Laman

Minggu, 03 Januari 2016

Hari Pertama di Bandung

#Part1
            Berawal dari pertanyaan si Kakak ke bapaknya yang belakangan ini lebih sering dinas ke luar kota.
            “Memangnya Bapak mau dinas ke mana lagi sih?” itu pertanyaan si Kakak saat menguping obrolan saya dan suami.
            Begitu dia tahu kalau bapaknya mau ke Makasar, si Kakak mupeng diajak. Tapi, ternyata si Bapak tidak mengizinkan dengan alasan di sana bakal tidak bisa bareng karena dia akan disibukkan oleh agenda dinas. Untunglah, anak-anak saya sudah terbiasa dengan kesibukan bapaknya. Request ingin diajak itu sekadar permohonan yang kalau diterima syukur, kalau ditolak pun mereka nggak bakal jedot-jedotin kepala tanda protes. *hahaha ... sadis*
            Namun, karena jadwal dinas suami saya bertepatan dengan liburan panjangnya anak-anak, maka wajar kalau mereka minta kompensasi. Terutama si Kakak yang memang hobinya traveling. Untuk itu, saya pun tidak mau mengecewakan mereka. Saya pilihkan Bandung sebagai solusinya. Alhamdulillah, si Kakak antusias menerima tawaran destinasi liburan terdekat dari Bekasi itu.
            Tibalah hari kami berpisah menuju destinasi masing-masing. Halaaah, mulai drama lagi nih! Eh, iya benar lho. Si Bapak menuju ke Makasar jam 11, sementara saya, anak-anak, dan kakek neneknya meluncur ke Bandung jam 1 siang. Kayak di film-film kan? Perpisahan kami sungguh mengesankan. Jiaaahahaha ... fokuuus.

Memilih penginapan murah
            Baiklah, mari kita lanjutkan ceritanya.
Akhirnya kami meluncur di jalan tol yang belum terlalu padat merayap. Saya menyetir dengan nyaman. Sementara anak-anak dan kakek neneknya berbincang tentang apa saja sambil mendengarkan siaran radio di mobil. Perjalanan jadi tidak membosankan. Anak-anak saya seolah punya banyak topik yang nggak habis-habisnya untuk diobrolkan. Mulai dari cerita-cerita lucu dan berkesan tentang sekolah mereka (kebetulan keduanya bersekolah di SMA yang sama) sampai kenangan saat traveling di Amrik.
Saya menyimak dan sesekali ikut nimbrung. Katanya mereka kangen pada sensasi menempuh highway (jalan tol kalau di Indonesia) dan jalanan ala perkampungan di Amrik. Waktu itu kami memang pernah menghabiskan waktu selama lebih dari dua minggu dengan bermodalkan transportasi mobil pribadi. Entah berapa kota yang sudah kami singgahi di belahan bumi Amerika itu. Sensasi tidur di rest area serta menumpang cuci muka dan sikat gigi di beberapa Walmart (mal yang ada di sana) entah berapa kali pun sempat kami rasakan. 
Ternyata anak-anak saya masih menyimpan angan-angan mereka yang ingin mengulang perjalanan jauh itu kembali. *tepok jidat, mimpilah itu* Demi mengembalikan fokus anak-anak, saya sengaja memancing dengan obrolan beberapa tempat wisata yang akan kami kunjungi selama di Bandung. 
Saya sudah memilihkan tempat penginapan, tepatnya Mulyasari Guest House yang lokasinya tidak jauh dari pintu tol Pasteur. Sebenarnya, sebelum memutuskan untuk memilih penginapan tersebut, saya sempat request ke suami untuk dipesankan rumah peristirahatan Bank Indonesia yang ada di Jalan Setiabudi, Bandung. Sayang, sudah penuh. Wajarlah, jelang liburan panjang dan tahun baru Masehi, pasti sudah banyak keluarga BI yang memesan penginapan itu. Gratis pula. Kalau pun bayar, tak lebih dari ratusan ribu.
Setelah menempuh perjalanan Bekasi – Bandung selama kurang lebih satu setengah jam, kami pun tiba di pintu tol Pasteur. Walaupun letak guest house yang saya pesan tidak sulit menemukannya, anak saya tetap mengaktifkan map di hape saya. “Biar nggak nyasar,” katanya. Ah, itu menyindir Ibu namanya. Mereka paham betul kalau ibunya memang senang menyetir, tapi kadang-kadang suka disorientasi arah. *yaaah ... buka kartu*


