|
Istana Maimun tampak dari depan (foto pribadi) |
Berwisata ke kota Medan, rasanya
tidak lengkap kalau tidak berkunjung ke Istana Maimun. Nama besar istana ini
sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Atau masih adakah yang
belum mengenal Istana Maimun? Baiklah, mari simak catatan saya saat berkunjung
ke bangunan yang didominasi warna kuning ini.
Istana Maimun merupakan salah satu
peninggalan sejarah yang usianya sudah ratusan tahun. Hingga kini,
keberadaannya masih menjadi daya tarik wisatawan yang datang ke kota Medan.
Letak bangunannya sangat strategis dan berada di jantung kota. Tepatnya di Jl.
Al Rasyif No. 66, Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Medan Maimun, Medan.
Istana
Maimun dan daya tariknya
Sejak menikah dan meninggalkan kota
kelahiran saya (Medan) tahun 1997 yang lalu, entah berapa kali sudah saya dan
keluarga pulang dalam rangka mudik lebaran. Namun, tidak pernah terpikir untuk
sekali pun mampir dan mengulas tentang pesona istana yang masih tampak megah
ini. Kalau pun pernah, saya hanya sekadar mampir sejenak, berfoto, melupakannya
begitu saja.
Di
momen mudik lebaran 2016 kali ini, saya benar-benar ingin kembali ke istana
itu. Ketika memasuki dua hari terakhir Ramadan, keinginan saya begitu kuat.
Maka saya pun mengajak adik ipar dan putri saya Mira untuk bersama-sama
berkunjung ke Istana Maimun. Kami tiba di lokasi sekitar jam sebelas siang. Panas
matahari yang mencapai 38 derajat Celcius, seakan menembus kaca jendela mobil.
Namun, niat kuat melebihi rasa panas yang menyengat itu.
|
Jadwal kunjungan dan atraksi yang digelar |
|
Saya dan Mira di depan bangunan istana |
Saya
parkirkan mobil di area yang dikhususkan untuk kendaraan para pengunjung.
Begitu turun dari mobil, saya langsung merasakan aura adat Melayu yang khas. Warna
kuning sejatinya adalah salah satu ciri khas suku Melayu. Pesona bangunan
istana yang dicat dengan dominasi warna kuning langsung terpancar. Sebelum
memasuki istana, saya memilih memuaskan pandangan pada kemegahan bangunan yang
luasnya 2772 m2 dengan 3 bagian bangunan,
yaitu bangunan induk, sayap kiri, dan kanan.
|
Masuk melewati anak tangga ini (dokpri) |
|
Di ruang utama (dokpri) |
Istana ini bertingkat dua yang
sekelilingnya ditopang oleh 82 buah tiang batu dan 43 tiang kayu dengan
lengkungan-lengkungan yang berbentuk lunas perahu terbalik dan ladam kuda.
Atapnya berbentuk limasan dan kubah (dome) dengan bahan atap sirap serta
tembaga (seng). Atap limasan terdapat pada bangunan-bangunan induk, sayap kiri
dan kanan. Sementara atap kubah (dome) sebanyak tiga buah ada di bagian depan.
|
Langit-langit istana dan lampu kristalnya |
|
Koleksi foto-foto keluarga Sultan |
Setelah puas melihat sisi luar
istana, kami pun memutuskan untuk masuk melewati pintu masuk dengan koridor
bertangga dari batu pualam. Kami pun naik ke bangunan induk yang berteras di
kiri dan kanannya. Mereka menyebutnya anjungan. Melalui gerbang dengan penyekat
pintu dorong ala Eropa, kami menuju
ruangan tempat Sulat menerima tamu-tamu resminya di masa itu. Di kiri dan kanan
terdapat kamar kerja para penjawat dan para dayang (pembantu-pembantu pria dan
wanita yang mengabdi pada Sultan).
|
Singgasana Sultan Deli |
Di sisi ruang induk terdapat
singgasana Sultan yang didominasi oleh warna kuning keemasan. Bentuknya persegi empat, lengkap dengan kubah
dan lengkungan runcing pada ketiga sisinya. Ruangan ini disebut balairung yang
diterangi oleh cahata lampu-lampu Kristal buatan Eropa. Pada dinding ruangan
terdapat pajangan figura dan lukisan serta foto-foto Sultan Deli terdahulu.
|
Merasakan duduk di kursi Sultan |
Saya dan Mira tidak puas hanya
melihat balairung saja. Kami pun menuju ruangan yang berada di belakang. Dulu,
ruangan ini dipakai sebagai tempat upacara pernikahan dan ruang makan keluarga
Sultan. Di ruangan ini pula kami melihat 2 buah kursi yang menjadi kursi tahta
sang Sultan, berikut lemari dan 2 meja buatan Eropa.
Berpakaian
ala Putri Deli
Setelah puas mengitari ruangan, saya
tertarik untuk mencoba pakaian adat Melayu yang di masa itu dikenakan oleh
Putri Deli. Beberapa pengunjung lainnya pun melakukan hal yang sama.
