#Part 6
Di bawah patung Ludwig I |
Setelah menyempatkan waktu melihat salah satu titik sejarah Tembok
Berlin, kami pun bergegas menuju München (1 Agustus 2015). Perjalanan
kembali menghabiskan durasi sekitar enam jam. Kami berharap masih bisa
menyusuri sebagian landmark kota yang merupakan ibukota wilayah Bayern (Bavaria), Jerman itu.
Agar merasa nyaman di setiap perjalanan jauh dengan kereta, kami selalu mengisinya dengan mengobrol yang diselipi oleh gurauan.
“Kalau ada yang ngerti bahasa kita di kereta ini, gimana hayooo?” begitu saya sesekali menunjukkan rasa cemas saat suami “melempar” kalimat-kalimat candaan yang bikin saya ngakak tertahan.
“Paling dia usul minta bergabung di bangku kita,” balas suami santai. *hihihi....*
Tiba di München Hauptbanhof
Agar merasa nyaman di setiap perjalanan jauh dengan kereta, kami selalu mengisinya dengan mengobrol yang diselipi oleh gurauan.
“Kalau ada yang ngerti bahasa kita di kereta ini, gimana hayooo?” begitu saya sesekali menunjukkan rasa cemas saat suami “melempar” kalimat-kalimat candaan yang bikin saya ngakak tertahan.
“Paling dia usul minta bergabung di bangku kita,” balas suami santai. *hihihi....*
Tiba di München Hauptbanhof
Akhirnya kereta yang membawa kami pun tiba di stasiun München (Munich) sekitar jam tiga sore. Begitu turun dari kereta, suami saya memutuskan untuk berjalan kaki menuju hotel. Katanya sih tidak terlalu jauh, tapi ternyata saya gempor juga. Tapi, semua lelah itu hilang ketika kami tiba di hotel yang lagi-lagi menyuguhkan kamar yang nyaman.
Beres urusan check in, meletakkan koper di kamar, dan sholat, kami pun segera melanjutkan ekplorasi. Munich atau München (dalam Bahasa Jermannya) adalah kota terbesar di Bavaria. Munich dengan tingkat perekonomian paling baik, memiliki ciri khas yang tidak dipunyai oleh kota-kota besar lainnya di Jerman. Jangan berharap untuk menemukan bangunan pencakar langit di kota ini. Masyarakat lebih mempertahankan bentuk asli dan tradisi kotanya. Inilah yang membuat Munich unik dan istimewa. Meskipun sebagian bangungan lama fungsinya sudah dialihkan namun keasliannya tetap terawat dengan baik.
Memilih beberapa landmark di waktu yang sempit
Sejujurnya, hati ini ingin sekali menyusuri semua sisi dan sudut kota Munich. Apa daya, kami lagi-lagi dibatasi oleh waktu. Akhirnya saya membantu suami untuk memilihkan tempat-tempat yang masih bisa kami jangkau. Ada beberapa bangunan yang menjadi ikon kota Munich yang saya pilihkan. Kami berharap semoga bisa sampai ke sana sebelum matahari terbenam di atas langit München.
Siegestor (dokpri) |
Tulisan yang ada di bagian atas gerbang kemenangan setinggi 21 meter itu
berbunyi “Dem Sieg Geweiht vom Krieg Zerstört zum Frieden Mahnend”
mengandung arti “Didedikasikan untuk Kemenangan, Dihancurkan oleh
Perang, dan Pengingat Kedamaian”. Kalimat itu merupakan kutipan dari
Wilhelm Hausenstein. Letaknya yang memisahkan jalan Ludwigstrasse dan
Leopoldstrasse, serta distrik Maxvorstadt dan Schwabing membuat gerbang
itu unik dan mencolok. Konon katanya kedua jalan itu merupakan jalan
terpopuler di Munich.
Di atas gerbang itu berdiri patung Bavaria, seorang wanita yang membawa tombak dan mengendarai quadriga (kereta) yang ditarik oleh empat ekor singa. Patung wanita itu menjadi personifikasi dari tanah Bavaria. Pemilihan singa pada quadriga,
melambangkan dinasti Wittelsbach yang menguasai Bavaria di masa itu.
Patung Bavaria sendiri didesain khusus oleh Johan Martin von Wagner yang
saat itu menjabat sebagai penasihat seni Raja Ludwig.