Penampakan guest house dari depan
Baiklah, google map pun mengantarkan kami persis di depan pintu Mulyasari Guest House. Kehadiran kami disambut ramah oleh pemilik penginapan. Dua asistennya membantu membawakan tas dan koper kami menuju dua kamar yang sudah saya pesan. Satu yang eksekutif dengan tarif 350 ribu per malam, satunya lagi standar seharga 250 ribu. Maunya dua-duanya eksekutif, tapi sudah dipesan oleh orang lain. 

Tangga ini bikin Papa saya enggan memilih kamar eksekutif
Harga itu cukup murah menurut saya. Fasilitas tambahan hampir sama dengan penginapan lainnya. Kamar ber-AC, tivi, free wifi, dan disediakan sarapan pagi. Beda kamar yang eksekutif dan standar hanya letak kamar mandinya saja. Yang standar, kamar mandinya di luar atau berbagi dengan yang lain. Saya memilihkan kamar yang eksekutif untuk Papa dan Mama saya. Tapi, karena letak kamar eksekutif adanya di bawah dan harus naik turun tangga, akhirnya Papa dan Mama memilih yang standar. Papa saya tidak kuat untuk bolak-balik naik turun tangga.

Menguji kesabaran di tengah kelaparan
            Setelah istirahat beberapa saat, kami pun siap-siap untuk keluar lagi. Bukan apa-apa, perut yang mulai keroncongan memaksa untuk segera diisi. Selama di tol, saya beberapa kali menawarkan untuk singgah di rest area dan makan siang di sana. Namun, anak-anak dan kakek-neneknya lebih memilih ingin menikmati makan di Bandung. Inilah awal dari tragedi itu. Prediksi saya bahwa Bandung macetnya yang juara akan memperlambat kami untuk mencari dan memilih tempat makan. 

Dari Jalan Mulyasari ke sini bisa dua jam lho
            “Makannya di Paris Van Java aja, Bu,” usul Mira, anak sulung saya.
            Demi memuaskan keinginannya, saya pun rela menempuh Jalan Sukajadi menuju mal yang cukup populer di Bandung itu. Benar saja, belum apa-apa kami sudah dihadang oleh kemacetan yang super panjang. Khalid (anak bungsu saya), mengusulkan jalan alternatif untuk memutar. Saya mengikutinya. Ternyata sama saja parahnya. Mobil kami hanya mampu merayap di kepadatan jalan.
            “Ih, mau makan aja susah ya.”
            Keluhan pertama mulai terdengar. Saya berusaha untuk tidak panik meskipun tahu kalau itu adalah efek dari dorongan lapar yang amat sangat. Hanya butuh kesabaran ekstra untuk mencapai lokasi mal yang jaraknya sungguh dekat dari penginapan kami. Setelah hampir dua jam, barulah kami berhasil memasuki area parkir Paris Van Java. 

Area parkir PVJ yang begini banyak bisa penuh
Kesabaran lebih kembali diuji. Area parkir nyaris penuh. Saya tidak mau berputus asa. Meskipun perut kami sudah dililit rasa lapar. *lebay sih, tapi emang betul ... lapar bo’* Setelah terus-menerus menaiki putaran area parkir gedung, akhirnya ada juga yang kosong di lantai sepuluh.
Sebelumnya saya hampir kecewa. Jatah parkir yang sempit itu sebenarnya mau diambil oleh mobil di depan kami. Tapi, ternyata sopirnya tidak berhasil memarkirkan mobil mereka setelah bolak-balik mencoba. Jarak mundur yang memang riskan itu akhirnya membuatnya menyerah. Padahal mobilnya lebih mungil dari ukuran mobil kami.
“Emang Ibu bisa parkir di situ?” tanya Khalid terkesan meragukan kemampuan ibunya.
Saya senyum-senyum saja, takut sombong soale. *hag ... hag ... hag*
Rasa lapar ternyata memberi rasa optimis. Dengan sabar dan penuh kehati-hatian agar tidak menyenggol mobil lainnya, saya akhirnya berhasil mengambil jatah parkir yang super sempit itu. *tepuk tangan dong buat saya ... plok ... plok ... plok! Hahaha *

Pilih-pilih akhirnya salah pilih
            Awalnya saya ingin memilihkan hidangan ala masakan rumah untuk kedua orangtua saya. Anak-anak saya pun mengikut saja. Setelah berjalan menyusuri resto-resto di PVJ, pilihan kami jatuh pada tempat makan yang menyajikan hidangan tradisional. Ada nasi goreng, nasi timbel, dan lainnnya. Kami pun duduk dan memesan makanan pilihan masing-masing. Saya dan Khalid memilih mi goreng, Mira dan kakeknya pesan nasi goreng, sementara Mama saya ingin mencoba nasi timbel.
             Mulai kesal lagi. Setengah jam berlalu. Makanan yang kami pesan tak kunjung dihidangkan. Sementara perut sudah sulit diajak kompromi. Saya mulai sulit mengendalikan amarah. Akhirnya saya menanyakan kepada pelayan restoran itu, mengapa sebegitu lama pesanan kami diantar. Jawabannya cukup menguji kesabaran saya. “Sebentar lagi ya, Bu. Masih disiapkan.” *aaarrggh... berasap*
            Rasa lapar berubah drastis menjadi eneg, ketika melihat pesanan kami disajikan. Nasi timbel yang sama sekali tak sesuai dengan namannya membuat Mama saya kehilangan selera. Mi goreng yang ala kadarnya bikin saya dan Khalid mendadak kenyang. Untunglah nasi goreng pesanan Papa saya dan Mira tidak terlalu mengecawakan. Sungguh-sungguh tidak sesuai dengan harganya. Untung saya nggak sempat memotonya.
            Tibalah saatnya saya membayar di meja kasir. Amarah yang sejak tadi ditahan sedemikian rupa, akhirnya tersalurkan juga walaupun dalam kalimat yang masih tergolong santun. Saya sengaja menyembunyikan darah preman Medan saya. *bwuahahaha ....*
            “Mas, kalau bikin harga dan gambar menu seharusnya tidak beda dong dengan tampilan hidangannya. Sejak kapan nasi timbel hanya nasi putih biasa, pakai ikan lele dan tanpa lalapan dan sayur asam? Mi gorengnya juga dua kali suap kelar dan jauh lebih enak bikinan saya di rumah. Harganya enggak banget deh, Mas. Mana lama lagi nyajikannya. Maaf ya, mungkin ini pertama dan terakhir kami makan di sini.”
            “Maaf ya, Bu. Kompornya yang satu rusak, jadi lama masaknya. Nasi timbel kami emang begitu,” jawabnya sambil gugup menekan tuts mesin penghitung harga.
            Sebenarnya saya bukan ingin membuatnya malu, namun sekali-sekali perlu juga mengoreksi penjual yang tidak komit seperti itu. Merugikan konsumen lho itu namanya. Syukur-syukur koreksi dari saya dipikirkan ulang dan dijadikan masukan oleh mereka.

Nonton demi mengobati rasa kecewa
            Demi mengobati rasa kesal dengan sajian menu makanan siang dan malam yang dinikmati kesorean itu, saya menuruti ajakan anak-anak untuk menonton di PVJ. Mereka memilih menonton film “Bulan Terbelah di Langit Amerika” setelah memesan popcorn dan minuman. Katanya, mereka ingin melihat seperti apa model syi’ar dan dakwah yang disajikan dalam film itu. Mira yang paling getol ingin nonton sebenarnya, karena dia sempat menonton film Hanum sebelumnya (99 Cahaya di Langit Eropa).


Sepulang dari menonton, meskipun sudah agak larut, Mira dan Khalid langsung mendiskusikan film yang baru mereka lihat. Seru banget pokoke di mobil kami. Khalid memuji beberapa teknik penyajian plot dalam film itu, tapi mengkritik part yang ditampilkan dengan kebetulan-kebetulan yang menurutnya agak dipaksakan.
Sementara Mira setuju dengan cara penulis menggambarkan pembelaan terhadap muslim pasca serangan World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001 di New York. Hanya saja menurutnya, pesan yang diangkat dalam film tersebut yang bermula dari penugasan Hanum untuk membuat artikel dari bosnya dengan judul "Would the World be Better Without Islam" kurang dalam digarap.
“New York itu kota besar. Kita aja waktu di sana sempat bingung. Kebetulan Rangga menemukan map Hanum itu kok gampang banget ya,” komentar Khalid dengan penilaian sederhananya.
Saya sendiri, tidak sepaham dengan sikap membiarkan dari Rangga (suami Hanum) ketika melihat sahabatnya Stevan yang hidup bersama di luar nikah. Seolah mereka nyaman-nyaman saja menginap di rumah Stevan dan pasangannya. Seandainya boleh usul (ih siapa pula saya, kan filmnya sudah tayang, hihi), saya ingin penulis dan sutradara menyelipkan sekilas ketidaknyamanan Rangga dan Hanum tentang hubungan haram itu. Meskipun Stevan menganut paham bebas dan kurang percaya Tuhan. Namanya juga sahabat kan? Masak nggak ada celah untuk mengkritik sahabat ya? Cara mengkritiknya, saya pikir penulis dan sutradara jauh lebih pahamlah. Lapi pula, tujuan dakwahnya kan bisa nambah.
Eeeh, kok jadi membahas review film sih. Ini cerita jalan-jalan euy! Sudah-sudah ... sesi menonton itu hanya demi mengobati lelah dan ketidakpuasan terhadap sajian menu yang mahal tapi tidak nikmat saja. 

Tempat tidur itu sudah menunggu kami ^_^
Setelah perjalanan malam menuju kembali ke penginapan diwarnai diskusi hangat, akhirnya kami sampai juga. Malam itu kami akhiri dengan sholat dan tidur lelap sebab esoknya kami masih ingin mengekplore tempat wisata lainnya. Nah, bagian pertama sampai di sini dulu ya. Nanti disambung lagi. [Wylvera W.]

           

18 komentar:

  1. Senangnya bisa berbagi cerita,apa kabar mama Mira,sudah lama tak jumpa.

    BalasHapus
  2. Review penginapan sekaligus review film

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, nggak sengaja. Padahal gak dibayar lho ini. Hihihi

      Hapus
  3. Murah ya penginapannya, secara di Bandung gitu, nyaman banget :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak. Makanya aku langsung pesan aja kemarin. Sudah browsing belum ada yang semurah ini.

      Hapus
  4. Aduh kesel yah, Mba Wiwik kalau dpt tempat makan seperti itu.

    Hu'um aku setuju dengan review filmnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banget, Mbak. Secara kita semua sudah pada laper banget. Aku yang biasanya bisa nahan diri, akhirnya gak lolos ujian kesabaran waktu itu. Hikks

      Hapus
  5. Ih kesel banget sama yang suka nipu gitu. Apalagi kalo resto yg namanya blm Terkenal. Gimana bs berkembang kalo masih segitu aja nipu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak.
      Harusnya ngomong aja kalau mereka tidak bisa menyediakan pesanan yang komplet sesuai gambar, kan beres.

      Hapus
  6. Komplit ini. Ada review penginapan, tempat makan yang gak banget dan film.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha, padahal niat awal mau cerita ini nggak gitu lho, Mbak. ;)

      Hapus
  7. wah asik bgt perjalanannya, emang klo ke Banudng itu ga kuat macetnyaaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, macetnya juara. Tapi nggak sepopuler Bekasi ya. *tanya kenapa* Hahaha

      Hapus
  8. Memang piknik ke Bandung saat libur itu menguji kesabaran. Kami pulang dari Bandung sampai Depok 6 jam!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kami sengaja memilih hari sebelum puncak liburan, tapi tetap aja maceeet

      Hapus
  9. Biasanya kalau memilih makanan dalam kondisi sedang panik, parkir penuh, sudah laper...dapatnya gak sesuai dengan bayangan ya, Mbak. Saya juga pernah seperti itu...rasa tidak sesuai dengan gambar, harganya tinggi kek tiang listrik...duuuh,tapi senang lah ya, liburan bersama anak-anak dan orangtua tercinta

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak. Yang penting bisa segera makan jadinya. Padahal akhirnya kecewa. :)

      Hapus