Laman

Jumat, 13 November 2015

Obsesi yang Tertinggal di Luxembourg

#Part 7
            Setelah meninggalkan Munich, perjalanan kami berlanjut ke destinasi berikutnya. Pengalaman di Munich dengan waktu singgah yang pendek, membuat saya sedikit pesimis untuk bisa mengeksplor negara kaya berikutnya itu. Tidak akan cukup waktu untuk menjelajahi semua sudut kota.
Dalam kereta menuju Luxemburg. ^_^
            Kota yang akan kami kunjungi merupakan kota yang letaknya di dataran tinggi berbatu, di salah satu lembah Sungai Alzette dan Petrusse. Menurut sejarah, Pangeran Sigefroy (Siegfried) adalah pendiri kota ini di tahun 963. Lalu dengan bantuan para bawahannya dan penduduk di sekitar lembah, dibangunlah sebuah istana di atas tebing batu (yang dikenal dengan nama Bock). Ke sanalah kami akan melanjutkan perjalanan yang memasuki hari ke-7. Luxembourg, kami datang ke kotamu.
Bingung melihat kota yang sepi
            Begitu ke luar dari stasiun, saya sempat bingung. Tidak seperti Frankfurt dan kota-kota sebelumnya yang sudah kami singgahi. Sepi sekali. Saat googling di internet, saya sempat membaca kalau di negara ini banyak tempat wisata yang masuk dalam bagian situs warisan dunia UNESCO. Malah gambar-gambar yang sempat saya browsing didominasi oleh bangunan kuno yang kokoh. Negara ini tidak memiliki pantai karena wilayahnya berbatasan langsung dengan Paris, Jerman, Austria, dan Swiss.
            Beberapa saat kami ragu. Kami belum pasti mana bus yang tepat menuju lokasi hotel yang sudah dipesan. Beberapa orang yang kami tanya lagi-lagi tak menguasai Bahasa Inggris. Masyarakat di kota ini menggunakan bahasa Prancis, Jerman, Belanda, dan Luxembourg. Untunglah, akhirnya kami bertemu dengan wanita muda yang Bahasa Inggrisnya lumayan. Kebetulan dia juga ingin naik bus yang akan singgah di halte dekat jalan menuju hotel pesanan kami. Dengan ramah dia mengatakan akan mengingatkan kami nanti kalau haltenya sudah dekat. 
Jalan menuju lokasi hotel kami. Lengang dan bersih sekali (dokpri)
Tak sampai sepuluh menit, kami pun turun di halte yang dimaksud. Berdasarkan arahan wanita yang ramah tadi, kami kembali melanjutkan berjalan kaki. Tapi, hotelnya belum juga ketemu. Lagi-lagi kami bertemu dengan seorang wanita separuh baya yang tak kalah ramah dengan wanita muda sebelumnya. Wanita berpenampilan high class itu membawa anjingnya yang lucu. Dialah yang memandu kami menuju hotel.
Dejavu!” bisik saya dalam hati. Kejadian tadi mengingatkan saya, ketika pernah kebingungan saat pulang dari klinik setelah selesai imunisasi anak saya di Urbana Illinois, USA. Wanita separuh baya yang sangat baik dan santun, bersama anjing piaraannya, waktu itu juga mau meluangkan waktu mengantarkan saya dan anak saya menuju halte bus yang benar. Jadi, dimanapun kita berada, jika kita menunjukkan sikap bersahabat, maka orang lain juga akan menyambutnya dengan balasan serupa, atau mungkin bisa lebih baik. Maka, jangan buru-buru berprasangka buruk. *jiaaah ... jadi ceramah*
Alhamdulillah, akhirnya kami tiba di hotel Avenue Victor Hugo, 3 – 5 Limpertsberg Luxembourg, 1750, Luxembourg. *hahaha... lengkap* Sayang, saya lupa memoto hotelnya. Keheranan saya kembali muncul. Hotel yang dipesan suami benar-benar senyap. Hanya ada seorang resepsionis perempuan yang siap melayani kami. Pada saat duduk di bus dan melewati jalan-jalan kota Luxemburg pun saya tidak melihat keramaian orang berlalu-lalang. Pada ke mana mereka?
