Setiap umat Islam yang memahami
kewajibannya dalam memenuhi rukun Islam, tentulah menginginkan semua rukun
tersebut bisa dipenuhi agar dirinya sempurna menjadi seorang muslim. Dari semua
rukun Islam yang kita pahami, berhaji adalah sebuah pelengkap yang menjadi
dambaan umat yang mampu memenuhinya. Saya dan suami pun menyimpan niat itu
baik-baik dalam hati. Hingga pada waktunya, keinginan itu kian memuncak.
Mengingat pendaftar untuk kuota calon
Jemaah haji di Indonesia yang begitu banyak dan harus menunggu antrian panjang
(5 – 10 tahun), kami akhirnya terus menimbang-nimbang. Jika ingin berangkat
mengikuti prosedur yang ditetapkan secara resmi oleh pemerintah (Departemen
Agama), kami harus sabar menunggu antrian yang sangat lama itu. Jika ingin
memangkas waktu agar lebih cepat, kami mau tak mau dihadapkan pada pilihan cara
keberangkatan dengan menggunakan visa di luar kuota.
Sebelum
bercerita lebih panjang tentang perjalanan haji saya dan suami, saya akan
mengawalinya dengan pilihan visa yang kami ambil. Kebetulan ada teman yang
punya koneksi (travel) untuk bisa mengurus visa di luar kuota ini dengan
jaminan keamanan yang membuat kami yakin untuk memilihnya. Dan, cara itulah
yang kami ambil setelah melakukan browsing
tentang segala konsekuensi yang bakal kami hadapi, termasuk biayanya yang cukup
besar. Intinya, informasi yang kami terima bahwa selama ini belum ada yang
terkendala dengan penggunaan visa ini. Kami pun percaya dan akhirnya berani
mencoba. Semua berangkat dari niat tulus yang suci. Itu saja.
Berangkat
Haji dengan Visa Ziarah
Tahun 2015, saya dan suami serta
pasangan suami istri (teman kantor suami yang istrinya juga sahabat saya),
sempat mendapat tawaran berhaji dengan visa undangan khusus dari Kerajaan Arab
Saudi. Sayangnya waktu itu, hanya visa suami saya dan suami teman saya yang
keluar. Dengan beberapa pertimbangan (termasuk kembali pada niat awal yang
ingin berhaji bersama), akhirnya kami membatalkannya.
Setelah itu, kami pun kembali
ditawari apakah mau mengulang proses berhaji dengan cara berangkat yang lebih
cepat tahun depan. Karena keinginan dan niat yang sudah sedemikian kuat ingin menunaikan
rukun Islam kelima ini, suami saya pun menerima tawaran itu. Demikian juga
dengan pasangan suami istri (teman kami tadi).
Pemilik
travel pun kembali meminta paspor kami untuk diproses. Namun waktu itu
saya terpaksa mengambil paspor tersebut karena ingin melakukan perjalanan ke
Frankfurt dan beberapa negara lainnya. Sekembalinya dari pesiar, saya menyetor
paspor saya lagi ke pemilik travel tersebut. Sejak itu (akhir November 2015),
paspor saya dan suami ada di tangan mereka. Setelah menunggu beberapa bulan,
akhirnya di penghujung bulan Maret 2016, visa ziarah yang dijanjikan pun resmi
menempel di lembaran paspor kami. Namun, paspor masih dipegang oleh pihak
travel. Saya bahkan tidak sempat melihat status paspor saya (termasuk batas
masa berlakunya).
Singkat
cerita, tibalah waktu keberangkatan yang telah ditetapkan, yaitu tanggal 30 Agustus
2016. Mendapat kabar baik ini (baik menurut versi kami yang saat itu memang
sungguh-sungguh ingin beribadah ke tanah suci-red), saya pun mulai
mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan selama melaksanakan ibadah di
tanah haram. Kami tidak lagi mencemaskan status visa ziarah yang sudah kami
terima. Niat tulus kami yang ingin sekali menunaikan rukun Islam kelima itu,
jauh lebih kuat dibanding pertimbangan berangkat dengan visa yang notabene
kabarnya tidak disarankan oleh pemerintah Indonesia itu. Terlebih, jaminan
keamanan yang dijanjikan sudah bulat menguatkan tekat kami.
Pertanyaan
yang muncul di acara walimatus safar
Visa
Ziarah yang sudah kami dapatkan tidak lagi menjadi pemikiran saya waktu itu. Saya
pun mengabarkan kepada tetangga terdekat bahwa kami telah resmi akan berangkat
menunaikan rukun haji. Seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap warga yang akan
berangkat ke tanah suci dalam rangka berhaji, jema’ah masjid di lingkungan kami selalu
menggelar acara pelepasan calon jema’ah haji. Tradisi ini pun akhirnya bergilir
ke saya dan suami. Namun, waktu itu suami saya tidak pernah mendapat kesempatan
untuk hadir di acara pelepasan yang dua kali dilakukan (masjid RW dan masjid
komplek), karena harus dinas keluar kota memenuhi tugas kantornya. Sayalah yang
selalu mewakili beliau.
Walimatus Safar di rumah kami |
Setelah
acara pelepasan oleh para jema’ah di tempat tinggal saya, kami pun berniat menggelar
acara walimatus safar di rumah sendiri. Sebelumnya, perlu kita lihat apa itu
makna walimatus safar. Secara harfiah, walimatus safar memiliki makna “menjamu”
atau “pesta” sebelum melakukan perjalanan jauh (safar). Sebagai warga
masyarakat (dengan status perantau) yang hidup bertetangga dengan baik, tentunya
kami tidak ingin pergi berhaji begitu saja tanpa berpamitan. Kami pun ingin
mengundang tetangga untuk hadir memenuhi niat “berpamitan” sebelum meninggalkan
tempat tinggal menuju tanah suci.
Idem |
Sebenarnya
tradisi walimatus safar ini tidak dikenal dalam manasik haji, karena tidak ada
hubungannya sama sekali dengan tata cara ibadah Rasulullah saw. Dikhawatirkan juga ghairu masyru’ (tidak disyari’atkan/tidak boleh). Kami memohon
ampunan kepada Allah SWT. Niat kami untuk melaksanakan walimatus safar
semata-mata hanya ingin menguatkan silaturahmi, mensyukuri nikmat Allah yang
telah membukakan jalan untuk kami berhaji, berbagi kebahagiaan seperti
firman-Nya yang artinya; “dan terhadap
nikmat Rabb-mu hendaklah kamu menyebut-nyebutnya”, menyampaikan permohonan
maaf, berpamitan, serta menitipkan keluarga yang akan kami tinggalkan untuk
rentang waktu yang cukup lama. Tidak lebih dari itu (tidak untuk pamer dan riya).
Nyaris
pulang ke rumah
Seperti
yang saya katakan tadi bahwa saya tidak lagi terlalu memikirkan status visa
ziarah yang kami pilih untuk berhaji. Namun, saya tidak bisa mencegah
pertanyaan tetangga. “Kloter berapa?” Ini salah satunya. Tentu saya tidak bisa
menjawabnya, sebab kami berangkat dalam status non kuota yang bukan masuk dalam
sebuah kloter. Untunglah yang bertanya tidak terlalu menginginkan jawabannya.
Saya pun tetap menyimpan proses kami mendapatkan visa tersebut. Namun, saya
sudah menyimpan niat bahwa setelah saya pulang, saya memang ingin sekali
berbagi tentang status visa ziarah ini. Saya belum berani bercerita karena saya
dan suami belum menjalani proses keseluruhannya.
Alhamdulillah
… saya dan suami sekarang sudah kembali ke tanah air dan telah menunaikan semua
rukun haji selama di tanah suci. Semoga Allah SWT melimpahkan kemabruran pada status haji kami. Aamiin Ya Rabb.
Lalu, inilah saatnya. Saya sempat berpikir berulang-ulang, apakah ini pantas saya sharing atau saya simpan saja sebagai catatan hati. Sempat galau. Namun, masukan dari teman-teman terhadap postingan saya di facebook, akhirnya menguatkan niat saya untuk berbagi cerita ini.
Lalu, inilah saatnya. Saya sempat berpikir berulang-ulang, apakah ini pantas saya sharing atau saya simpan saja sebagai catatan hati. Sempat galau. Namun, masukan dari teman-teman terhadap postingan saya di facebook, akhirnya menguatkan niat saya untuk berbagi cerita ini.
Kembali
ke proses keberangkatan kami. Tibalah waktu yang kami tunggu-tunggu sejak visa
keluar. Dengan dilepas oleh kedua orangtua saya, kedua anak kami, dan asisten
rumah tangga kami serta suami dan anak-anaknya, Senin, 29 Agustus 2016, pukul
22.30 WIB, mobil carteran yang membawa kami pun bergerak menuju bandara Internasional
Soekarno Hatta.
Menunggu keberangkatan di bandara Soeta |
Tiba
di bandara, kami langsung bergabung dengan para calon jema’ah haji dari beragam
domisili. Ada yang dari Kalimantan Timur, Makassar, Jambi, Karawang, dan
Jakarta. Jumlah kami 43 orang. Menurut informasi travel yang bertanggung jawab
memberangkatkan, rute penerbangan yang akan kami tempuh adalah Jakarta - Kuala
Lumpur – Filipina – Riyadh – Jeddah – Mekkah.
Awalnya,
saat mendengar kata Filipina, kecemasan saya dan suami kembali mencuat.
Mengingat berita yang sedang hangat tentang calon-calon jema’ah haji asal
Indonesia yang batal diberangkatkan dari Bandar Udara Internasional Ninoy
Aquino, Manila, Filipina itu, saya pun langsung mencari kepastian jaminan dari
pihak travel. Namun, pihak travel memberi jawaban yang cukup meyakinkan bahwa
paspor yang kami gunakan berbeda dengan paspor calon jema’ah haji yang batal berhaji di Filipina. Mereka menggunakan paspor ganda (paspor Filipina). Kecemasan saya kembali menguap.
Pesawat
Malaysia Airlines yang akan kami naiki berangkat jam lima pagi. Inilah awal
munculnya kembali kecemasan saya. Ketika penantian menunggu keberangkatan tiba
pada ujungnya, saya melihat sesuatu yang janggal. Semua calon jema’ah sudah
menerima paspor dan tiket untuk melewati jalur imigrasi menuju boarding. Sementara saya dan pasangan
suami istri (sahabat kami tadi) masih menunggu di pintu masuk resmi.
Ada
apakah?
Tim
travel dan sahabat saya yang sebenarnya sudah mengetahui kendala apa yang
sedang terjadi sehingga kami masih tertahan di luar, seolah sengaja
menyembunyikan sesuatu. Saya tidak bisa menyembunyikan kecemasan dan kecurigaan
yang mendesak-desak di dada. Untunglah suami saya tidak terpengaruh dengan
situasi yang membuat saya tegang itu. Itu semata-mata karena ia memang tidak
paham apa yang sedang terjadi.
Sambil
menekan kecemasan, saya berusaha untuk terus berdoa agar awal keberangkatan
dari tanah air ini diberi kelancaran oleh Allah SWT. Saya terus berdoa di
sela-sela rasa cemas yang kian memuncak. Akhirnya, Allah menjawab doa saya.
Paspor dan tiket kami pun keluar dan diserahkan ke saya dan suami. Namun, tanda
tanya besar yang tadi sempat menggumpal di benak saya masih belum terjawab.
Mengapa kami tertunda sekian lama di luar sementara calon jema’ah lainnya sudah
duduk manis di pesawat? Dan, mengapa pasangan suami istri (sahabat kami) juga
ikut menunggu di luar?
Begitu
duduk di peswat, istri teman suami saya pun meminta saya melihat paspor kami.
Terjawablah semuanya. Masa berlaku paspor saya dan suami ternyata hanya tinggal
lima bulan lebih beberapa hari lagi. Sementara syaratnya minimal enam bulan. Ya Allah, mengapa ini bisa terjadi pada saya dan suami yang
selama ini sangat teliti untuk hal-hal terkait dengan perjalanan ke luar
negeri? Ternyata, kesalahan ada di pihak travel. Dan, inilah salah satu kendala awal saat memilih visa ziarah. Alhamdulillah, Allah masih menolong kami.
Saya
tiba-tiba ingat kalau sekitar bulan Januari – Februari, saya sempat meminta
paspor saya dan suami untuk dicek lagi. Namun pihak travel mengatakan tidak
perlu karena tidak ada masalah. Jadi, kesalahan mutlak ada di pihak mereka
sehingga merekalah yang bertanggung jawab penuh. Setelah itu, saya bolak-balik
mengucap syukur pada kasih sayang Allah SWT. Tidak bisa saya bayangkan kalau
kami tidak bisa berangkat dan harus kembali ke rumah saat itu. Apa kata suami
saya ketika itu? “Berprasangka baiklah kepada Allah, maka Dia akan menolongmu
sesulit apa pun situasimu.” Saya berjanji akan terus mengingat kata-katanya
ini.
Catatan
perjalanan haji dengan visa ziarah ini masih panjang. Insya Allah, saya akan
melanjutkannya. Mohon maaf jika catatan pengalaman berhaji ini akan terbagi
pada beberapa postingan. Semoga bermanfaat. Salam…. [Wylvera W.]