Setiap jengkal bumi Allah yang saya
pijak, selalu memberikan hikmah bagi perjalanan hidup saya selanjutnya. Betapa saya
takut untuk tak selalu bersyukur atas nikmat yang dilimpahkan-Nya. Demikian
pula nikmat yang dirasakan oleh suami dan anak-anak saya. Kali ini, saya akan
bercerita dari sepenggal kenangan yang diberikan-Nya saat kami berada di
Washington DC. Inilah mungkin bagian janji Allah, agar kami senantiasa ingat untuk selalu bersyukur bahwa hingga hari ini kami masih diberi kesempatan untuk hidup. Ada apa ya?
Ada
bagian seru di catatan rekam jejak kali ini. Sebelum kami benar-benar tiba di
ibukota Amerika Serikat, perjalanan kami sedikit tersendat. Menegangkan
tepatnya.
Kok
bisa? Yuk, disimak.
Waktu itu, winter belum berakhir saat kami meninggalkan Urbana menuju sebuah
distrik yang dijadikan ibukota USA secara permanen hingga hari ini. Kami berangkat pada sore
hari. Awalnya walau udara masih terasa dingin menusuk kulit, perjalanan di highway yang sepi masih nyaman-nyaman
saja. Namun, pada setengah perjalanan sebelum mencapai Washington DC, tiba-tiba
salju turun semakin lama semakin deras. Jalanan beraspal yang biasanya aman
untuk dilalui mobil, berubah memutih dan menebal. Jalanan terlihat sepi sekali.
Kami nyaris tersesat di badai salju.
Cuaca di luar mobil mulai mencekam |
Suasana di dalam mobil yang tadinya
ceria dan penuh canda tawa, mendadak senyap. Meskipun suami saya terlihat
tenang sambil terus menyetir, saya tahu bahwa ada perasaan khawatir di balik
diamnya. Beberapa kali ban mobil kami selip, efek aspal yang licin karena salju
berubah membeku. Sambil terus berdoa dan berdzikir, saya mencoba ikut
menenangkan anak-anak. Melirik roman wajah mereka, saya yakin Mira dan Khalid
mulai tegang.
“Kita nggak bisa berhenti aja ya,
Pak?” Mira mulai mengajukan usul karena tak pandai menyimpan rasa takutnya.
“Nggak bisa. Rest
areanya masih jauh. Insya Allah nggak apa-apa. Tenang aja ya,” jawab si Bapak
berusaha menenangkan.
Perasaan saya entah seperti apa saat
itu. Jarak pandang semakin pendek, tertutup oleh curah salju yang begitu rapat
turunnya. Bolak-balik mata saya melirik hape. Ingin menelepon teman-teman yang
masih di Urbana, tapi tak mungkin. Tidak akan menyelesaikan rasa khawatir, malah
akan membebani mereka saja. Saya berusaha terus merapal doa dan sesekali
mengingatkan suami untuk selalu waspada dan konsentrasi pada jalan yang licin.
Di
tengah rasa takut dan pasrah dalam doa-doa, akhirnya kami bisa mencapai
iring-iringan dua truk yang jalannya melambat. Suami saya mendapat ide untuk
mengikuti jalur yang sudah dilewati oleh truk di depan kami. Jalanan beraspal
yang sudah dilalui ban truk tidak terlalu licin. Perlahan-lahan suami
saya melajukan mobil yang bannya sesekali masih meleset ke kiri dan kanan.
Wiper mobil kami pun terbalut salju |
Ketakutan
kami belum berakhir sampai di situ. Salju masih terus turun dengan deras. Satu
per satu truk yang kami buntuti akhirnya menyerah dan menepi. Sopirnya tidak
nekat menempuh jalanan bersalju yang licin itu.
“Oh,
no! Truknya berhenti!” teriak Khalid
kembali cemas.
“Kita
coba aja ya. Kita nggak bisa berhenti di sini dengan truk-truk itu,” balas si
Bapak.
Saya
paham maksudnya. Kami belum mengenal para sopir dan kenek truk itu. Riskan
rasanya kalau kami bergabung dengan mereka. Apalagi sudah larut malam. Dengan
sekuat tenaga dan keberanian serta memohon kepada Allah, suami saya tetap
melanjutkan perjalanan. Sesekali ban mobil kami kembali tergelincir di jalanan
yang licin. Mira dan Khalid bolak-balik menghela
nafas.
