#Part10
Deretan kincir angin di Zaanse Schans (dokpri) |
Rasa penasaran pada cara kerja
kincir angin, membawa saya menuju Amsterdam. Dari ibukota Belanda inilah saya
dan suami akhirnya mengunjungi kincir
angin yang sesungguhnya. Kincir-kincir angin itu ada di dua tempat. Pertama,
di Konderdijk. Kedua, di Zaanse Schans, merupakan desa di Belanda yang masih
memiliki cukup banyak kincir angin. Letaknya juga terkonsentrasi dalam satu
kawasan.
Untuk
mencapai Zaanse Schans dari Amsterdam bisa dilakukan dengan tiga pilihan cara.
Naik kereta, bis umum, atau dengan mengikuti paket tur. Kami memilih ikut paket
tur. Saat itu, saya dan suami ditawari paket tiga destinasi. Kami tidak hanya
bisa melihat kincir angin raksasa, tapi juga tempat pembuatan sepatu Belanda
serta berfoto ala Nona dan Tuan Holland.
Takjub
melihat kincir angin di Zaanse Schans
Ditemani
cuaca yang sejuk selepas hujan gerimis, kami berangkat dari Amsterdam tepat jam
1 lebih 15 menit. Perjalanan kami semakin menyenangkan karena ditemani oleh seorang
tour guide yang ramah dan berbengalaman.
Banyak informasi yang diceritakan oleh Diana, begitu tour guide itu memperkenalkan namanya kepada rombongan wisatawan di
dalam bis.
Tujuan
pertama kami adalah Zaanse Schans, destinasi wisata favorit yang hampir tidak
pernah dilewatkan oleh wisatawan saat tiba di Belanda. Selain menyuguhkan pemandangan
khas pedesaan Belanda yang sangat memesona, Zaanse Schans juga memiliki kincir
angin kuno yang hingga kini masih berfungsi dan beroperasi. Kincir-kincir angin
itu dibangun sekitar tahun 1700.
Menikmati pemandangan alam di Zaanse Schans (dokpri) |
Zaanse Schans berada di tepi sungai
Zaan. Sejak sekitar tahun 1600, penduduk memiliki mata pencaharian dari hasil
perdagangan ikan sungai. Keuntungan dari perdagangan itu mereka gunakan untuk
membangun kincir angin pertama yang awalnya hanya dipakai sebagai tenaga
pengering saja. Dari waktu ke waktu, fungsi kincir angin pun ditambah, yaitu
untuk menggiling hasil pertanian. Mulai dari gandum, kayu, padi, minyak, dan
material lainnya. Dari sejarah panjang ini, kincir angin (windmills) pun menjadi icon
Holland.
Sambil menyimak keterangan tour guide, mata saya susah lepas dari
keindahan pemandangan di sepanjang jalan menuju lokasi kincir angin
berada. Rumah-rumah kayu tradisional
khas Belanda, kanal-kanal kecil, rerumputan tertata rapi memisahkan jalanan
yang tidak terlalu luas. Pepohonan dan tiang-tiang lampu bermodel klasik ikut
menghiasi jalanan di deretan rumah-rumah pemukiman penduduk sekitarnya. Belum
lagi areal pertanian yang cukup luas dekat lokasi kincir angin. Kambing-kambing
milik para peternak yang asyik merumput melengkapi keindahan itu.
Tanpa terasa kami pun tiba di area
parkir Zaanse Schans. Apa yang dikatakan Diana, semua benar. Masya Allah, saya
benar-benar terpukau melihat pemandangan alam Zaanse Schans. Ada delapan kincir
angin (windmills) raksasa kuno khas
Belanda. Hampir semuanya digunakan untuk keperluan industri yang berbeda.
Delapan kincir angin ini juga memiliki nama hasil pemberian pemiliknya.
