Berawal dari pertanyaan si Kakak ke bapaknya yang belakangan ini lebih sering dinas ke luar kota.
“Memangnya Bapak mau dinas ke mana
lagi sih?” itu pertanyaan si Kakak saat menguping obrolan saya dan
suami.
Begitu dia tahu kalau bapaknya mau
ke Makasar, si Kakak mupeng diajak. Tapi, ternyata si Bapak tidak mengizinkan
dengan alasan di sana bakal tidak bisa bareng karena dia akan disibukkan oleh
agenda dinas. Untunglah, anak-anak saya sudah terbiasa dengan kesibukan
bapaknya. Request ingin diajak itu
sekadar permohonan yang kalau diterima syukur, kalau ditolak pun mereka nggak
bakal jedot-jedotin kepala tanda protes. *hahaha ... sadis*
Namun, karena jadwal dinas suami
saya bertepatan dengan liburan panjangnya anak-anak, maka wajar kalau mereka
minta kompensasi. Terutama si Kakak yang memang hobinya traveling. Untuk itu, saya pun tidak mau mengecewakan mereka. Saya
pilihkan Bandung sebagai solusinya. Alhamdulillah, si Kakak antusias menerima
tawaran destinasi liburan terdekat dari Bekasi itu.
Tibalah hari kami berpisah menuju
destinasi masing-masing. Halaaah, mulai drama lagi nih! Eh, iya benar lho. Si
Bapak menuju ke Makasar jam 11, sementara saya, anak-anak, dan kakek neneknya
meluncur ke Bandung jam 1 siang. Kayak di film-film kan? Perpisahan kami
sungguh mengesankan. Jiaaahahaha ... fokuuus.
Memilih
penginapan murah
Baiklah, mari kita lanjutkan
ceritanya.
Akhirnya
kami meluncur di jalan tol yang belum terlalu padat merayap. Saya
menyetir dengan nyaman. Sementara anak-anak dan kakek neneknya berbincang tentang
apa saja sambil mendengarkan siaran radio di mobil. Perjalanan jadi tidak
membosankan. Anak-anak saya seolah punya banyak topik yang nggak habis-habisnya
untuk diobrolkan. Mulai dari cerita-cerita lucu dan berkesan tentang sekolah
mereka (kebetulan keduanya bersekolah di SMA yang sama) sampai kenangan saat traveling di Amrik.
Saya
menyimak dan sesekali ikut nimbrung. Katanya mereka kangen pada sensasi menempuh
highway (jalan tol kalau di
Indonesia) dan jalanan ala perkampungan di Amrik. Waktu itu kami memang pernah
menghabiskan waktu selama lebih dari dua minggu dengan bermodalkan transportasi
mobil pribadi. Entah berapa kota yang sudah kami singgahi di belahan bumi
Amerika itu. Sensasi tidur di rest area serta menumpang cuci muka dan sikat gigi di beberapa Walmart (mal yang ada di
sana) entah berapa kali pun sempat kami rasakan.
Ternyata anak-anak
saya masih menyimpan angan-angan mereka yang ingin mengulang perjalanan jauh
itu kembali. *tepok jidat, mimpilah itu* Demi mengembalikan fokus anak-anak,
saya sengaja memancing dengan obrolan beberapa tempat wisata yang akan kami
kunjungi selama di Bandung.
Saya
sudah memilihkan tempat penginapan, tepatnya Mulyasari Guest House yang
lokasinya tidak jauh dari pintu tol Pasteur. Sebenarnya, sebelum memutuskan
untuk memilih penginapan tersebut, saya sempat request ke suami untuk dipesankan rumah peristirahatan Bank
Indonesia yang ada di Jalan Setiabudi, Bandung. Sayang, sudah penuh. Wajarlah,
jelang liburan panjang dan tahun baru Masehi, pasti sudah banyak keluarga BI
yang memesan penginapan itu. Gratis pula. Kalau pun bayar, tak lebih dari
ratusan ribu.
