Saya dan suami beserta 41 jema’ah
serta dua orang pendamping siap terbang dari Bandara Udara Soekarno Hatta menuju
destinasi pertama, Kuala Lumpur International Airport (KLIA). Dari KLIA pesawat
yang kami naiki (Malaysia Airlines) bertukar menjadi Saudi Arabian Airlines
menuju Bandar Udara Internasional Ninoy Aquino, Manila, Filipina.
Penerbangan
yang menghabiskan waktu sekitar 3 jam 45 menit itu kami gunakan untuk
beristirahat. Saya sendiri tidak bisa memejamkan mata dengan sempurna. Jujur
saja, meskipun pemilik travel sudah menjelaskan dengan rinci bahwa akan
aman-aman saja, kecemasan yang sempat terjadi di bandara Soeta sebelumnya masih
menyisakan kekhawatiran. Terlebih destinasi berikutnya yang akan kami singgahi
adalah Manila, Filipina. Hanya nasihat suami untuk tetap berprasangka baik
kepada Allah SWT yang menjadi penguat hati saya. Ditambah keyakinan bahwa jika
Allah sudah memilih hamba-Nya menjadi tamu di Baitullah, maka Insya Allah aral
dan rintangan akan teratasi. Aamiin.
Tiba
di bandar udara Manila, Filipina
Akhirnya kami sampai di Bandar udara
Filipina. Begitu masuk, mata saya langsung awas melihat sekitarnya. Di mana
para jema’ah yang batal diberangkatkan itu? Begitu benak saya bertanya dengan
lugu. Keresahan itu akhirnya tertepis dengan kewajiban sholat yang harus kami
segerakan.
Tidak ada tempat untuk sholat yang
resmi. Akhirnya saya bertanya kepada salah seorang petugas dan meminta mereka
memberi kami izin untuk memakai sebagian area yang biasa digunakan melintas oleh
penumpang pesawat yang baru tiba. Alhamdulillah, laki-laki berseragam security bandara itu memberikan izin.
Kami pun bergegas untuk sholat berjema’ah.
Wajah berusaha tersenyum walau duduk terdampar di lantai bandara |
Setelah sholat, kecemasan baru mulai
mengusik. Paspor yang saya tahu sempat diserahkan oleh pendamping (dari pihak
travel) ke petugas imigrasi belum dikembalikan. Padahal kami sudah menunggu sekitar
satu jam. Sesekali saya melihat kegelisahan di sikap pendamping kami (pemilik
travel yang ikut mendampingi). Bisa dibayangkan, melihat sikapnya yang tak bisa
menutupi kegelisahan itu, tentu akan berefek pada calon jema’ah yang jeli
memperhatikan. Terutama saya yang memang sudah sempat mengalami kendala di Soeta.
Namun lagi-lagi, kepasrahan dan doa-doa yang tak putus terus saya sisipkan di
hati. Tidak ada yang bisa menandingi kehendak Allah SWT. Itu saja yang
menguatkan hati saya dan suami.
Demi menghalau rasa gelisah, para
jema’ah mencari kesibukan masing-masing. Ada yang mengobrol, menikmati camilan
yang dibawa dari tanah air, ada juga yang sekadar duduk bersimpuh di lantai
bandara dan bersandar ke tembok untuk istirahat. Sementara saya, suami, dan
beberapa teman jema’ah, memilih menikmati camilan ringan yang kami bawa sambil
sesekali saling berucap semoga paspor dan izin melanjutkan penerbangan ke
Riyadh segera diserahkan oleh petugas bandara.
Tiba
di Riyadh
Setelah kurang lebih tiga jam
menunggu dalam rasa cemas, akhirnya paspor dan izin melanjutkan penerbangan pun
kami terima. Kami bergegas mengantri menuju pesawat. Ucapan syukur kembali
berulang-ulang saya lantunkan di hati dan kembali berdoa semoga penerbangan
menuju Riyadh yang akan menghabiskan waktu sekitar sebelas jam itu diberi
kelancaran oleh Allah. Sementara untuk waktu sholat - alhamdulillah - bisa
dikerjakan dengan baik dalam pesawat.
Pemandangan lapangan udara di luar bis menuju pesawat |
Kembali duduk di pesawat menuju Riyadh |
Layaknya penerbangan panjang,
suasana di dalam pesawat hampir seragam. Tidak ada yang aneh untuk saya
ceritakan. Hanya saja, beberapa calon jema’ah yang mungkin baru pertama kali
menjalani penerbangan jarak jauh seperti itu, tentulah ada kecanggungan. Terlebih
mereka yang sudah tua. Namun, alhamdulillah, masih bisa dimaklumi.