De
Huisman Mustardmill, Het Jonge Schaap Sawmill, De Gekroonde Poelenburg Sawmill,
De Kat Deymill, De Zoekeer Oilmill, De Os Oilmill, De Bonte Hem Oilmill, dan
Het Klaverbald Sawmill. Sesuai dengan namanya, kincir-kincir angin ini
beroperasi dari sumber tenaga angin. Namun, walaupun tergantung pada tenaga
angin, tetap diperlukan petugas yang bertanggung jawab pada proses kincir angin
tersebut. Petugas akan mengatur kecepatan penggilingan material dengan mengubah
posisi gulungan layar di setiap papan kincir. Si petugas juga bisa menghentikan
putaran kincir dengan memasang rem kayu di kap penggilingan.
Luar
biasa sistim kerjanya! Jika angin bertiup lemah, saat itulah petugas
membersihkan kincir angin. Momen itulah yang bisa dipakai para pekerja untuk
bersantai sejenak. Sebaliknya jika angin terus-menerus bertiup kencang, maka
para pekerja justru tidak bisa tidur. Tenaga angin kencang itu mereka
manfaatkan untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Kami dibawa ke sawmill (dokpri) |
Sebagian
dari kincir angin ini terbuka untuk pengunjung (wisatawan) dengan membayar
biaya masuk tentunya. Karena ikut paket tur, kami tidak perlu membayar lagi.
Kami pun dibawa mengunjungi salah satu lokasi kincir angin yang digunakan untuk
pengolahan kayu. Nama kincir angin itu adalah Het Jonge Schaap Sawmill.
Sawmill
merupakan kincir angin yang berfungsi menggerakkan gergaji untuk memotong balok-balok
kayu besar. Cara kerjanya sangat unik menurut saya. Balok-balok kayu berukuran
besar tersebut diletakkan pada sebuah tempat, lalu dipotong dengan gergaji yang
bergerak naik dan turun. Kekuatan gerakan gergaji itu sesuai dengan putaran
kincir angin yang sangat bergantung pada angin. Proses dan cara bergeraknya
tidak terjadi begitu saja. Ada rumus dan perhitungan yang detailnya saya kurang
begitu paham. Dari keterangan pekerja di lokasi kincir angin itu, gerakan
horizontal dari kincir angin akan dialihkan menjadi gerekan vertikal melalui
sebuah poros. Gerakan vertikal ini selanjutnya mengubah gerakan naik dan turun
pada gergaji ketika memotong balok kayu. Menakjubkan!
Sepatu
kayu dan rumah-rumah khas Marken
Perjalanan kami dilanjutkan menuju
Marken, desa kecil di semenanjung Danau Ijsselmeer, wilayah Waterland dan Zaan,
Provinsi North Holland.
Gerbang menuju desa Marken (dokpri) |
Khas warna rumah di desa Marken (dokpri) |
Kami
diajak mengunjungi tempat pembuatan sepatu kayu (klompen/clogs). Tempat ini
pula yang selalu dijadikan objek kunjungan bagi turis. Kalau dilihat selintas, samasekali
tidak menunjukkan sebuah pabrik sepatu. Bentuknya hanya seperti rumah biasa. Yang
menandakannya hanya sepatu kayu berukuran besar diletakkan di depan pabrik itu.
Ditambah dengan rangkaian sepatu kayu yang membentuk sebuah pohon. Menurut
saya, keduanya menambah keunikan pabrik itu.
Klompen raksasa ^_^ |
Pohon klompen yang unik |
Begitu
masuk ke dalamnya, mata saya lagi-lagi terbius oleh banyaknya sepatu-sepatu
kayu yang dipajang di dalamnya. Mulai dari yang baru dicetak sampai yang sudah
jadi, dengan beragam warna serta motif hiasannya. Senanganya saya ketika kami
diajak untuk melihat cara pembuatan sepatu-sepatu kayu itu. Pembuatan sepatu
kayu itu sudah modern dan dikerjakan oleh mesin.