Setelah
menempuh perjalanan Bekasi – Bandung selama kurang lebih satu setengah jam,
kami pun tiba di pintu tol Pasteur. Walaupun letak guest house yang saya pesan tidak sulit menemukannya, anak saya
tetap mengaktifkan map di hape saya. “Biar nggak nyasar,” katanya. Ah, itu
menyindir Ibu namanya. Mereka paham betul kalau ibunya memang senang menyetir,
tapi kadang-kadang suka disorientasi arah. *yaaah ... buka kartu*
Penampakan guest house dari depan |
Baiklah,
google map pun mengantarkan kami
persis di depan pintu Mulyasari Guest House. Kehadiran kami disambut ramah oleh
pemilik penginapan. Dua asistennya membantu membawakan tas dan koper kami
menuju dua kamar yang sudah saya pesan. Satu yang eksekutif dengan tarif 350
ribu per malam, satunya lagi standar seharga 250 ribu. Maunya dua-duanya
eksekutif, tapi sudah dipesan oleh orang lain.
Tangga ini bikin Papa saya enggan memilih kamar eksekutif |
Harga
itu cukup murah menurut saya. Fasilitas tambahan hampir sama dengan penginapan
lainnya. Kamar ber-AC, tivi, free wifi,
dan disediakan sarapan pagi. Beda kamar yang eksekutif dan standar hanya letak
kamar mandinya saja. Yang standar, kamar mandinya di luar atau berbagi dengan yang
lain. Saya memilihkan kamar yang eksekutif untuk Papa dan Mama saya. Tapi,
karena letak kamar eksekutif adanya di bawah dan harus naik turun tangga,
akhirnya Papa dan Mama memilih yang standar. Papa saya tidak kuat untuk
bolak-balik naik turun tangga.
Menguji
kesabaran di tengah kelaparan
Setelah istirahat
beberapa saat, kami pun siap-siap untuk keluar lagi. Bukan apa-apa, perut yang
mulai keroncongan memaksa untuk segera diisi. Selama di tol, saya beberapa kali
menawarkan untuk singgah di rest area
dan makan siang di sana. Namun, anak-anak dan kakek-neneknya lebih memilih
ingin menikmati makan di Bandung. Inilah awal dari tragedi itu. Prediksi saya
bahwa Bandung macetnya yang juara akan memperlambat kami untuk mencari dan
memilih tempat makan.
Dari Jalan Mulyasari ke sini bisa dua jam lho |
“Makannya di Paris Van Java aja, Bu,”
usul Mira, anak sulung saya.
Demi memuaskan keinginannya, saya
pun rela menempuh Jalan Sukajadi menuju mal yang cukup populer di Bandung itu. Benar
saja, belum apa-apa kami sudah dihadang oleh kemacetan yang super panjang.
Khalid (anak bungsu saya), mengusulkan jalan alternatif untuk memutar. Saya
mengikutinya. Ternyata sama saja parahnya. Mobil kami hanya mampu merayap di
kepadatan jalan.
“Ih, mau makan aja susah ya.”
Keluhan pertama mulai terdengar.
Saya berusaha untuk tidak panik meskipun tahu kalau itu adalah efek dari
dorongan lapar yang amat sangat. Hanya butuh kesabaran ekstra untuk mencapai
lokasi mal yang jaraknya sungguh dekat dari penginapan kami. Setelah hampir dua
jam, barulah kami berhasil memasuki area parkir Paris Van Java.
Area parkir PVJ yang begini banyak bisa penuh |
Kesabaran
lebih kembali diuji. Area parkir nyaris penuh. Saya tidak mau berputus asa.
Meskipun perut kami sudah dililit rasa lapar. *lebay sih, tapi emang betul ...
lapar bo’* Setelah terus-menerus menaiki putaran area parkir gedung, akhirnya
ada juga yang kosong di lantai sepuluh.
Sebelumnya
saya hampir kecewa. Jatah parkir yang sempit itu sebenarnya mau diambil oleh
mobil di depan kami. Tapi, ternyata sopirnya tidak berhasil memarkirkan mobil
mereka setelah bolak-balik mencoba. Jarak mundur yang memang riskan itu
akhirnya membuatnya menyerah. Padahal mobilnya lebih mungil dari ukuran mobil
kami.
“Emang
Ibu bisa parkir di situ?” tanya Khalid terkesan meragukan kemampuan ibunya.
Saya
senyum-senyum saja, takut sombong soale. *hag ... hag ... hag*
Rasa
lapar ternyata memberi rasa optimis. Dengan sabar dan penuh kehati-hatian agar
tidak menyenggol mobil lainnya, saya akhirnya berhasil mengambil jatah parkir
yang super sempit itu. *tepuk tangan dong buat saya ... plok ... plok ... plok!
Hahaha *
Pilih-pilih
akhirnya salah pilih
Awalnya saya ingin memilihkan
hidangan ala masakan rumah untuk kedua orangtua saya. Anak-anak saya pun
mengikut saja. Setelah berjalan menyusuri resto-resto di PVJ, pilihan kami
jatuh pada tempat makan yang menyajikan hidangan tradisional. Ada nasi goreng,
nasi timbel, dan lainnnya. Kami pun duduk dan memesan makanan pilihan
masing-masing. Saya dan Khalid memilih mi goreng, Mira dan kakeknya pesan nasi
goreng, sementara Mama saya ingin mencoba nasi timbel.
Mulai kesal lagi. Setengah jam berlalu. Makanan
yang kami pesan tak kunjung dihidangkan. Sementara perut sudah sulit diajak
kompromi. Saya mulai sulit mengendalikan amarah. Akhirnya saya menanyakan
kepada pelayan restoran itu, mengapa sebegitu lama pesanan kami diantar.
Jawabannya cukup menguji kesabaran saya. “Sebentar lagi ya, Bu. Masih
disiapkan.” *aaarrggh... berasap*
Rasa lapar berubah drastis menjadi eneg, ketika melihat pesanan kami
disajikan. Nasi timbel yang sama sekali tak sesuai dengan namannya membuat Mama
saya kehilangan selera. Mi goreng yang ala kadarnya bikin saya dan Khalid
mendadak kenyang. Untunglah nasi goreng pesanan Papa saya dan Mira tidak
terlalu mengecawakan. Sungguh-sungguh tidak sesuai dengan harganya. Untung saya nggak sempat memotonya.
Tibalah saatnya saya membayar di
meja kasir. Amarah yang sejak tadi ditahan sedemikian rupa, akhirnya tersalurkan
juga walaupun dalam kalimat yang masih tergolong santun. Saya sengaja
menyembunyikan darah preman Medan saya. *bwuahahaha ....*
“Mas, kalau bikin harga dan gambar
menu seharusnya tidak beda dong dengan tampilan hidangannya. Sejak kapan nasi
timbel hanya nasi putih biasa, pakai ikan lele dan tanpa lalapan dan sayur
asam? Mi gorengnya juga dua kali suap kelar dan jauh lebih enak bikinan saya di
rumah. Harganya enggak banget deh, Mas. Mana lama lagi nyajikannya. Maaf ya,
mungkin ini pertama dan terakhir kami makan di sini.”
“Maaf ya, Bu. Kompornya yang satu
rusak, jadi lama masaknya. Nasi timbel kami emang begitu,” jawabnya sambil
gugup menekan tuts mesin penghitung harga.
Sebenarnya saya bukan ingin membuatnya
malu, namun sekali-sekali perlu juga mengoreksi penjual yang tidak komit
seperti itu. Merugikan konsumen lho itu namanya. Syukur-syukur koreksi dari
saya dipikirkan ulang dan dijadikan masukan oleh mereka.
Nonton
demi mengobati rasa kecewa
Demi mengobati rasa kesal dengan
sajian menu makanan siang dan malam yang dinikmati kesorean itu, saya menuruti
ajakan anak-anak untuk menonton di PVJ. Mereka memilih menonton film “Bulan
Terbelah di Langit Amerika” setelah memesan popcorn dan minuman. Katanya, mereka ingin melihat seperti apa model
syi’ar dan dakwah yang disajikan dalam film itu. Mira yang paling getol ingin nonton sebenarnya, karena dia sempat menonton film Hanum sebelumnya (99 Cahaya di Langit Eropa).
Sepulang
dari menonton, meskipun sudah agak larut, Mira dan Khalid langsung
mendiskusikan film yang baru mereka lihat. Seru banget pokoke di mobil kami.
Khalid memuji beberapa teknik penyajian plot dalam film itu, tapi mengkritik part yang ditampilkan dengan kebetulan-kebetulan
yang menurutnya agak dipaksakan.
Sementara
Mira setuju dengan cara penulis menggambarkan pembelaan terhadap muslim pasca serangan
World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001 di New York. Hanya saja
menurutnya, pesan yang diangkat dalam film tersebut yang bermula dari penugasan
Hanum untuk membuat artikel dari bosnya dengan judul "Would
the World be Better Without Islam" kurang dalam digarap.