Tiba-tiba!
“Look! Ada cahaya, Pak! Awesome! Kita ada teman lagi!” teriak
Khalid dan Mira.
Masya
Allah, dalam ketakutan yang nyaris menguras tenaga, jauh di depan kami samar-samar
terlihat cahaya lampu. Ternyata
cahaya yang kami lihat itu dari lampu mobil besar pembersih salju di aspal. Ya
Allah, lega rasanya. Kami kembali melewati jalanan yang sudah dibersihkan. Perlahan-lahan
salju mulai reda. Alhamdulillah, perjalanan yang menegangkan itu akhirnya bisa
kami lewati atas izin Allah. Kami
kembali melewati highway dengan
hati-hati.
Tiba di kota Washington DC |
Keesokan
paginya, kami pun tiba di Washington DC. Cuaca pagi itu cerah. Tidak semuram
dan menakutkan seperti malamnya. Selanjutnya mari saya teruskan cerita tentang
kenangan lainnya saat kami tiba di Washington District of Columbia (DC).
Memasuki area perumahan tempat tinggal teman suami saya |
Hari
masih pagi saat kami memasuki kota Washington DC. Suami saya menghubungi
temannya yang saat itu bertugas dan menetap di sana. Beliau pun memandu arah
kami agar segera tiba di rumah mereka untuk bisa beristirahat. Pasangan suami
istri yang baik hati itu memberi tumpangan
untuk menginap di rumah mereka selama dua malam. Alhamdulillah, nikmatnya
ukhuwah langsung kami rasakan kala itu. Sambutan yang hangat mampu mengurangi
rasa lelah kami.
Menyusuri
Objek Bersejarah di National Mall
Setelah bersilaturahmi dan saling
bertukar kabar, kami pun mandi dan beristirahat. Selepas itu, karena hari masih
siang, kami kembali keluar. Mira dan Khalid sudah tak sabar untuk melihat kota
yang sebutannya diambil dari nama presiden pertama Amerika, George Washington
itu.
Risiko berjalan kaki di musim dingin ... brrr |
Sambil menyusuri kotanya, kami sibuk
memilih objek mana yang akan kami kunjungi lebih dulu. Untuk menikmati kota,
suami saya memilih memarkirkan mobil di public
parking area. Selebihnya kami
tempuh dengan berjalan kaki. Walau matahari bersinar, udara tetap terasa
dingin. Sesekali kami saling berpelukan di tepi trotoar.
Brrrr ... dingiiin ^^ |
Sampailah
kami di sebuah taman yang terletak di jantung kota Washington DC. Taman
nasional itu bernama National Mall. Di sanalah para wisatawan biasanya
memusatkan kunjungannya. Sebab, katanya jika ke Washington DC, tidak akan
lengkap jika tidak ke National Mall. Di kawasan itu pula kami bisa melihat
beberapa monumen bersejarah dan museum penting yang sangat terkenal.
Menurut
sejarahnya, ide membuat kawasan bernama National Mall itu berasal dari George
Washington, presiden Amerika yang pertama. National Mall yang awalnya hanya melingkupi
US Capitol sampai Washington Monument, akhirnya berkembang hingga ke Lincoln
Memorial.
Istirahat, menetralkan dinginnya udara yang menusuk di kulit |
Beberapa
kejadian penting yang menjadi catatan sejarah Amerika diselenggarakan di
National Mall itu. Salah satunya adalah pidato terkenal Marthin Luther King
(tokoh kulit hitam Amerika) yang berjudul I
Have a Dream. Kebetulan waktu itu anak-anak saya sekolahnya di Urbana juga
di Marthin Luther King Junior Elementary School. Saya mengingatkan tentang
sejarah itu kepada mereka. Entah apa sebabnya, kami tidak teringat mengabadikan
patung sang tokoh kulit hitam itu.Pfiuuuh...!