Singkat
cerita, kami pun tiba di Bandar Udara Internasional Raja Khalid (King Khalid
International Airport). Semua penumpang pesawat
diminta masuk dalam antrian pengecekan imigrasi bandara. Lumayan panjang
antrian yang harus kami lewati. Pelajaran sabar dan ikhlas lagi-lagi diuji.
Tibalah
giliran pengecekan paspor dan visa untuk saya dan suami. Ya Allah, kesabaran
dan berusaha berprasangka baik kepada Allah kembali menguji kami. Saat tiba
giliran saya, tiba-tiba petugas imigrasi meminta saya untuk duduk kembali di
kursi yang terletak di belakang antrian. Sementara suami saya yang berdiri di
belakang saya pun ternyata ikut diminta duduk kembali. Petugas imigrasi justru
memanggil dua orang ibu yang membawa anak-anaknya serta satu keluarga untuk
diperiksa paspor dan visanya.
Kecemasan
baru tidak bisa saya bendung. Sampai akhirnya saya mengeluarkan usulan ke suami
agar ia mencoba memberitahukan kalau kita adalah suami istri. Tidak akan
membantu sebenarnya, tapi rasa cemas yang semakin kuat menguasai saya yang
mendorong memberi usulan itu ke suami.
“Tolong,
simpan prasangka negatif yang muncul di hatimu itu. Jangan menebak-nebak. Kita
belum tahu kan alasan kenapa kita diminta duduk lagi. Tunggu saja dengan sabar
dan tetap berprasangka positif. Ini sudah mendekati tanah haram. Prasangka kita
adalah doa kita,” ujar suami menenangkan saya.
Setelah
suami saya mengatakan nasihat panjang itu, saya tidak berani lagi berkomentar.
Justru saya berusaha beristighfar sebanyak-banyaknya. Pendamping sekaligus
pemilik travel yang mengetahui kalau kami masih tertahan di meja pemeriksaan
imigrasi tiba-tiba muncul dari balik kaca pembatas antrian. Wajahnya kembali
tegang melihat kami. Saya pasrah dan berserah diri sepenuhnya pada ketentuan
Allah. Berusaha menepis rasa takut akan dipulangkan ke tanah air.
Setelah
menunggu sekitar dua puluh menit, akhirnya petugas imigrasi kembali memanggil
saya terlebih dahulu. Saya berdiri sambil berdoa melangkah ke arah kubikal yang
membatasi kami. Terjawablah kembali kecemasan saya tadi. Mengapa kami ditunda
untuk diperiksa, ternyata petugas imigrasi itu ingin mendahulukan ibu-ibu yang
membawa anak dan keluarga yang membawa anak kecil. Alhamdulillah….
Tidak
banyak tanya, dia meminta saya meletakkan tiga jari untuk stempel jari tangan.
Hanya saja, walau tidak begitu paham bahasa Arab yang mereka gunakan,
sedikitnya saya bisa mengerti ketika ia mengatakan ke temannya bahwa visa ziarah
yang kami gunakan sah karena diberikan langsung oleh kerajaan Arab. Kira-kira
begitulah isi obrolan mereka tentang visa kami.
Setelah
semua calon jema’ah haji di rombongan kami selesai melewati pintu imigrasi
bandara Riyadh, kami diminta untuk berkumpul pada satu tempat untuk menunggu
bis jemputan. Kami harus pindah ke bandara yang melayani penerbangan domestik.
Perjalanan kami berikutnya memang masuk dalam penerbangan domestik, yaitu dari
Riyadh menuju Jeddah.
Tertinggal
rombongan
Setelah
kami menunggu hampir setengah jam, tiba-tiba saya dan dua orang teman dalam
rombongan jema’ah ingin ke toilet. Inilah awal ketegangan baru yang akhirnya
muncul kembali. Sebelum ke toilet saya sempat berpamitan pada suami. Tidak ada
perasaan apa-apa saat itu. Kami pun bergegas menuju toilet bandara. Namun, saat
keluar dari toilet dan kembali ke tempat berkumpul tadi, kami tidak lagi
melihat rombongan calon jema’ah haji ada di sana, termasuk suami saya. Ya
Allah, kepanikan baru tidak bisa terbendung. Kami ditinggal!
Saya
berusaha menahan rasa panik dan mencoba berpikir jernih. Mengingat tidak semua
orang di bandara itu yang lancar berbahasa Inggris, saya semakin berpikir keras
untuk mencari jalan agar kami bisa terhubung dengan rombongan. Jangan ditanya
tentang komunikasi via hape. Tidak mungkin, karena kami belum sempat menukar
nomor atau fasilitas yang bisa digunakan di sana. Dua teman saya juga terlihat panik
namun tetap berusaha tenang untuk membantu saya mencari jalan keluarnya.
Akhirnya
saya mencoba menanyakan petugas bandara. Dia memberi hapenya untuk menghubungi
suami saya. Tetap saja tidak bisa, karena suami saya juga belum mengaktifkan
nomor yang bisa digunakan di sana. Saya menyerah dan meninggalkannya. Dalam
kesulitan dan doa-doa, Allah selalu ada. Itu yang saya yakini sepenuh hati.
Saya yakin, Allah jugalah yang mempertemukan kami dengan laki-laki berwajah
Asia yang bisa berbahasa Inggris. Ternyata dia sempat melihat rombongan kami
naik ke atas bis tadi. Ia mengatakan bahwa ada satu orang laki-laki yang masih
menunggu dan kembali masuk ke dalam. Menurutnya, bis akan tiba sebentar lagi.
Dari
informasi yang diberikannya, saya dan satu teman lagi mencoba mengikuti petugas
angkut bandara yang membawa kami kembali naik ke lantai atas tempat penjemputan
penumpang. Sementara teman saya yang satu lagi, saya minta tetap menunggu di
bawah. Tiba-tiba saya sadar kalau bis yang akan menjemput itu pasti akan
melewati tempat rombongan kami lagi. Tanpa menghiraukan panggilan petugas
angkut itu, saya memutuskan untuk kembali ke tempat semula secepat mungkin.
Teman saya berlari mengikuti saya menuruni tangga.
Ya
Allah, prakiraan saya didengar Allah. Begitu kami turun, bis yang tadi
menjemput rombongan jema’ah kami kembali datang. Laki-laki berwajah Asia tadi
menyuruh kami bergegas naik karena bis itulah yang tadi telah menjemput
rombongan kami. Tanpa berpikir panjang, kami setengah berlari menuju tempat
pemberhentian bis itu dan melompat ke dalamnya. Saat menghela napas, kecemasan
kami sempuran menguap. Pendamping (pemilik travel) ternyata ada di bis itu. Dan
ia memastikan kalau kami bertiga adalah rombongan yang terpisah tadi kepada
sopir bis.
Alhamdulillah
… kami akhirnya bisa kembali pada rombongan. Saat itu, tidak ada yang tahu apa
yang sudah kami alami barusan, termasuk suami saya. Saya sengaja menyimpan
semua tragedi tertinggal di bandara internasional Riyadh itu demi menenangkan
hati saya juga. Ada waktunya saya akan menceritakan semuanya. Dan inilah
saatnya. Bisa jadi kalau kejadian itu termasuk ujian Allah. Saya harus
perbanyak istighfar.
Tiba
di Jeddah dan dam untuk yang pertama
Penerbangan domestik tidak memakan
waktu lama. Hanya sekitar satu jam, kami pun tiba di bandara Jeddah (King
Abdulaziz International Airport). Kelelahan sangat jelas tergambar pada
wajah-wajah teman satu rombongan kami. Sambil menunggu bagasi, saya berusaha
meluruskan badan dan mengumpulkan energi. Perjalanan kami masih jauh menuju
Mekkah. Ya, kami tidak ke Madinah tapi langsung ke Mekkah karena jadwal
keberangkatan yang kami gunakan masuk dalam gelombang kedua. Jadi rutenya ke
Mekkah terlebih dahulu untuk beberapa hari kemudian ke Madinah.
Masih harus naik bis bandara menuju pengambilan bagasi |
Masih bisa tersenyum di dalam bis |
Tiba di Jeddah, tentulah yang
dipertanyakan adalah tentang miqat. Ada beberapa pendapat yang berbeda dalam
menjelaskan tentang wilayah miqat bagi jema’ah haji yang menggunakan
penerbangan dan tiba di Jeddah. Tapi, pembimbing haji kami memilih bahwa Jeddah
adalah berada dalam wilayah miqat. Orang yang datang ke Jeddah pasti telah
melalui salah satu miqat yang telah ditetapkan Rasulullah saw. (berada dalam
posisi sejajar dengannya baik di darat, laut maupun udara). Oleh sebab itu,
tidak boleh melewati miqat itu tanpa pakaian ihram bagi laki-laki jika berniat menunaikan ibadah haji
dan umrah.
Menunggu pengambilan bagasi |
Saya
tidak begitu memperhatikan apakah informasi untuk itu sudah disampaikan kepada
seluruh calon jema’ah haji di rombongan kami atau tidak. Namun, saat landing, beberapa dari jema’ah calon
haji ternyata telah mengambil miqat, termasuk saya dan suami. Inilah awal
kendala dalam proses berhaji dengan visa ziarah. Visa yang kami gunakan tidak
memperkenankan kami untuk berihram dari Jeddah. Oleh sebab itu, walaupun sudah
mengambil miqat tidak satu pun laki-laki di rombongan kami yang diizinkan
mengenakan pakaian ihram. Ini akan mempersulit kami ketika melewati pos-pos
pemeriksaan saat memasuki Mekkah.
Satu-satunya
solusi adalah jema’ah laki-laki di rombongan kami harus siap membayar dam
(denda yang harus dibayar berupa biaya untuk hewan qurban karena
melanggar amalan wajib, baik disengaja maupun tidak). Dam (denda) tersebut tidak terkena pada jema’ah
perempuan karena tidak ada ketentuan mengenakan pakaian ihram khusus pada perempuan. Begitu keterangan yang saya pahami.
Jantung
bagai di roller coaster menuju Mekkah
Semua jema’ah di rombongan kami
sudah siap di dalam bis. Kami pun siap melanjutkan perjalanan dari Jeddah
menuju Mekkah. Alunan talbiyah mulai terdengar di dalam bis.
“Labbaik Allahumma Labbaik,
Labbaikala Syarikalaka Labbaik, Innal hamda wanni’mata laka waal mulka La
Syarikalak.”
“Aku datang memenuhi panggilan-Mu
ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu
tidak ada sekutu bagi-Mu, aku datang memenuhi pangilan-Mu. Sesungguhnya segala
puji nikmat, dan segenap kekusaan adalah milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu.”
Syahdu
dan membuat hati saya bergerimis. Saya sangat menikmatinya dan tiba-tiba rasa
rindu itu menyusup kuat.
Ya Allah, kesyahduan itu tiba-tiba
terusik. Mutawwif dan pendamping rombongan kami memberi aba-aba bahwa kami
harus tetap tenang karena beberapa saat lagi akan mendekati pos pemeriksaan.
Bisa saja petugas naik ke bis dan memeriksa secara acak paspor-paspor kami.
Atau jika beruntung, kami bisa lewat dengan cepat dan nyaman.
Betul saja. Bis kami pun berhenti di
pos pemeriksaan pertama. Alhamdulillah, tidak terjadi sesuatu yang menyulitkan
kami. Sambil menunggu pos pemeriksaan berikutnya, saya tetap melantunkan
kalimat talbiyah dalam hati dan sesekali menyerukannya pelan. Demikian juga
dengan suami saya dan beberapa jema’ah lainnya.
Tibalah pada pemeriksaan paspor di
pos kedua. Agak menegangkan karena beberapa dari kami diminta untuk menunjukkan
paspornya. Setelah menunggu beberapa saat dengan jantung berdebar-debar,
akhirnya paspor kami dikembalikan. Bis melaju lagi. Masih ada satu pos
pemeriksaan lagi. Serasa naik roller
coaster, jantung saya berlomba-lomba antara meresapi alunan kalimat
talbiyah dan rasa cemas. Seperti inikah berhaji dengan visa ziarah? Pertanyaan
itu tidak bisa saya tepis dari kepala. Begitu selamat dari pos pemeriksaan yang
ketiga, semua jema’ah di dalam bis spontan mengucap, “Alhamdulillah …
Allahuakbar!”
Masya
Allah, saya benar-benar berusaha mulai menikmati setiap kejutan yang kami
temukan dalam perjalanan awal berhaji ini. Bagi saya … pasrah, berserah,
berdoa, berprasangka baik kepada Allah SWT benar-benar penolong yang mampu menguatkan
dan meluruskan niat. Terlepas dari visa ziarah yang kami gunakan, saya tetap
mengembalikan niat semula bahwa saya dan suami sungguh-sungguh ingin menggenapi
rukun Islam yang kami yakini demi meraih ridho Allah dalam mengerjakan rukun
haji ini. Selama di sana, saya terus memanjatkan doa agar Allah memudahkan
proses pelaksanaan rukun haji berikutnya agar niatan kami tersampaikan dan bisa
meraih haji mabrur. Aamiin.
Salam…. [Wylvera W.]