“Kotanya lumayan sepi ya?” tanya suami saya kepada resepsionis hotel.
“Oh, kalau hari Minggu memang seperti ini. Karena toko-toko banyak yang tutup, jadi semua terpusat di suatu tempat saja. Kalau mau, kalian bisa ke lokasi wisata dan beberapa area yang biasa dikunjungi turis,” ujarnya membuat saya refleks menepuk kening. 
Suami saya baik sekali memilihkan hotel-hotel yang nyaman (dokpri)
Saya nyaris ngakak menertawakan diri saat suami melirik ke arah saya. Pantas saja seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan di beberapa ruas jalan yang sempat kami lewati. Kami lupa kalau hari itu adalah hari Minggu yang tak sama dengan hari kerja. Toko-toko dan restoran pun menurutnya tidak semua buka.
Melihat landmark terdekat saja
            Setelah meletakkan koper, kami langsung keluar lagi. Dengan sisa waktu yang lagi-lagi sempit, kami mencoba memilih down town Luxembourg. Berharap di sana kami bisa menemukan beberapa lokasi yang menjadi salah satu ikon kota Luxemburg. Sebelum keluar, Resepsionis hotel sudah memberi petunjuk tentang bus mana saja yang bisa kami naiki.
Grand Theatre de Luxembourg
            Kami berjalan menuju halte terdekat dengan hotel. Begitu duduk di halte, mata saya langsung jelalatan (baca: melihat ke sekeliling). Saya tersenyum lebar. Di dekat halte sedikit ke kanan di seberang jalan, saya melihat sebuah gedung yang bentuknya bukan seperti hotel. Ternyata gedung itu adalah Grand Theatre de Luxembourg yang diresmikan pada tahun 1964 sebagai Theatre Municipal de la Ville de Luxembourg. Gedung ini sempat mengalami renovasi (2002 -2003) termasuk perbaikan besar untuk teknologi panggung, akustik, dan fasilitas pencahayaan. Gedung ini dijadikan pertunjukan utama untuk drama, opera, dan balet.
            “Ah, kapan ini busnya lewat!” kesal suami setelah hampir 20 menit kami menunggu, bus tak kunjung tiba.
            “Gimana kalau kita jalan aja ke halte depan sana. Sepertinya itu taman kota ini,” ajak saya yang juga mulai tidak sabar.
            Sambil berjalan, saya kembali mengingat-ingat informasi yang pernah saya baca. Dari keterangan di wikipedia, Luxemburg adalah salah satu negara terkecil di Eropa. Negara ini berada pada urutan ke-167 dibandingkan negara lainnya. Dengan luas sekitar 2.586 km², Luxemberg berbatasan dengan Provinsi Luxemburg milik Belgia di sebelah Barat, yang luasnya 4.443 km².
            Setelah berjalan kaki ke halte berikutnya, bus yang kami tunggu pun tiba. Belum sempat rasanya meluruskan kaki, bus pun sampai di halte yang kami tuju. Dengan sedikit berjalan kaki lagi, kami pun tiba di pusat kotanya. Betul saja, di sini ternyata orang-orang berkumpul. Berjalan ke arah Utara, tepatnya area Place d’ Arms ada pasar terbuka. Beragam barang serta makanan yang dijual. Saya melihat sebagian barang-barang antik yang dijual seperti bekas tapi terlihat masih bagus. 

Seperti pasar kaget
Abaikan kantong plastik itu ya ^_^
            Di lokasi Place d’ Arms itu juga banyak terdapat restoran dan penjual suvenir. Saat itu sedang ada pertunjukan unik. Semacam akrobat seperti di film-film kungfu. Saya pun minta izin untuk bisa berfoto dengan mereka. Setelah berfoto-foto sejenak, kami pun kembali mencari tempat makan halal. Senang rasanya, karena kemanapun kami singgah, selalu bertemu dengan restoran penjual sajian menu yang halal. Alhamdulillah. 