Gagal
masuk ke White House
Hal pertama yang
ingin kami lihat adalah gedung putih yang terkenal dengan nama White House. Di
sanalah presiden Amerika tinggal sejak tahun 1800. Gedung yang dibangun pada
tahun 1792 – 1800 itu sempat dibakar oleh tentara Inggris pada tahun 1814. Sejarah
lengkapnya, bisa ditemukan di beberapa sumber. Silakan dicari ya. ^^
Hanya bisa mengambil foto dari balik pagar White House :( |
Katanya, gedung putih ini ada
hantunya. Cerita burung yang berkembang mengatakan kalau Abraham Lincoln
(presiden Amerika ke-16) yang mati dibunuh, sesekali muncul di sana.
Orang-orang yang tinggal di gedung putih mengatakan pernah melihat kehadiran
Lincoln di dalam gedung itu. Entahlah, benar tidaknya cerita itu, silakan
buktikan sendiri. Eh, tapi harus tinggal dulu di dalamnya mungkin ya. Wanna try?
Berusaha senyum walau hati bete nggak bisa fotoan di dalam sana ^_^ |
Baidewei
… sayangnya kami tidak berkesempatan memasuki gedung itu. Ternyata harus pesan lebih awal agar tidak ketinggalan
antrian tiketnya. Mira dan Khalid sempat kecewa dan ngambek. Apa boleh buat,
kami hanya bisa berfoto di luar pagarnya saja.
Memanfaatkan
sisa waktu di World War II Memorial
Meskipun lokasinya tidak begitu jauh dari Washington Monument, Mira dan
Khalid lebih dulu memutuskan untuk menuju World War II Memorial. Saya dan si
Bapak mengikut saja.
Naluri belanja memang paling sulit disingkirkan :p |
Eiiits ...! Ada pesan sponsor yang tiba-tiba mengalihkan tujuan kami sejenak. Sebelum sampai ke lokasi monumen, kami
melihat beberapa mobil dengan bak terbuka yang menjual ragam suvenir khas
Washington DC. Ah, daya tarik barang dagangan yang dijual di mobil ternyata
sangat kuat untuk mengajak kami mendekatinya. Akhirnya, kami tergiur juga untuk
membeli beberapa kaus dan magnet kulkas yang bergambar objek wisata kota DC.
Khalid dengan roman kedingingan ^^ |
Setelah
selesai berbelanja, sisa waktu yang ada kami gunakan untuk mengunjungi area
World War II Memorial. Lokasi yang melambangkan sejarah ini dibangun untuk
warga Amerika yang berjasa pada masa Perang Dunia II.
Yang paling excited waktu itu melihat lokasi monumen adalah
Khalid. Dia terkesan dengan sosok tentara bersenjata terpahat rapi di bagian tembok yang terhubung dengan pilar granit. Semuanya melambangkan suasana perang di zaman itu.
Mira dan Khalid beda fokus dengan ibu mereka :p |
Di belakang sana pilar granitnya |
Sekilas melihat Thomas Jefferson Memorial dan Tugu American Expeditionary Force (AEF)
Semalaman
dicekam rasa cemas akibat badai salju, membuat tenaga kami tidak benar-benar
fit. Namun, karena lokasi bangunan-bangunan bersejarah yang ada di National
Mall letaknya tidak terlalu jauh, kami menyempatkan untuk melihat monumen Thomas
Jefferson Memorial. Monumen ini didedikasikan untuk Thomas Jefferson, presiden
Amerika yang ke-3. Cerita dan foto-foto yang lebih banyak tentang monumen ini nanti akan saya ulas di postingan
berikutnya.
Thomas Jefferson Memorial dari kejauhan |
Setelah
itu, Mira dan Khalid juga menyempatkan diri untuk berfoto di bawah monumen American
Expeditionary Force (AEF). Monumen ini sarat dengan sejarah yang menceritakan
tentang terjunnya Amerika Serikat dalam Perang Dunia I. Satu perubahan besar
yang sangat menentukan dalam pertempuran tersebut (1917). Saat itu kebijakan
perang kapal selam Jerman yang tidak terkontrol, mendorong Amerika Serikat
keluar dari kebijakan luar negeri yang diterapkan oleh
pemimpin yang merasa kepentingan dalam negerinya jauh lebih utama daripada
kepentingan luar negeri (isolasionisme) nya. Amerika pun terjun ke dalam konflik.
