. Betul saja, di sini ternyata orang-orang
berkumpul. Berjalan ke arah Utara, tepatnya area Place d’ Arms ada pasar terbuka. Beragam barang serta makanan yang
dijual. Saya melihat sebagian barang-barang antik yang dijual seperti bekas
tapi terlihat masih bagus.
Seperti pasar kaget |
Abaikan kantong plastik itu ya ^_^ |
Di lokasi Place d’ Arms itu juga
banyak terdapat restoran dan penjual suvenir. Saat itu sedang ada pertunjukan
unik. Semacam akrobat seperti di film-film kungfu. Saya pun minta izin untuk
bisa berfoto dengan mereka. Setelah berfoto-foto sejenak, kami pun kembali
mencari tempat makan halal. Senang rasanya, karena kemanapun kami singgah,
selalu bertemu dengan restoran penjual sajian menu yang halal. Alhamdulillah.
Ilmu peringan tubuhnya keren ya ;) |
Keisengan di balik-balik gedung ^_^ |
Setelah
kenyang, kami memutuskan untuk tetap berjalan kaki hingga sampai di Gëlle Fra Memorial. Tampak patung The Golden Lady (sosok perempuan
berlapis emas pada obelisk batu) berdiri di atas tugu tinggi yang berada di
area Constitution Square. Monumen
ini didirikan pada tahun 1923 untuk memperingati Luxembourgers yang mati dalam
Perang Dunia I. Pada tanggal 20 Oktober 1940, Nazi merubuhkan monumen ini dan
pada tahun 1984 dibangun kembali ke bentuk aslinya. Di bagian bawah monumen ada
patung dua orang laki-laki. Yang satu terbaring mati, satunya lagi duduk
menangisi. Mereka merupakan lambang korban perang. Sementara monumen ini
melambangkan kebebasan dan perlawanan masyarakat Luxembourg. Di area inilah para
turis dari berbagai negara terpusat.
Gëlle Fra Memorial (dokpri) |
Ini bagian bawahnya |
Di sekitar monumen itu terdapat The
Bock (seperti yang saya sebut di awal catatan ini), sebuah tanjung di sudut
Utara Timur kawasan bersejarah Luxembourg City. Benteng alami dengan tebing
berbatu dan menara di atas Sungai Alzette yang mengelilinginya di tiga sisi. Di
sinilah dasar untuk pengembangan kota menjadi Luxemburg. Selama berabad-abad,
Bock dan pertahanan sekitarnya diperkuat, diserang, lalu dibangun kembali dari
waktu ke waktu. Di bawah dengan menuruni anak tangga yang tak sedikit jumlahnya
kami memasuki area seperti taman.
Penampakan bagian area The Bock dari tempat kami berdiri (dokpri) |
Sisi kanan kami (dokpri) |
Lokasi di bawah (dokpri) |
Di area bawah inilah tedapat Casemates,
terowongan pertama untuk pertahanan bawah tanah di bawah kastil tua yang digali
selama periode Spanyol (1644). Pada tahun 1994, Casemates ditambahkan ke daftar
situs warisan dunia UNESCO dan mampu menarik 100.000 wisatawan dalam setahun.
Wow! Luar biasa ya. Saya jadi teringat kalau Luxembourg disebut-sebut sebagai termasuk
negara kaya di Eropa. Walaupun tidak terlalu luas, namun perekonomiannya
stabil, pendapatan perkapita penduduknya tinggi, dan tingkat penganggurannya
sangat rendah.
Arah menuju Casemetes (dokpri) |
Ngos-ngosan menaiki anak tangga (dokpri) |
Totalnya 3x ini *lap jidat* (dokpri) |
Saya menepis keinginan untuk menyusuri semua objek di bawah. Khawatir
kelamaan, saya mengajak suami naik kembali ke atas. Hampir saja saya menyerah
menaiki anak tangga itu. Suami saya terpaksa menunggu beberapa saat, sampai
saya mampu menuntaskannya kembali ke atas. *hahaha ... ampuuun deh* Begitu
naik, kami berada kembali di Boulevard F.D. Rossevelt. Dari tempat kami berdiri
tampak menara Katedral Our Lady.
Boulevard F.D. Rossevelt (dokpri) |
Sisi samping Katedral Our Lady |
Luxembourg
meninggalkan obsesi yang membuat saya dan suami ingin
mengunjungi kota ini sekali lagi. Masih banyak tempat dan distrik
menarik yang
belum sempat kami singgahi. Kami belum sempat melihat Rondellen yang
merupakan balkon terindah di Eropa di Chemin de la Corniche. Kami juga
belum sampai ke Wiltz, yang menyimpan monumen
The International Pramuka One of Penny Monument untuk menghormati bapak
pramuka, Robert Baden Powell. Bahkan keinginan untuk berlama-lama di Olt
Town Luxemburg dimana Palais Grand Ducal ada di dekat sana, belum
tercapai.
Semoga masih ada waktu dan rezeki untuk kembali
ke sini.
Bersambung .... [Wylvera W.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar