Laman

Selasa, 22 Maret 2016

Dari Badai Salju menuju Washington DC



Perjalanan panjang kembali dimulai

            Setiap jengkal bumi Allah yang saya pijak, selalu memberikan hikmah bagi perjalanan hidup saya selanjutnya. Betapa saya takut untuk tak selalu bersyukur atas nikmat yang dilimpahkan-Nya. Demikian pula nikmat yang dirasakan oleh suami dan anak-anak saya. Kali ini, saya akan bercerita dari sepenggal kenangan yang diberikan-Nya saat kami berada di Washington DC. Inilah mungkin bagian janji Allah, agar kami senantiasa ingat untuk selalu bersyukur bahwa hingga hari ini kami masih diberi kesempatan untuk hidup. Ada apa ya?
Ada bagian seru di catatan rekam jejak kali ini. Sebelum kami benar-benar tiba di ibukota Amerika Serikat, perjalanan kami sedikit tersendat. Menegangkan tepatnya.
Kok bisa? Yuk, disimak.
            Waktu itu, winter belum berakhir saat kami meninggalkan Urbana menuju sebuah distrik yang dijadikan ibukota USA secara permanen hingga hari ini. Kami berangkat pada sore hari. Awalnya walau udara masih terasa dingin menusuk kulit, perjalanan di highway yang sepi masih nyaman-nyaman saja. Namun, pada setengah perjalanan sebelum mencapai Washington DC, tiba-tiba salju turun semakin lama semakin deras. Jalanan beraspal yang biasanya aman untuk dilalui mobil, berubah memutih dan menebal. Jalanan terlihat sepi sekali. Kami nyaris tersesat di badai salju. 

Cuaca di luar mobil mulai mencekam
            Suasana di dalam mobil yang tadinya ceria dan penuh canda tawa, mendadak senyap. Meskipun suami saya terlihat tenang sambil terus menyetir, saya tahu bahwa ada perasaan khawatir di balik diamnya. Beberapa kali ban mobil kami selip, efek aspal yang licin karena salju berubah membeku. Sambil terus berdoa dan berdzikir, saya mencoba ikut menenangkan anak-anak. Melirik roman wajah mereka, saya yakin Mira dan Khalid mulai tegang.
            “Kita nggak bisa berhenti aja ya, Pak?” Mira mulai mengajukan usul karena tak pandai menyimpan rasa takutnya.
            “Nggak bisa.  Rest areanya masih jauh. Insya Allah nggak apa-apa. Tenang aja ya,” jawab si Bapak berusaha menenangkan.
            Perasaan saya entah seperti apa saat itu. Jarak pandang semakin pendek, tertutup oleh curah salju yang begitu rapat turunnya. Bolak-balik mata saya melirik hape. Ingin menelepon teman-teman yang masih di Urbana, tapi tak mungkin. Tidak akan menyelesaikan rasa khawatir, malah akan membebani mereka saja. Saya berusaha terus merapal doa dan sesekali mengingatkan suami untuk selalu waspada dan konsentrasi pada jalan yang licin.
Di tengah rasa takut dan pasrah dalam doa-doa, akhirnya kami bisa mencapai iring-iringan dua truk yang jalannya melambat. Suami saya mendapat ide untuk mengikuti jalur yang sudah dilewati oleh truk di depan kami. Jalanan beraspal yang sudah dilalui ban truk tidak terlalu licin. Perlahan-lahan suami saya melajukan mobil yang bannya sesekali masih meleset ke kiri dan kanan. 