“New
York itu kota besar. Kita aja waktu di sana sempat bingung. Kebetulan Rangga
menemukan map Hanum itu kok gampang banget ya,” komentar Khalid dengan
penilaian sederhananya.
Saya
sendiri, tidak sepaham dengan sikap membiarkan dari Rangga (suami Hanum) ketika
melihat sahabatnya Stevan yang hidup bersama di luar nikah. Seolah mereka
nyaman-nyaman saja menginap di rumah Stevan dan pasangannya. Seandainya boleh
usul (ih siapa pula saya, kan filmnya sudah tayang, hihi), saya ingin penulis
dan sutradara menyelipkan sekilas ketidaknyamanan Rangga dan Hanum tentang hubungan
haram itu. Meskipun Stevan menganut paham bebas dan kurang percaya Tuhan.
Namanya juga sahabat kan? Masak nggak ada celah untuk mengkritik sahabat ya?
Cara mengkritiknya, saya pikir penulis dan sutradara jauh lebih pahamlah. Lapi
pula, tujuan dakwahnya kan bisa nambah.
Eeeh, kok
jadi membahas review film sih. Ini
cerita jalan-jalan euy! Sudah-sudah
... sesi menonton itu hanya demi mengobati lelah dan ketidakpuasan terhadap
sajian menu yang mahal tapi tidak nikmat saja.
Tempat tidur itu sudah menunggu kami ^_^ |
Setelah
perjalanan malam menuju kembali ke penginapan diwarnai diskusi hangat, akhirnya
kami sampai juga. Malam itu kami akhiri dengan sholat dan tidur lelap sebab esoknya kami masih ingin mengekplore tempat wisata lainnya. Nah,
bagian pertama sampai di sini dulu ya. Nanti disambung lagi. [Wylvera W.]
Senangnya bisa berbagi cerita,apa kabar mama Mira,sudah lama tak jumpa.
BalasHapusAlhamdulillah, baik. Fotonya mana nih, Mbak?
HapusReview penginapan sekaligus review film
BalasHapusIya, nggak sengaja. Padahal gak dibayar lho ini. Hihihi
HapusMurah ya penginapannya, secara di Bandung gitu, nyaman banget :)
BalasHapusIya, Mbak. Makanya aku langsung pesan aja kemarin. Sudah browsing belum ada yang semurah ini.
HapusAduh kesel yah, Mba Wiwik kalau dpt tempat makan seperti itu.
BalasHapusHu'um aku setuju dengan review filmnya.
Banget, Mbak. Secara kita semua sudah pada laper banget. Aku yang biasanya bisa nahan diri, akhirnya gak lolos ujian kesabaran waktu itu. Hikks
HapusIh kesel banget sama yang suka nipu gitu. Apalagi kalo resto yg namanya blm Terkenal. Gimana bs berkembang kalo masih segitu aja nipu
BalasHapusIya, Mbak.
HapusHarusnya ngomong aja kalau mereka tidak bisa menyediakan pesanan yang komplet sesuai gambar, kan beres.
Komplit ini. Ada review penginapan, tempat makan yang gak banget dan film.
BalasHapusHahaha, padahal niat awal mau cerita ini nggak gitu lho, Mbak. ;)
Hapuswah asik bgt perjalanannya, emang klo ke Banudng itu ga kuat macetnyaaa
BalasHapusIya, macetnya juara. Tapi nggak sepopuler Bekasi ya. *tanya kenapa* Hahaha
HapusMemang piknik ke Bandung saat libur itu menguji kesabaran. Kami pulang dari Bandung sampai Depok 6 jam!
BalasHapusKami sengaja memilih hari sebelum puncak liburan, tapi tetap aja maceeet
HapusBiasanya kalau memilih makanan dalam kondisi sedang panik, parkir penuh, sudah laper...dapatnya gak sesuai dengan bayangan ya, Mbak. Saya juga pernah seperti itu...rasa tidak sesuai dengan gambar, harganya tinggi kek tiang listrik...duuuh,tapi senang lah ya, liburan bersama anak-anak dan orangtua tercinta
BalasHapusIya, Mbak. Yang penting bisa segera makan jadinya. Padahal akhirnya kecewa. :)
Hapus