#Part 3
Pantai Tanjung Benoa (dokpri) |
Sebelumnya saya mohon maaf, karena
terlalu lama melanjutkan catatan ini. Semoga saya dimaafkan ya ... ya ... ya.
*drama itu asyik juga ternyata ^_^ *
Baiklah, mari kita lanjutkan.
Esoknya di hari ketiga (18 November
2016), kami akan diajak untuk mengunjungi kawasan Tanjung Benoa. Selain
terdapat penangkaran penyu di sana, Tanjung Benoa adalah sebuah kelurahan yang
letaknya di sebelah Tenggara pulau Bali yang sangat terkenal dengan aktivitas
rekreasi air dan wisata baharinya. Tanjung Benoa Watersport namanya.
Saya
belum pernah berkunjung ke sana. Makanya saya tidak sabar ingin segera sampai.
Namun, seperti biasa, pagi kami selalu diawali dengan sarapan bersama di kafe
hotel. Setelah itu kami pun kembali berkumpul di halaman parkir untuk bersiap
menaiki bis.
Menuju
penangkaran penyu di Deluang Sari
Perjalanan menuju
pantai Tanjung Benoa, tempat perahu bermesin yang akan membawa kami ke Deluang
Sari, sangatlah singkat. Tidak sampai setengah jam, kami sudah tiba di sana.
Saya membayangkan pantai dengan gemuruh ombak yang memecahnya. Namun, begitu
sampai, bayangan saya lenyap. Tidak ada air yang bergulung-gulung di tepi yang
katanya pantai itu. Hanya pasir yang lebih tepatnya seperti tanah becek yang kekeringan.
“Kita menunggu di sini ya sampai air
lautnya pasang. Kalau tidak, boatnya tidak bisa bergerak,” ujar
salah satu teman di rombongan kami.
Ternyata penampakan pantai yang
kering itu akibat air lautnya surut. Kami pun harus menunggu sekitar satu jam.
Setelah itu, perlahan-lahan air laut naik ... naik ... naik, lalu berhenti
sebelum menyentuh bibir pantai. Tiga perahu bermesin yang sudah disewa untuk menyeberangkan
kami ke lokasi penangkaran penyu pun siap menunggu.
Kami terpaksa harus berjalan menembus air setinggi mata kaki hingga lutut itu |
Tidak ada jalan lain, kami harus
siap berbasah-basah. Perahu-perahu bermesin itu tidak bisa menepi lebih dekat
ke arah kami, sebab dasar perahu sudah nyaris menyentuh tepian laut yang berair.
Tingginya dari semata kaki hingga selutut orang dewasa. Semua pada sibuk
menggulung celana. Saya memilih pasrah berbasah-basah. Seru saja rasanya.
Seni memancing yang unik (dokpri) |
Perahu bermesin pun melaju menuju
penangkaran penyu. Goyangan ombak sesekali memainkan perahu. Saya benar-benar
menikmati perjalanan laut itu. Hingga tanpa sengaja mata saya tertambat pada
sosok lelaki yang sedang mencari ikan. Tubuhnya dibiarkan terbenam setinggi
pinggang. Barulah saya sadar kalau air laut yang kami sebrangi tidak semuanya
dalam. Itu yang menyebabkan perahu bermesin yang kami naiki sesekali tersendat.
Perahu bermesin kami melaju meninggalkan ombak di belakang sana |
Setelah menghabiskan waktu sekitar
dua puluh menit, kami pun tiba di pantai berikutnya. Dari kejauhan tampaklah
orang ramai berdiri di pintu masuk lokasi penangkaran penyu. Kami kembali
berjalan di atas air laut. Kali ini, saya tak ingin menyia-nyiakan momen. Kami
memuaskan mengabadikan keunikan cara menempuh lokasi itu. Sesi foto kembali
menjadi momen heboh yang menyenangkan.
Walau berbasah-basah, sesi foto jangan terlewatkan ^_^ (dokpri) |
Awalnya,
kawasan Tanjung Benoa hanyalah perkampungan nelayan. Sejak tahun 1980, di Nusa
Dua (kawasan yang terdekat dengan Tanjung Benoa) dibangun kawasan wisata Bali
Tourism Development Corporation (BTDC).
Berdirilah hotel-hotel mewah yang hampir seluruhnya berbintang lima. Semakin
hari kawasan itu semakin berkembang sehingga mengimbas ke kawasan Tanjung
Benoa.
Selamat datang di Deluang Sari (dokpri) |
Akhirnya Pemda Bali menetapkan
kawasan Tanjung Benoa menjadi pusat wisata bahari di Bali. Sejalan dengan
perkembangannya, pemerintah juga membuat tempat penangkaran penyu hijau
(termasuk satwa langka yang dilindungi) di Tanjung Benoa. Tempat penangkaran
ini lebih dikenal dengan nama “Pulau Penyu”. Lokasinya terletak di delta kecil bernama
Deluang Sari. Kawasannya ditumbuhi hutan bakau dengan pantai berpasir putih
yang menghadap ke Pelabuhan Benoa.
Bak tempat menangkar penyu-penyu itu |
Di antara penyu ini ada yang berumur 70 tahun |
Di Deluang Sari terdapat beberapa
kolam atau bak penampungan khusus untuk merawat penyu-penyu mulai dari yang
baru menetas sampai penyu dewasa. Uniknya, umur penyu di Deluang Sari ini ada
yang mencapai 70 tahun. Hebat ya?
Menahan
sakit kena tamparan penyu
Urusan tiket masuk
sudah diatur oleh tour guide kami.
Tinggal masuk, tapi tetap mengantri. Kami pun langsung disuguhi oleh ramainya
pengunjung yang sibuk berpose bersama penyu. Awalnya saya geli dan ragu-ragu ingin
berfoto. Tapi, sayang rasanya kalau sudah sampai di situ, tidak ada bukti
otentiknya. *jiaaahahaha ... mulai lebay lagi kan *
Selepas ini, senyum di wajah itu sirna seketika:p |
Setelah memerhatikan beberapa orang
yang berfoto sambil memegang penyu, saya pun jadi kepengin. Tour guide kami membantu mengambilkan
penyu dan mennyerahkannya ke tangan saya. Kaki yang saya sebut seperti sayap
tapi keras milik penyu di tangan saya, terus saja mengepak-ngepak. Sementara
kamera hape sudah siap menangkap momen kebersamaan saya dengan penyu itu.
Plak!
Kepakannya menampar ujung jari
jempol saya. Rasa perih tiba-tiba menyengat. Wajah saya yang tersenyum saat difoto
berubah nyengir menahan rasa sakit akibat tamparan penyu itu. Untung saja saat
tombol perekam gambar di kamera hape ditekan oleh teman saya, wajah saya masih
dalam pose tersenyum. Alhamdulillah ... pencintraan itu tidak bocor. *bwuahahaha ...*
Burung
pun pengin pakai kacamata
Udara panas begitu
menyengat, bukan hanya di kulit tapi sampai ke tenggorokan. Saya tidak tahan
untuk tidak menikmati air kelapa muda sebenarnya. Namun, masih ada momen yang
sayang untuk dilewatkan, yaitu berpose dengan burung (maaf, lupa nama
burungnya).
Eiiits ...! Jangan diambil dong, kacamatanya ^_^ |
Sambil menunggu giliran, mata saya
sesekali melihat ke arah teman-teman yang sudah duduk menunggu pesanan kelapa
muda. Akhirnya giliran saya pun tiba. Pawang burung (memang ada ya pawang
burung ... entahlah), meletakkan kaki burung itu di lengan kiri saya. Aaah,
mengapa hewan kedua di tempat penangkaran penyu ini pun bertingkah aneh? Saat
gambar siap diambil, kepala burung sibuk ingin mematuk kacamata
saya. Terpaksa posenya diulang lagi demi mendapatkan hasil yang bagus.
*jiaaahaha ... ngarteees banget dah*
Akhirnya, kami pun berdamai ^_^ |
Selesai sesi foto dengan burung,
saya pun bergabung dengan ibu-ibu lainnya. Air kelapa muda dan sebotol air
mineral rasanya harus segera membasahi kerongkongan saya yang nyaris
kering-kerontang.
Ularnya
menggeliat
Selesai menikmati
air kelapa muda, saya melihat segelintir pengunjung mendekati sebuah area. Wah!
Ternyata di situ ada ular yang siap diajak berpose dengan para pengunjung. Saya
tidak serta-merta berfoto dengan ular yang dipegang pawangnya itu. Awalnya ada
rasa geli. Namun, ketika saya melihat mulut ular itu dibalut oleh perekat,
logika saya pun jalan. Itu artinya ular tersebut tidak akan mampu menyemburkan
lidahnya yang berbisa dan melukai hatiku
menyengat saya.
Ular juga bisa jadi model :p |
“Bantu ya, Bli. Naruhnya pelan-pelan,”
ujar saya meminta pawang ular yang masih sangat muda itu melilitkan badan ular
ke leher dan pundak saya.
Saat
saya pegang bagian kepalanya, ular itu tiba-tiba menggeliat manja,
membuat saya nyaris menahan napas. Tidak harus berlama-lama, yang penting ada
fotonya. Saya pun buru-buru menyerahkan ular itu kembali ke pawangnya.