Menyaksikan cara pembuatan sepatu kayu (dokpri) |
Ternyata
sepatu-sepatu kayu itu berbahan balok kayu yang basah dan harus segar. Kemudian
dipotong-potong menurut ukuran yang diinginkan. Saya sangat tekun melihat mesin
yang berputar. Mata pisau di mesin itu mengetam balok kayu yang sudah dipotong
sesuai ukuran sepatu yang akan dibuat. Tidak sampai sepuluh menit, balok itu
sudah terbentuk menjadi sepatu kayu.
Sepatu
yang baru jadi, tidak bisa langsung dicat dan dihias. Lamanya pengeringan bisa
mencapai dua minggu. Setelah kering, barulah sepatu kayu itu dihias dan dicat.
Warna dasar yang dipakai pun bermacam-macam. Ada warna kuning, merah, biru,
putih dengan tambahan motif yang cantik dan lucu-lucu.
Rumah penduduk di Marken (dokpri) |
Jembatan kanal desa Marken (dokpri) |
Belum cukup untuk menggambarkan
keunikan dan keindahan desa Marken. Setelah melihat pabrik pembuatan sepatu
kayu, kami masih diajak berkeliling melihat suasana desanya. Begitu memasuki
lokasi perumahan, kesan tenang dan tenteram begitu terasa. Saya terpana
memperhatikan bentuk dan warna rumah-rumah kayunya yang hampir seragam. Warna
hijau dan hitam, berpadu indah dengan halaman rumput yang bersih. Dilengkapi dengan
kanal-kanal yang mengalir di antaranya. Inilah yang memberi khas tersendiri
bagi Marken.
Volendam,
bukti peradapan unik dan romantis
Dari dermaga di
tepian desa Marken, kami diajak menyeberangi lautan dengan kapal menuju
Volendam. Saya dan suami memilih duduk di dek atas. Lagi-lagi bibir saya
melantunkan kebesaran Allah. Semakin kapal menjauh dari desa Marken, pesona
Volendam kian tampak dari kejauhan. Tidak sampai setengah jam, kapal yang kami
naiki pun merapat ke dermaga Volendam.
Dari dermaga Marken menuju Volendam |
Kapa-kapal nelayan yang ditambatkan di dermaga Volendam (dokpri) |
Dulunya Volendam hanya merupakan
sebuah pelabuhan kecil yang dikenal sebagai penghasil keju utama di
Belanda-Edam. Ketika Edam memiliki pelabuhan baru, Volendam pun terpisah dan
seolah tak diperhatikan. Desa kecil ini hanya dihuni oleh para petani dan
nelayan dengan total jumlah yang tidak lebih dari 25 orang. Akhirnya desa
Volendam pun berdiri pada tahun 1462. Dari waktu ke waktu desa kecil itu
berkembang menjadi sebuah desa yang makmur. Hingga hari ini, Volendam menjadi
destinasi favorit para turis yang datang ke Belanda.
Di tepian dermaga Volendam ini kita bisa memberi makan burung (dokpri) |
Usaha pemerintah setempat begitu
gencar mempromosikan desa nelayan yang dulunya kumuh ini. Layak diacungi
jempol. Dengan keunikan tradisi, kesenian, dan letak geografisnya, mampu
memikat seniman-seniman Belanda untuk menetap di Volendam. Tidak hanya
komunitas seniman, para jutawan yang terkenal di negeri tulip itu pun ikut
hijrah dan menetap di Volendam.
Sepatu kayu yang terkenal dari
Belanda itu ternyata memiliki sejarah tersendiri. Konon katanya, dulu Volendam
masih berupa daerah yang banyak lumpurnya. Kondisi ini kemudian yang membuat
sepatu kayu sangat diperlukan. Bahan dasarnya yang kuat dan harganya juga
murah, menjadi pilihan penduduk setempat untuk melindungi kaki mereka dari
lumpur. Maka diproduksilah sepatu-sepatu kayu itu hingga kini menjadi salah
satu icon Belanda.
Banyak pilihan jenis keju yang bisa dibeli dan dicicipi di Volendam (dokpri) |
Begitu turun dari kapal, Diana yang
masih memandu kami mengajak rombongan menuju toko yang sekaligus tempat
pembuatan keju. Sementara saya dan suami ingin sekali mencari tempat yang
menyajikan layanan berfoto dengan kostum Belanda. Namun, walaupun tidak sampai
selesai, akhirnya kami ikut juga bergabung.
Pabrik dan toko keju di Volendam (dokpri) |
Setelah menyimak sekilas tentang
cara pengolahan keju, saya buru-buru minta izin kepada Diana. Pemandu wisata
yang baik hati itu ternyata paham sekali dengan keinginan kami. Dia pun memberi
izin asal kami harus kembali berkumpul tepat waktu di tempat yang ditentukan.
Wuuuz...!
Kami pun melesat mencari tempat pemotretan itu. Hampir saja saya kecewa karena
dua kali ditolak oleh penjaga toko. Mereka mengatakan kalau tokonya mau tutup.
Kami tidak punya cukup waktu untuk berfoto dan menunggu hasil cetaknya dalam
waktu hanya 15 menit. Kami tidak mau berpatah semangat dan mencoba satu tempat
lagi. Alhamdulillah ... akhirnya permintaan kami dikabulkan.
Nyonya dan Tuan Holland ^_^ |
Memakai
kostum Belanda ternyata tidak terlalu rumit. Hanya dua lapis. Lapis luar harus
diikatkan ke belakang pinggang. Kostum yang kami pakai lumayan komplit. Jadilah
saya berubah seperti Nona Holland. Sementara suami saya hanya perlu memakai
baju atasan dan celana komprang. Kami berpose sesuai arahan fotograper yang
sekaligus pemilik toko itu.
Restoran "Fish and Chips" yang terkenal di Volendam (dokpri) |
Setelah
berfoto, kami langsung mencari rombongan tur. Mereka sudah berkumpul di depan
restoran yang terkenal dengan sajian fresh
fish and chip-nya. Kami pun ikut menikmati kelezatan ikan yang digoreng
dengan tepung dan irisan kentang goreng itu. Suami saya memilih membeli wafel
cokelat dengan topping strawberry. Yummy ...! Perjalanan tur kami berakhir
dan meninggalkan kesan yang menyenangkan. [Wylvera W.]
Tulisan ini sudah dimuat di koran Republika, Minggu, 8 November 2015 |
Note:
Jika ingin mengikuti catatan perjalanan kami dari awal, bisa dilihat di part 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9
Sepatu klompen itu berisik gak sih kalo dipake jalan?
BalasHapusKalau di atas tanah dan rumput nggak, Mbak. Tapi kalau di atas aspal atau ubin keramik, pasti mengeluarkan suara kayak pakai terompah. ^_^
Hapussepatunya antik2, mak. hihi. kayak sepatu kurcaci :D
BalasHapusIya, antik dan ngegemis ya. :)
Hapussaya cinta amsterdam krn banyak orang indoensia dan makanan indonesia walaupun secara lidah masih jauh sama yang beneran masakan orang indonesia heheheh
BalasHapusBetul, selezat-lezatnya masakan Indonesia di sana, sepertinya tidak bisa sama persis dengan masakan di Indonesia ya. :)
HapusItu sepatunya beneran dipake ya, Kak? Bukan cuma buat pajangan?
BalasHapusBeneran, Hay. Itu aku sama si Abang posenya pakai sepatu itu. Kayak pakai terompah. :)
HapusAhhh, indah sekalii.. pengen lihat langsung kincir angin jugaaa
BalasHapusAyo, Mbak. :)
HapusMarken memang keren. Rumahnya macam rumah liliput hehehe
BalasHapusWaduh, kok bisa akunnya Keisya? Hahaha maaf :D
BalasHapus