American Expeditionary Force (AEF) Memorial |
American
Expeditionary Force (AEF) yang terdiri dari pasukan baru di bawah kepemimpinan
John J. Pershing maju ke jantung konflik. Ditambah blokade yang semakin ketat
terhadap pelabuhan Jerman, AEF akhirnya membantu menggerakkan kondisi perang
sedemikian rupa. Wuaaah! Kalau ditulis semua kisah dari referensi sejarahnya, tak cukup sekali posting di blog saya ini. So ... silakan juga dicari sendiri ya sumber sejarah lengkapnya. *hahaha ... nyusahin pembaca ini mah* ^^
Baiklah, setelah berfoto di area itu, rasa
lelah sudah benar-benar menyerang. Suami saya memutuskan untuk kembali. Sebelum tiba
di rumah teman kami, suami saya mengajak untuk mengitari sekali lagi area
National Mall menuju tempat parkir. “Besok kita akan melanjutkan explorasi,” ujarnya berjanji.
Sampai di sini dulu ya. Di bagian
berikutnya, saya akan kembali bercerita tentang objek-objek bersejarah lainnya
yang pernah kami kunjungi di Washington DC. Soon!
[Wylvera W.]
Kereeeen, Kak Wik. Bikin mupeng :-*
BalasHapusMakasih ya, sudah ikut membaca cerita ini. :)
HapusSenang sekali membaca kisah dan ceritanya. Sangat menarik dan bisa menjadi inspirasi kami untuk jalan-jalan keluar ;-)
BalasHapusWah, makasih Mas Vavai sudah mau mampir ke blogku. Semoga bermanfaat ya. :)
HapusIkut deg-degan baca ceritanya. Hujan salju ternyata seperti itu ya.
BalasHapusIya, Fit. Dulu kita sering melihat hujan salju yang deras begini, tapi baru pas ke DC itu yang benar-benar seperti terjebak di tol yang sunyi.
HapusAllah maha baik ya. Ujan deres aja kalau di tol bisa memengaruhi jarak pandang ya, apalagi badai salju :( ga kebayang kondisi nyata gimana menegangkannya.
BalasHapusIya, Allah Maha Melindungi, Mbak. Sampai sekarang, anak-anakku kalau ingat itu masih terasa tegangnya.
HapusIkut gemeteran, hahaha.
BalasHapusJadi pengen ke sono deh ...
Ayo, Kang.
HapusMasukin list destinasi berikutnya. :)
ikutan tegang baca pas melaju di tengah jalan licin dan tiba-tiba akhirnya ada cahaya. Salam kenal mbak. Beruntungnya dirimu bisa ada di USA, jadi bisa nulis pengalaman seperti ini.
BalasHapusSalam kenal kembali.
HapusIya, kami beruntung bisa tinggal di sana beberapa tahun lalu.
Makasih ya, sudah berkunjung ke blogku. :)
serem banget adegan salju itu, saya jalan di daerah batang tengah malam aja ngeri padahal cuaca bagus, cuma beriringan dengan truk dan jalanan kecil itu yang bikin ngeri. Apalagi ini Mba Wi...di negeri orang ga kebayang jantung ini lemesnya.
BalasHapusTapi itu cerah tetep dingin ternyata yaah....semoga suatu hari bisa kesana.
Iya, Des.
HapusKami gak membaca prediksi cuaca waktu itu. Mana tengah malam pula kejadiannya. Tapi, alhamdulillah, kita jadi belajar dari kondisi itu.
Btw, iya kalau winter, tetap aja dingin walau cuacanya cerah. Malah bisa lebih dingin dibanding saat salju turun.
Nyenengin banget mba liat foto2nya.. Bikin mupeng..
BalasHapusIya, sengaja dishare bikin semangat, Mbak. :)
Hapuskeren kak wik. pengenn jadinya
BalasHapusAyolah, semangaaat!
HapusMauuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu... hehe..
BalasHapusBoleeeeh ....
HapusDuh, asyik banget bisa berkunjung ke tempat bersejarah yg jauh begitu. jadi pengen berpetualang juga :).
BalasHapusAyo, Mbak. Lanjutkan!
Hapus