Wiper mobil kami pun terbalut salju
Ketakutan kami belum berakhir sampai di situ. Salju masih terus turun dengan deras. Satu per satu truk yang kami buntuti akhirnya menyerah dan menepi. Sopirnya tidak nekat menempuh jalanan bersalju yang licin itu.
“Oh, no! Truknya berhenti!” teriak Khalid kembali cemas.
“Kita coba aja ya. Kita nggak bisa berhenti di sini dengan truk-truk itu,” balas si Bapak.
Saya paham maksudnya. Kami belum mengenal para sopir dan kenek truk itu. Riskan rasanya kalau kami bergabung dengan mereka. Apalagi sudah larut malam. Dengan sekuat tenaga dan keberanian serta memohon kepada Allah, suami saya tetap melanjutkan perjalanan. Sesekali ban mobil kami kembali tergelincir di jalanan yang licin. Mira dan Khalid bolak-balik menghela nafas.
Tiba-tiba!
Look! Ada cahaya, Pak! Awesome! Kita ada teman lagi!” teriak Khalid dan Mira.
Masya Allah, dalam ketakutan yang nyaris menguras tenaga, jauh di depan kami samar-samar terlihat cahaya lampu. Ternyata cahaya yang kami lihat itu dari lampu mobil besar pembersih salju di aspal. Ya Allah, lega rasanya. Kami kembali melewati jalanan yang sudah dibersihkan. Perlahan-lahan salju mulai reda. Alhamdulillah, perjalanan yang menegangkan itu akhirnya bisa kami lewati atas izin Allah.  Kami kembali melewati highway dengan hati-hati. 

Tiba di kota Washington DC
Keesokan paginya, kami pun tiba di Washington DC. Cuaca pagi itu cerah. Tidak semuram dan menakutkan seperti malamnya. Selanjutnya mari saya teruskan cerita tentang kenangan lainnya saat kami tiba di Washington District of Columbia (DC). 

Memasuki area perumahan tempat tinggal teman suami saya
Hari masih pagi saat kami memasuki kota Washington DC. Suami saya menghubungi temannya yang saat itu bertugas dan menetap di sana. Beliau pun memandu arah kami agar segera tiba di rumah mereka untuk bisa beristirahat. Pasangan suami istri  yang baik hati itu memberi tumpangan untuk menginap di rumah mereka selama dua malam. Alhamdulillah, nikmatnya ukhuwah langsung kami rasakan kala itu. Sambutan yang hangat mampu mengurangi rasa lelah kami.

Menyusuri Objek Bersejarah di National Mall
            Setelah bersilaturahmi dan saling bertukar kabar, kami pun mandi dan beristirahat. Selepas itu, karena hari masih siang, kami kembali keluar. Mira dan Khalid sudah tak sabar untuk melihat kota yang sebutannya diambil dari nama presiden pertama Amerika, George Washington itu.    

Risiko berjalan kaki di musim dingin ... brrr
            Sambil menyusuri kotanya, kami sibuk memilih objek mana yang akan kami kunjungi lebih dulu. Untuk menikmati kota, suami saya memilih memarkirkan mobil di public parking area. Selebihnya kami tempuh dengan berjalan kaki. Walau matahari bersinar, udara tetap terasa dingin. Sesekali kami saling berpelukan di tepi trotoar.

Brrrr ... dingiiin ^^
Sampailah kami di sebuah taman yang terletak di jantung kota Washington DC. Taman nasional itu bernama National Mall. Di sanalah para wisatawan biasanya memusatkan kunjungannya. Sebab, katanya jika ke Washington DC, tidak akan lengkap jika tidak ke National Mall. Di kawasan itu pula kami bisa melihat beberapa monumen bersejarah dan museum penting yang sangat terkenal.
Menurut sejarahnya, ide membuat kawasan bernama National Mall itu berasal dari George Washington, presiden Amerika yang pertama. National Mall yang awalnya hanya melingkupi US Capitol sampai Washington Monument, akhirnya berkembang hingga ke Lincoln Memorial.

Istirahat, menetralkan dinginnya udara yang menusuk di kulit
Beberapa kejadian penting yang menjadi catatan sejarah Amerika diselenggarakan di National Mall itu. Salah satunya adalah pidato terkenal Marthin Luther King (tokoh kulit hitam Amerika) yang berjudul I Have a Dream. Kebetulan waktu itu anak-anak saya sekolahnya di Urbana juga di Marthin Luther King Junior Elementary School. Saya mengingatkan tentang sejarah itu kepada mereka. Entah apa sebabnya, kami tidak teringat mengabadikan patung sang tokoh kulit hitam itu.Pfiuuuh...!

Gagal masuk ke White House
            Hal pertama yang ingin kami lihat adalah gedung putih yang terkenal dengan nama White House. Di sanalah presiden Amerika tinggal sejak tahun 1800. Gedung yang dibangun pada tahun 1792 – 1800 itu sempat dibakar oleh tentara Inggris pada tahun 1814. Sejarah lengkapnya, bisa ditemukan di beberapa sumber. Silakan dicari ya. ^^

Hanya bisa mengambil foto dari balik pagar White House :(
            Katanya, gedung putih ini ada hantunya. Cerita burung yang berkembang mengatakan kalau Abraham Lincoln (presiden Amerika ke-16) yang mati dibunuh, sesekali muncul di sana. Orang-orang yang tinggal di gedung putih mengatakan pernah melihat kehadiran Lincoln di dalam gedung itu. Entahlah, benar tidaknya cerita itu, silakan buktikan sendiri. Eh, tapi harus tinggal dulu di dalamnya mungkin ya. Wanna try?

Berusaha senyum walau hati bete nggak bisa fotoan di dalam sana ^_^
            Baidewei … sayangnya kami tidak berkesempatan memasuki gedung itu. Ternyata harus pesan lebih awal agar tidak ketinggalan antrian tiketnya. Mira dan Khalid sempat kecewa dan ngambek. Apa boleh buat, kami hanya bisa berfoto di luar pagarnya saja.

Memanfaatkan sisa waktu di World War II Memorial
            Meskipun lokasinya tidak begitu jauh dari Washington Monument, Mira dan Khalid lebih dulu memutuskan untuk menuju World War II Memorial. Saya dan si Bapak mengikut saja.

Naluri belanja memang paling sulit disingkirkan :p
            Eiiits ...! Ada pesan sponsor yang tiba-tiba mengalihkan tujuan kami sejenak. Sebelum sampai ke lokasi monumen, kami melihat beberapa mobil dengan bak terbuka yang menjual ragam suvenir khas Washington DC. Ah, daya tarik barang dagangan yang dijual di mobil ternyata sangat kuat untuk mengajak kami mendekatinya. Akhirnya, kami tergiur juga untuk membeli beberapa kaus dan magnet kulkas yang bergambar objek wisata kota DC.

Khalid dengan roman kedingingan ^^

Setelah selesai berbelanja, sisa waktu yang ada kami gunakan untuk mengunjungi area World War II Memorial. Lokasi yang melambangkan sejarah ini dibangun untuk warga Amerika yang berjasa pada masa Perang Dunia II. 


Yang paling excited waktu itu melihat lokasi monumen adalah Khalid. Dia terkesan dengan sosok tentara bersenjata terpahat rapi di bagian tembok yang terhubung dengan pilar granit. Semuanya melambangkan suasana perang di zaman itu.

Mira dan Khalid beda fokus dengan ibu mereka :p
Di belakang sana pilar granitnya
Memorial yang terdiri dari 56 pilar granit setinggi 5 meter ini, dibangun pada tahun 2001 – 2004. Pilar-pilar yang ada, melambangkan 48 negara bagian Amerika pada tahun 1945, ditambah 8 distrik lainnya, termasuk distrik Columbia.


Sekilas melihat Thomas Jefferson Memorial dan Tugu American Expeditionary Force (AEF)
            Semalaman dicekam rasa cemas akibat badai salju, membuat tenaga kami tidak benar-benar fit. Namun, karena lokasi bangunan-bangunan bersejarah yang ada di National Mall letaknya tidak terlalu jauh, kami menyempatkan untuk melihat monumen Thomas Jefferson Memorial. Monumen ini didedikasikan untuk Thomas Jefferson, presiden Amerika yang ke-3. Cerita dan foto-foto yang lebih banyak tentang monumen ini nanti akan saya ulas di postingan berikutnya.

Thomas Jefferson Memorial dari kejauhan

Setelah itu, Mira dan Khalid juga menyempatkan diri untuk berfoto di bawah monumen American Expeditionary Force (AEF). Monumen ini sarat dengan sejarah yang menceritakan tentang terjunnya Amerika Serikat dalam Perang Dunia I. Satu perubahan besar yang sangat menentukan dalam pertempuran tersebut (1917). Saat itu kebijakan perang kapal selam Jerman yang tidak terkontrol, mendorong Amerika Serikat keluar dari kebijakan luar negeri yang diterapkan oleh pemimpin yang merasa kepentingan dalam negerinya jauh lebih utama daripada kepentingan luar negeri (isolasionisme) nya. Amerika pun terjun ke dalam konflik. 