Pakaian-pakaian kebesaran itu ternyata disewakan dengan harga 25 ribu untuk
satu set komplit dengan mahkotanya. Cukupn murah ‘kan? Sayang untuk dilewatkan.
|
Koleksi songket Melayu yang dijual pada pengunjung |
|
Aneka suvenir yang dijual |
Tidak
hanya itu, ruangan yang disetting
seperti toko dalam istana itu juga menjual kain-kain songket khas Melayu dan
barang-barang souvenir Melayu lainnya. Dalam hati saya berniat akan membeli
beberapa kain songket tersebut untuk melengkapi koleksi saya. Namun sebelumnya,
saya akan memuaskan hati terlebih dahulu dengan busana adatnya.
|
Saya dan pakaian putri Melayu |
Anak saya Mira dan Bu’le nya memilih
menjadi juru foto saja. Setelah usai didandani oleh penjaga toko, saya pun
beraksi bak seorang putri. Warna kuning emas dari gaun yang saya kenakan memancarkan
warna kebesaran Kerajaan Melayu. Mira yang menjadi pengarah gaya, membuat saya
puas berfoto dengan menganakan busana adat Melayu itu. Serasa menjelama menjadi
Putri Hijau sehari.
Meriam
Puntung dan Legenda Putri Hijau
Berada di lokasi Istana Maimun, membuat
saya ingat pada kisah tiga orang kakak beradik yang terkait dengan meriam. Sekitar
tahun 1612, terdapat kerajaan Haru Baru yang diperkirakan terletak di daerah
Deli Tua sekarang ini. Rajanya memiliki tiga orang putra dan putri. Mereka
adalah Mambang Diazid, Putri Hijau, dan Mambang Khayali (Mambang Sakti).
Kami
memutuskan untuk keluar dari istana menuju tempat penyimpanan meriam tersebut.
Lokasi bangunan tempat menyimpan meriam itu terletak di sebelah bangunan
istana. Melihat bentuk bangunan kecil itu, saya teringat pada rumah-rumah adat
Batak Karo.
|
Rumah tempat penyimpanan meriam puntung |
Dikisahkan
pada zaman itu, Kerajaan Haru Baru mendapat serangan dari Kerajaan Aceh yang marah karena pinangannya terhadap Putri Hijau ditolak. Pada saat pasukan dari Kerajaan Aceh mampu
menjebol pertahanan Kerajaan Haru Baru, Mambang Khayali (Mambang Sakti) pun
menghilang lalu tiba-tiba sebuah meriam meletus terus-menerus. Karena meletus
tanpa jeda, meriam tersebut menjadi panas dan akhirnya pecah beberapa bagian.
Maka sejak itu dinamakan menjadi Meriam Puntung.
Dalam hikayatnya, meriam puntung merupakan jelmaan dari Mambang Khayali. Hingga saat ini, meriam tersebut masih menyimpan suara gemuruh di dalamnya. Jika kita menempelkan telingan di lubangnya, maka suara gemuruh itu jelas sekali terdengar. Konon katanya, suara itu sisa dari ledakan amarah meriam. Hingga saat ini, pecahan
meriam tersebut terpisah di dua tempat. Satu di Istana Maimun dan sisanya ada
di Desa Sukanalu dataran tinggi Karo.
|
Saya penasaran ingin mendengar suara gemuruh yang berada di dalam meriam |
Rasa
penasaran saya terhadap bentuk bangunan yang menyimpan meriam puntung pun
akhirnya terjawab. Sementara legenda Putri Hijau, dikisahkan bahwa di masa itu,
Raja Aceh ingin mempersunting Putri Hijau yang cantik jelita. Disebut sebagai
Putri Hijau sebab dari tubuhnya sering memancar kilau berwarna hijau.
Sebenarnya Putri Hijau menolak pinangan Raja Aceh dengan mengajukan tiga syarat
yang diperkirakan sulit untuk dipenuhi. Namun, Raja Aceh mampu memenuhi
permintaan Putri Hijau untuk memberikannya peti kaca (digunakan untuk membawa
Putri Hijau menuju Aceh), bertih (padi yang dipanaskan tanpa minyak), telur
ayam (yang setelahnya akan ditaburkan ke laut saat kapal yang membawa putri menuju
pelabuhan Kerajaan Aceh).
|
Hanya butuh 3000 rupiah untuk bisa melihat ini |
Dalam
perjalanan menyeberangi laut yang hampir tiba di Kerajaan Aceh, bertih dan
telur ayam yang ditaburkan ke laut memunculkan seekor naga dari dalam laut.
Konon, naga tersebut merupakan jelmaan dari Mambang Diazid (saudara laki-laki
Putri Hijau). Naga tersebut pun menyambar Putri Hijau beserta peti kacanya lalu
menghilang ke dalam laut. Kejadian tersebut disaksikan oleh masyarakat Aceh
yang berada di tepian pelabuhan. Pelabuhan tersebut diperkirakan di daerah
Panton Labu, Aceh Timur sekarang.
Berkunjung
ke Istana Maimun dan menyimak rangkain sejarah singkatnya, membuat momen mudik
saya kali ini sangat berkesan. Saya yang lahir dan besar di Medan, sebelumnya
tidak pernah begitu antusias menyalin ulang bagian dari sejarah dan legenda
ini. Untunglah, keinginan itu begitu kuat menyertai saya di kesempatan pulang kampung
kali ini. Semoga masih ada kesempatan lagi untuk mengulik sejarah lainnya yang
tersisa di kota Medan. Sampai jumpa! [Wylvera
W.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar