Laman

Jumat, 20 November 2015

Terbius Pesona Zaanse Schans, Marken, dan Volendam


#Part10
Deretan kincir angin di Zaanse Schans (dokpri)
             Rasa penasaran pada cara kerja kincir angin, membawa saya menuju Amsterdam. Dari ibukota Belanda inilah saya dan suami  akhirnya mengunjungi kincir angin yang sesungguhnya. Kincir-kincir angin itu ada di dua tempat. Pertama, di Konderdijk. Kedua, di Zaanse Schans, merupakan desa di Belanda yang masih memiliki cukup banyak kincir angin. Letaknya juga terkonsentrasi dalam satu kawasan.  
Untuk mencapai Zaanse Schans dari Amsterdam bisa dilakukan dengan tiga pilihan cara. Naik kereta, bis umum, atau dengan mengikuti paket tur. Kami memilih ikut paket tur. Saat itu, saya dan suami ditawari paket tiga destinasi. Kami tidak hanya bisa melihat kincir angin raksasa, tapi juga tempat pembuatan sepatu Belanda serta berfoto ala Nona dan Tuan Holland.

Takjub melihat kincir angin di Zaanse Schans
Ditemani cuaca yang sejuk selepas hujan gerimis, kami berangkat dari Amsterdam tepat jam 1 lebih 15 menit. Perjalanan kami semakin menyenangkan karena ditemani oleh seorang tour guide yang ramah dan berbengalaman. Banyak informasi yang diceritakan oleh Diana, begitu tour guide itu memperkenalkan namanya kepada rombongan wisatawan di dalam bis. 

 

Tujuan pertama kami adalah Zaanse Schans, destinasi wisata favorit yang hampir tidak pernah dilewatkan oleh wisatawan saat tiba di Belanda. Selain menyuguhkan pemandangan khas pedesaan Belanda yang sangat memesona, Zaanse Schans juga memiliki kincir angin kuno yang hingga kini masih berfungsi dan beroperasi. Kincir-kincir angin itu dibangun sekitar tahun 1700.

Menikmati pemandangan alam di Zaanse Schans (dokpri)
            Zaanse Schans berada di tepi sungai Zaan. Sejak sekitar tahun 1600, penduduk memiliki mata pencaharian dari hasil perdagangan ikan sungai. Keuntungan dari perdagangan itu mereka gunakan untuk membangun kincir angin pertama yang awalnya hanya dipakai sebagai tenaga pengering saja. Dari waktu ke waktu, fungsi kincir angin pun ditambah, yaitu untuk menggiling hasil pertanian. Mulai dari gandum, kayu, padi, minyak, dan material lainnya. Dari sejarah panjang ini, kincir angin (windmills) pun menjadi icon Holland.
            Sambil menyimak keterangan tour guide, mata saya susah lepas dari keindahan pemandangan di sepanjang jalan menuju lokasi kincir angin berada.  Rumah-rumah kayu tradisional khas Belanda, kanal-kanal kecil, rerumputan tertata rapi memisahkan jalanan yang tidak terlalu luas. Pepohonan dan tiang-tiang lampu bermodel klasik ikut menghiasi jalanan di deretan rumah-rumah pemukiman penduduk sekitarnya. Belum lagi areal pertanian yang cukup luas dekat lokasi kincir angin. Kambing-kambing milik para peternak yang asyik merumput melengkapi keindahan itu.
 
Rombongan kami tiba di area parkir (dokpri)
            Tanpa terasa kami pun tiba di area parkir Zaanse Schans. Apa yang dikatakan Diana, semua benar. Masya Allah, saya benar-benar terpukau melihat pemandangan alam Zaanse Schans. Ada delapan kincir angin (windmills) raksasa kuno khas Belanda. Hampir semuanya digunakan untuk keperluan industri yang berbeda. Delapan kincir angin ini juga memiliki nama hasil pemberian pemiliknya. 
De Huisman Mustardmill, Het Jonge Schaap Sawmill, De Gekroonde Poelenburg Sawmill, De Kat Deymill, De Zoekeer Oilmill, De Os Oilmill, De Bonte Hem Oilmill, dan Het Klaverbald Sawmill. Sesuai dengan namanya, kincir-kincir angin ini beroperasi dari sumber tenaga angin. Namun, walaupun tergantung pada tenaga angin, tetap diperlukan petugas yang bertanggung jawab pada proses kincir angin tersebut. Petugas akan mengatur kecepatan penggilingan material dengan mengubah posisi gulungan layar di setiap papan kincir. Si petugas juga bisa menghentikan putaran kincir dengan memasang rem kayu di kap penggilingan. 
 
Gerakan gergaji tergantung pada kincir angin (dokpri)
Luar biasa sistim kerjanya! Jika angin bertiup lemah, saat itulah petugas membersihkan kincir angin. Momen itulah yang bisa dipakai para pekerja untuk bersantai sejenak. Sebaliknya jika angin terus-menerus bertiup kencang, maka para pekerja justru tidak bisa tidur. Tenaga angin kencang itu mereka manfaatkan untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Kami dibawa ke sawmill (dokpri)
Sebagian dari kincir angin ini terbuka untuk pengunjung (wisatawan) dengan membayar biaya masuk tentunya. Karena ikut paket tur, kami tidak perlu membayar lagi. Kami pun dibawa mengunjungi salah satu lokasi kincir angin yang digunakan untuk pengolahan kayu. Nama kincir angin itu adalah Het Jonge Schaap Sawmill.
Sawmill merupakan kincir angin yang berfungsi menggerakkan gergaji untuk memotong balok-balok kayu besar. Cara kerjanya sangat unik menurut saya. Balok-balok kayu berukuran besar tersebut diletakkan pada sebuah tempat, lalu dipotong dengan gergaji yang bergerak naik dan turun. Kekuatan gerakan gergaji itu sesuai dengan putaran kincir angin yang sangat bergantung pada angin. Proses dan cara bergeraknya tidak terjadi begitu saja. Ada rumus dan perhitungan yang detailnya saya kurang begitu paham. Dari keterangan pekerja di lokasi kincir angin itu, gerakan horizontal dari kincir angin akan dialihkan menjadi gerekan vertikal melalui sebuah poros. Gerakan vertikal ini selanjutnya mengubah gerakan naik dan turun pada gergaji ketika memotong balok kayu. Menakjubkan!

Sepatu kayu dan rumah-rumah khas Marken
            Perjalanan kami dilanjutkan menuju Marken, desa kecil di semenanjung Danau Ijsselmeer, wilayah Waterland dan Zaan, Provinsi North Holland. 

Gerbang menuju desa Marken (dokpri)
Khas warna rumah di desa Marken (dokpri)
Kami diajak mengunjungi tempat pembuatan sepatu kayu (klompen/clogs). Tempat ini pula yang selalu dijadikan objek kunjungan bagi turis. Kalau dilihat selintas, samasekali tidak menunjukkan sebuah pabrik sepatu. Bentuknya hanya seperti rumah biasa. Yang menandakannya hanya sepatu kayu berukuran besar diletakkan di depan pabrik itu. Ditambah dengan rangkaian sepatu kayu yang membentuk sebuah pohon. Menurut saya, keduanya menambah keunikan pabrik itu.

Klompen raksasa ^_^
Pohon klompen yang unik
Begitu masuk ke dalamnya, mata saya lagi-lagi terbius oleh banyaknya sepatu-sepatu kayu yang dipajang di dalamnya. Mulai dari yang baru dicetak sampai yang sudah jadi, dengan beragam warna serta motif hiasannya. Senanganya saya ketika kami diajak untuk melihat cara pembuatan sepatu-sepatu kayu itu. Pembuatan sepatu kayu itu sudah modern dan dikerjakan oleh mesin. 

Menyaksikan cara pembuatan sepatu kayu (dokpri)
Ternyata sepatu-sepatu kayu itu berbahan balok kayu yang basah dan harus segar. Kemudian dipotong-potong menurut ukuran yang diinginkan. Saya sangat tekun melihat mesin yang berputar. Mata pisau di mesin itu mengetam balok kayu yang sudah dipotong sesuai ukuran sepatu yang akan dibuat. Tidak sampai sepuluh menit, balok itu sudah terbentuk menjadi sepatu kayu. 
 
Sepatu kayu yang sudah siap dijual (dokpri)
Sepatu yang baru jadi, tidak bisa langsung dicat dan dihias. Lamanya pengeringan bisa mencapai dua minggu. Setelah kering, barulah sepatu kayu itu dihias dan dicat. Warna dasar yang dipakai pun bermacam-macam. Ada warna kuning, merah, biru, putih dengan tambahan motif yang cantik dan lucu-lucu.

Rumah penduduk di Marken (dokpri)
Jembatan kanal desa Marken (dokpri)
          Belum cukup untuk menggambarkan keunikan dan keindahan desa Marken. Setelah melihat pabrik pembuatan sepatu kayu, kami masih diajak berkeliling melihat suasana desanya. Begitu memasuki lokasi perumahan, kesan tenang dan tenteram begitu terasa. Saya terpana memperhatikan bentuk dan warna rumah-rumah kayunya yang hampir seragam. Warna hijau dan hitam, berpadu indah dengan halaman rumput yang bersih. Dilengkapi dengan kanal-kanal yang mengalir di antaranya. Inilah yang memberi khas tersendiri bagi Marken.

Volendam, bukti peradapan unik dan romantis
            Dari dermaga di tepian desa Marken, kami diajak menyeberangi lautan dengan kapal menuju Volendam. Saya dan suami memilih duduk di dek atas. Lagi-lagi bibir saya melantunkan kebesaran Allah. Semakin kapal menjauh dari desa Marken, pesona Volendam kian tampak dari kejauhan. Tidak sampai setengah jam, kapal yang kami naiki pun merapat ke dermaga Volendam.
Dari dermaga Marken menuju Volendam
 Kapa-kapal nelayan yang ditambatkan di dermaga Volendam (dokpri)
            Dulunya Volendam hanya merupakan sebuah pelabuhan kecil yang dikenal sebagai penghasil keju utama di Belanda-Edam. Ketika Edam memiliki pelabuhan baru, Volendam pun terpisah dan seolah tak diperhatikan. Desa kecil ini hanya dihuni oleh para petani dan nelayan dengan total jumlah yang tidak lebih dari 25 orang. Akhirnya desa Volendam pun berdiri pada tahun 1462. Dari waktu ke waktu desa kecil itu berkembang menjadi sebuah desa yang makmur. Hingga hari ini, Volendam menjadi destinasi favorit para turis yang datang ke Belanda.

Di tepian dermaga Volendam ini kita bisa memberi makan  burung (dokpri)
            Usaha pemerintah setempat begitu gencar mempromosikan desa nelayan yang dulunya kumuh ini. Layak diacungi jempol. Dengan keunikan tradisi, kesenian, dan letak geografisnya, mampu memikat seniman-seniman Belanda untuk menetap di Volendam. Tidak hanya komunitas seniman, para jutawan yang terkenal di negeri tulip itu pun ikut hijrah dan menetap di Volendam.
            Sepatu kayu yang terkenal dari Belanda itu ternyata memiliki sejarah tersendiri. Konon katanya, dulu Volendam masih berupa daerah yang banyak lumpurnya. Kondisi ini kemudian yang membuat sepatu kayu sangat diperlukan. Bahan dasarnya yang kuat dan harganya juga murah, menjadi pilihan penduduk setempat untuk melindungi kaki mereka dari lumpur. Maka diproduksilah sepatu-sepatu kayu itu hingga kini menjadi salah satu icon Belanda.      

Banyak pilihan jenis keju yang bisa dibeli dan    dicicipi di Volendam (dokpri)
            Begitu turun dari kapal, Diana yang masih memandu kami mengajak rombongan menuju toko yang sekaligus tempat pembuatan keju. Sementara saya dan suami ingin sekali mencari tempat yang menyajikan layanan berfoto dengan kostum Belanda. Namun, walaupun tidak sampai selesai, akhirnya kami ikut juga bergabung. 

Pabrik dan toko keju di Volendam (dokpri)
            Setelah menyimak sekilas tentang cara pengolahan keju, saya buru-buru minta izin kepada Diana. Pemandu wisata yang baik hati itu ternyata paham sekali dengan keinginan kami. Dia pun memberi izin asal kami harus kembali berkumpul tepat waktu di tempat yang ditentukan.
Wuuuz...! Kami pun melesat mencari tempat pemotretan itu. Hampir saja saya kecewa karena dua kali ditolak oleh penjaga toko. Mereka mengatakan kalau tokonya mau tutup. Kami tidak punya cukup waktu untuk berfoto dan menunggu hasil cetaknya dalam waktu hanya 15 menit. Kami tidak mau berpatah semangat dan mencoba satu tempat lagi. Alhamdulillah ... akhirnya permintaan kami dikabulkan. 

Nyonya dan Tuan Holland ^_^
Memakai kostum Belanda ternyata tidak terlalu rumit. Hanya dua lapis. Lapis luar harus diikatkan ke belakang pinggang. Kostum yang kami pakai lumayan komplit. Jadilah saya berubah seperti Nona Holland. Sementara suami saya hanya perlu memakai baju atasan dan celana komprang. Kami berpose sesuai arahan fotograper yang sekaligus pemilik toko itu. 

Restoran "Fish and Chips" yang terkenal di Volendam (dokpri)
Setelah berfoto, kami langsung mencari rombongan tur. Mereka sudah berkumpul di depan restoran yang terkenal dengan sajian fresh fish and chip-nya. Kami pun ikut menikmati kelezatan ikan yang digoreng dengan tepung dan irisan kentang goreng itu. Suami saya memilih membeli wafel cokelat dengan topping strawberry. Yummy ...! Perjalanan tur kami berakhir dan meninggalkan kesan yang menyenangkan. [Wylvera W.] 

Tulisan ini sudah dimuat di koran Republika, Minggu, 8 November 2015

Note:

Jika ingin mengikuti catatan perjalanan kami dari awal, bisa dilihat di part 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9
     

12 komentar:

  1. Sepatu klompen itu berisik gak sih kalo dipake jalan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau di atas tanah dan rumput nggak, Mbak. Tapi kalau di atas aspal atau ubin keramik, pasti mengeluarkan suara kayak pakai terompah. ^_^

      Hapus
  2. sepatunya antik2, mak. hihi. kayak sepatu kurcaci :D

    BalasHapus
  3. saya cinta amsterdam krn banyak orang indoensia dan makanan indonesia walaupun secara lidah masih jauh sama yang beneran masakan orang indonesia heheheh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, selezat-lezatnya masakan Indonesia di sana, sepertinya tidak bisa sama persis dengan masakan di Indonesia ya. :)

      Hapus
  4. Itu sepatunya beneran dipake ya, Kak? Bukan cuma buat pajangan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Beneran, Hay. Itu aku sama si Abang posenya pakai sepatu itu. Kayak pakai terompah. :)

      Hapus
  5. Ahhh, indah sekalii.. pengen lihat langsung kincir angin jugaaa

    BalasHapus
  6. Marken memang keren. Rumahnya macam rumah liliput hehehe

    BalasHapus
  7. Waduh, kok bisa akunnya Keisya? Hahaha maaf :D

    BalasHapus