Universität München (dokpri) |
Hari masih terang, kami tetap melanjutkan menyusuri beberapan bangunan
dan kawasan bersejarah kota Munich lainnya. Kami sempatkan juga untuk
berfoto di Hofgarten (area taman) yang dibangun pada tahun 1613 – 1617
oleh Maximilian I. Di tengah taman ada sebuah paviliun yang
diperuntukkan kepada Dewi Diana. Paviliun itu dibangun pada tahun 1615
oleh Old Heinrich Schon.
Pintu masuk menuju Hofgarten (dokpri) |
Theatinerkirche vom Hofgarten |
Kami tidak berlama-lama di area itu, karena khawatir kehabisan momen.
Begitu keluar, kami memasuki kawasan Odeonplatz, bangunan tempo dulu
yang berarsitektur Italy di sepanjang Leopoldstrasse. Sulit mengambil
gambar yang pas. Saat itu ramai sekali. Sepertinya ada gelaran jajanan
dan tempat makan terbuka.
Odeonplatz (dokpri) |
Restoran terbuka (dokpri) |
Dari Odeonplatz, kami menuju Marienplatz, berupa alun-alun bersejarah
yang berlokasi di jantung kota Munich. Ada dua bangunan balai kota tua
dan balai kota baru di sekitar area itu. Disediakan juga zona untuk
pejalan kaki. Marienplatz adalah tempat populer untuk para artis jalanan
menggelar pertunjukan musik dan sebagainya.
Kawasan Marienplatz dengan latar Frauenkirche central statue (dokpri) |
Saat di Marienplatz, hari mulai gelap, sementara masih banyak tempat
yang belum sempat kami kunjungi. Pada catatan saya masih ada Englischer
Garten (taman kota terbesar di Eropa), Nymphenburg Palace (istana yang
dibangun pada abad ke-17), Hofbraushaus (tempat untuk minum bis paling
terkenal dan populer di kota Munich), BMW Headquarters and Museum
(museum teknologi otomotif), City Gates kota Munich selain Siegestor,
Allianz Arena (stadion bola tempat/kandang klub Bayern München), serta
Olympiapark yang merupakan lokasi digelarnya Olimpiade tahun 1972 di
kota Munich, Jerman.
Waktu tak memungkinkan lagi untuk kami meneruskan perjalanan. Ternyata sehari memang tidak cukup menjelajah Munich. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke hotel.
Menemukan samosa di saat lapar
Malam pun menyelimuti kota München. Kami belum makan malam. Setelah sampai di hotel untuk sholat magrib, kami kembali keluar mencari restoran halal yang bisa mengenyangkan perut. Tidak terlalu jauh dari hotel tempat menginap, akhirnya kami menemukan restoran yang menjual makanan khas India. Sementara penjualnya sendiri orang Bangladesh.
Ini nama tokonya (dokpri) |
Yang bentuknya segitiga itu, samosa (dokpri) |
Menunya beragam dan semuanya sepertinya enak (dokpri) |
Kasir sekaligus pemilik restoran yang sudah tiga tahun berdiri itu
bertanya, apakah hidangan yang mereka sajikan memuaskan. Suami saya
memuji menu yang mereka hidangkan. Lalu saya memberi sedikit
perbandingan untuk samosa buatan mereka. Saya katakan kalau samosa yang
pernah saya makan di Indonesia rasanya sedikit lebih pedas. Dia tertawa
dan mengatakan itu hanya soal taste. “Resepnya mungkin tidak jauh berbeda,” ujarnya tersenyum ramah.
Malam kami di Munich pun ditutup dengan menu dinner yang lezat dan mengenyangkan.
Novel Geranium Blossom berpose di bawah Column of St. Mary
Saat kembali ke hotel, saya ingat kalau novel terbaru saya “Geranium Blossom” salah satu settingnya adalah kota Munich. Saya belum sempat mengambil gambarnya di kota itu. Akhirnya keesokan paginya, kami kembali ke lokasi Marienplatz. Saya meletakkan novel itu di bawah tugu yang dikenal dengan nama Column of St. Mary (Mariensäule).
"Geranium Blossom" duduk anggun di situ |
Setelah itu kami buru-buru kembali ke München Hauptbanhof untuk
melanjutkan perjalanan menuju destinasi berikutnya. Ke mana? Tunggu part berikutnya. [Wylvera W.]
Pemandangan yang indah banget, aah smeoga suatu hari nanti bisa sampai disana, aamiin
BalasHapusAamiin ... ikut mendoakan, Mbak. :)
Hapus