Serunya
bermain parasailing
Waktu untuk berfoto dengan bermacam
hewan yang dilindungi di penangkaran penyu usai. Kami pun kembali ke tempat
awal. Sepanjang perahu bermesin melaju, saya sempat melihat beberapa orang yang
menaiki parasailing. Seru sekali. Teman saya bilang kalau dia ingin menaiki
itu.
Seruuu ...! |
Begitu tiba di bibir pantai tempat
awal kami tiba, kami pun disuguhi kertas pendaftaran. Yang ingin menikmati
sensasi parasailing, diminta mencantumkan namanya di kertas itu dengan membayar
uang seratus ribu. Cukup murah, karena itu di bawah tarif umum.
Seperti sebelumnya, saya tidak
buru-buru menyatakan ikut. Saya ingin melihat dan beradaptasi terlebih dahulu.
Uji nyali boleh, tapi ‘kan nggak harus gegabah. Setelah melihat beberapa yang
naik dan terlihat nyaman di atas sana, barulah saya mantapkan hati mendaftar.
Sstt ... bukan apa-apa, ini pengalaman pertama buat saya. Wajarlah kalau pakai
ancang-ancang dulu. *ngeleeess ....*
Sesaat sebelum melambung tinggi ke atas permukaan laut |
Saya dan teman lainnya pun siap dengan
atribut parasailing, menunggu giliran. Sambil menunggu, satu orang dari
petugasnya memberikan arahan.
“Nanti saat berlari dan naik,
tangannya diletakkan di sini. Jangan sekali-sekali menarik atau menyentakkan
tanda biru dan merah di tali yang ibu-ibu pegang nanti. Lihat aba-aba dari
bendera berwarna merah dan biru yang dipegang teman saya itu,” ujarnya sambil
menunjuk salah satu teman yang memegang kedua bendera yang disebutnya.
“Jika
bendera merah dan biru disilangkan oleh teman saya, maka lepaskan pegangan pada
kedua tali atau boleh tetap dipegang, asal tidak ditarik atau
disentak-sentakkan. Saat menjelang turun, perhatikan bendera biru yang diangkat.
Itu artinya, ibu-ibu harus menarik sekencang-kencangnya tali yang berwarna biru
sampai tanda dilepaskan diberikan. Mengerti ya?” ujar anak muda itu
menjelaskan.
Siap terbang tinggi |
Tibalah giliran saya. Jujur saja,
agak berdebar juga jantung ini. Namun saya sudah memilih untuk diangkat
tinggi-tinggi oleh parasut yang dihubungkan dengan tali yang dikendalikan oleh
pengemudi speed boat di laut
sana. Saya pun siap berparasailing, berlari, naik ... naik ... tinggi ...
tinggi ... melihat hamparan laut bebas dari ketinggian. Masya Allah, indah
sekali!
Semakin tinggi hingga tak tertangkap bidikan kamera lagi ^_^ |
“Yuhuuu ...!” seru saya di atas sana
tanpa didengar oleh siapa pun. Lepas rasanya. Saya benar-benar menikmati
saat-saat melayang di atas hamparan laut yang terbentang di bawah saya. Hingga
akhirnya saya menarik tali biru untuk perlahan-lahan mendarat kembali. Haaap
...! Saya berhasil mendarat dengan cantik selamat.
Alhamdulillah, mendarat dengan mulus |
Setelah itu, berakhirlah kebersamaan
kami di Tanjung Benoa. Tujuan selanjutnya di hari yang sama akan saya ceritakan
di bagian berikutnya. Tunggu ya! [Wylvera
W.]
Wiiiih, seruuuu ya mak :)
BalasHapusAKu sampe detik ini belum berani olahraga ekstrem kayak parasailing dll itu
Sebenarnya kalau sudah di atas, semua rasa takut itu hilang. Seru aja rasanya, Mak. :)
HapusBali selalu eksotis untuk selalu dijelajahi.. nice petualangannya..
BalasHapusMakanya para turis senangnya ke sana ya. :)
HapusPantai selalu seru untuk liburan. Setelah capek, bisa menikmati seafood, hhmmm.
BalasHapusBetul banget, Mbak. :)
Hapuswiiish, keren euy, boleh juga tuh wisata ke penangkaran penyu, sambi mengasah kepekaan kita pada cinta alam semesta yaa.
BalasHapusOlahraga sedot adrenalin begitu, aku belum pernah coba, mudah-mudahan satu saat berani deeh
Harus nyoba, Mbak. Seruuu! ;)
Hapus