American Expeditionary Force (AEF) Memorial 
American Expeditionary Force (AEF) yang terdiri dari pasukan baru di bawah kepemimpinan John J. Pershing maju ke jantung konflik. Ditambah blokade yang semakin ketat terhadap pelabuhan Jerman, AEF akhirnya membantu menggerakkan kondisi perang sedemikian rupa. Wuaaah! Kalau ditulis semua kisah dari referensi sejarahnya, tak cukup sekali posting di blog saya ini. So ... silakan juga dicari sendiri ya sumber sejarah lengkapnya. *hahaha ... nyusahin pembaca ini mah* ^^
            Baiklah, setelah berfoto di area itu, rasa lelah sudah benar-benar menyerang. Suami saya memutuskan untuk kembali. Sebelum tiba di rumah teman kami, suami saya mengajak untuk mengitari sekali lagi area National Mall menuju tempat parkir. “Besok kita akan melanjutkan explorasi,” ujarnya berjanji.
            Sampai di sini dulu ya. Di bagian berikutnya, saya akan kembali bercerita tentang objek-objek bersejarah lainnya yang pernah kami kunjungi di Washington DC. Soon! [Wylvera W.]
           
           
Foto: Koleksi pribadi

22 komentar:

  1. Kereeeen, Kak Wik. Bikin mupeng :-*

    BalasHapus
  2. Senang sekali membaca kisah dan ceritanya. Sangat menarik dan bisa menjadi inspirasi kami untuk jalan-jalan keluar ;-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, makasih Mas Vavai sudah mau mampir ke blogku. Semoga bermanfaat ya. :)

      Hapus
  3. Ikut deg-degan baca ceritanya. Hujan salju ternyata seperti itu ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Fit. Dulu kita sering melihat hujan salju yang deras begini, tapi baru pas ke DC itu yang benar-benar seperti terjebak di tol yang sunyi.

      Hapus
  4. Allah maha baik ya. Ujan deres aja kalau di tol bisa memengaruhi jarak pandang ya, apalagi badai salju :( ga kebayang kondisi nyata gimana menegangkannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Allah Maha Melindungi, Mbak. Sampai sekarang, anak-anakku kalau ingat itu masih terasa tegangnya.

      Hapus
  5. Ikut gemeteran, hahaha.
    Jadi pengen ke sono deh ...

    BalasHapus
  6. ikutan tegang baca pas melaju di tengah jalan licin dan tiba-tiba akhirnya ada cahaya. Salam kenal mbak. Beruntungnya dirimu bisa ada di USA, jadi bisa nulis pengalaman seperti ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal kembali.
      Iya, kami beruntung bisa tinggal di sana beberapa tahun lalu.
      Makasih ya, sudah berkunjung ke blogku. :)

      Hapus
  7. serem banget adegan salju itu, saya jalan di daerah batang tengah malam aja ngeri padahal cuaca bagus, cuma beriringan dengan truk dan jalanan kecil itu yang bikin ngeri. Apalagi ini Mba Wi...di negeri orang ga kebayang jantung ini lemesnya.

    Tapi itu cerah tetep dingin ternyata yaah....semoga suatu hari bisa kesana.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Des.
      Kami gak membaca prediksi cuaca waktu itu. Mana tengah malam pula kejadiannya. Tapi, alhamdulillah, kita jadi belajar dari kondisi itu.
      Btw, iya kalau winter, tetap aja dingin walau cuacanya cerah. Malah bisa lebih dingin dibanding saat salju turun.

      Hapus
  8. Nyenengin banget mba liat foto2nya.. Bikin mupeng..

    BalasHapus
  9. Mauuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu... hehe..

    BalasHapus
  10. Duh, asyik banget bisa berkunjung ke tempat bersejarah yg jauh begitu. jadi pengen berpetualang juga :).

    BalasHapus