Ilmu peringan tubuhnya keren ya ;) 
Keisengan di balik-balik gedung ^_^
Setelah kenyang, kami memutuskan untuk tetap berjalan kaki hingga sampai di Gëlle Fra Memorial. Tampak patung The Golden Lady (sosok perempuan berlapis emas pada obelisk batu) berdiri di atas tugu tinggi yang berada di area Constitution Square. Monumen ini didirikan pada tahun 1923 untuk memperingati Luxembourgers yang mati dalam Perang Dunia I. Pada tanggal 20 Oktober 1940, Nazi merubuhkan monumen ini dan pada tahun 1984 dibangun kembali ke bentuk aslinya. Di bagian bawah monumen ada patung dua orang laki-laki. Yang satu terbaring mati, satunya lagi duduk menangisi. Mereka merupakan lambang korban perang. Sementara monumen ini melambangkan kebebasan dan perlawanan masyarakat Luxembourg. Di area inilah para turis dari berbagai negara terpusat. 
Gëlle Fra Memorial (dokpri)
Ini bagian bawahnya
Di sekitar monumen itu terdapat The Bock (seperti yang saya sebut di awal catatan ini), sebuah tanjung di sudut Utara Timur kawasan bersejarah Luxembourg City. Benteng alami dengan tebing berbatu dan menara di atas Sungai Alzette yang mengelilinginya di tiga sisi. Di sinilah dasar untuk pengembangan kota menjadi Luxemburg. Selama berabad-abad, Bock dan pertahanan sekitarnya diperkuat, diserang, lalu dibangun kembali dari waktu ke waktu. Di bawah dengan menuruni anak tangga yang tak sedikit jumlahnya kami memasuki area seperti taman. 
Penampakan bagian area The Bock dari tempat kami berdiri (dokpri)
Sisi kanan kami (dokpri)
Lokasi di bawah (dokpri)
Di area bawah inilah tedapat Casemates, terowongan pertama untuk pertahanan bawah tanah di bawah kastil tua yang digali selama periode Spanyol (1644). Pada tahun 1994, Casemates ditambahkan ke daftar situs warisan dunia UNESCO dan mampu menarik 100.000 wisatawan dalam setahun. Wow! Luar biasa ya. Saya jadi teringat kalau Luxembourg disebut-sebut sebagai termasuk negara kaya di Eropa. Walaupun tidak terlalu luas, namun perekonomiannya stabil, pendapatan perkapita penduduknya tinggi, dan tingkat penganggurannya sangat rendah.
Arah menuju Casemetes (dokpri)
Ngos-ngosan menaiki anak tangga (dokpri)
Totalnya 3x ini *lap jidat* (dokpri)
Saya menepis keinginan untuk menyusuri semua objek di bawah. Khawatir kelamaan, saya mengajak suami naik kembali ke atas. Hampir saja saya menyerah menaiki anak tangga itu. Suami saya terpaksa menunggu beberapa saat, sampai saya mampu menuntaskannya kembali ke atas. *hahaha ... ampuuun deh* Begitu naik, kami berada kembali di Boulevard F.D. Rossevelt. Dari tempat kami berdiri tampak menara Katedral Our Lady.
Boulevard F.D. Rossevelt (dokpri)
Sisi samping Katedral Our Lady
Luxembourg meninggalkan obsesi yang membuat saya dan suami ingin mengunjungi kota ini sekali lagi. Masih banyak tempat dan distrik menarik yang belum sempat kami singgahi. Kami belum sempat melihat Rondellen yang merupakan balkon terindah di Eropa di Chemin de la Corniche. Kami juga belum sampai ke Wiltz, yang menyimpan monumen The International Pramuka One of Penny Monument untuk menghormati bapak pramuka, Robert Baden Powell. Bahkan keinginan untuk berlama-lama di Olt Town Luxemburg dimana Palais Grand Ducal ada di dekat sana, belum tercapai.
Semoga masih ada waktu dan rezeki untuk kembali ke sini.
Bersambung .... [Wylvera W.]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar