Bismillahirrahmanirrahiim
….
“Alif
Lam Mim. Bangsa Romawi telah dikalahkan, di negeri yang terdekat dan mereka
setelah kekalahannya itu akan menang, dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah
urusan sebelum dan setelah (mereka menang). Dan pada hari (kemenangan bangsa
Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah.
Dia menolong siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha Perkasa, Maha Penyayang.”. (QS. Ar- Rum ayat 1 – 5)
Pada zaman
Rasulullah saw, kebesaran dan kekuatan kekaisaran Romawi terdengar hingga ke
semenanjung Arabia. Dalam sebuah hadits, Imam Tarmizi mengatakan bahwa ketika
perang Badar, orang-orang Romawi mengalami kemenangan atas orang-orang Persia.
Hal ini membuat takjub orang-orang Mukmin. Inilah yang menjadi sebab turunnya
Surat Ar-Rum (1- 5).
Sejarah telah mencatat bahwa pasukan
Islam di bawah pimpinan khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq, pernah menaklukkan
wilayah Romawi di negeri Syam (sekarang Suriah dan sekitarnya). Pada sejarah
ini pula nama Khalid bin Al-Walid diingat sebagai pengatur strategi perang dan
mampu melumpuhkan pasukan kerajaan Romawi yang berjumlah 240 ribu orang. Namun,
pada tahun 1300 menjadi catatan kehancuran benteng pertahanan Islam terakhir di
Lucera, Puglia.
Islam
hampir tidak ada lagi di Italia sejak zaman penggabungan negara di tahun 1861
hingga tahun 1970-an. Pengaruh Islam hanya terlihat pada bangunan dan benteng
peninggalan pasukan muslim di Italia yang menjadi objek wisata hingga saat ini.
Kemudian, berdirinya Masjid Agung Roma menjadi sebuah kekuatan besar bahwa
Islam kembali hidup di negeri itu.
Roma yang dalam
bahasa Arab disebut Rum. Bangsa Rum atau Romawi merupakan salah satu bangsa
yang sejarahnya termaktub dalam kitab suci Al Qur’an. Nama Rum pun dijadikan
sebagai nama surah ke-30 (Surah Ar- Rum) dalam kitab suci umat Islam, sebagai
salah satu surah Al-Makkiyyah yang turun sebelum Rasulullah saw hijrah ke
Madinah. Ketentuan ini menjadi pendorong rasa ingin tahu saya saat diajak suami
menuju kota Roma. Terutama pada masjidnya.
Masjid Agung Roma adalah tempat yang
paling ingin saya kunjungi saat tiba di Roma, Italia. Bukan tanpa alasan. Roma
yang dikenal sebagai pusat agama Katholik dan Tahta Suci Vatikan, tempat
bertahtanya Paus selaku pemimpin tertinggi umat Katholik dunia, berada di kota
ini. Keberadaan sebuah masjid menjadi hal yang mustahil menurut pandangan saya.
Apalagi ketika menyimak kata-kata Benito Mussolini (1883 – 1945), dengan
kutipan ucapannya tentang niat pembangunan masjid di Roma, “Tak kan ada masjid
di Roma, selama tak ada gereja di Mekkah.” Inilah yang membuat rasa ingin tahu
saya semakin membuncah ingin melihat Masjid Agung tersebut.
Perjalanan
menuju Masjid Agung Roma dimulai
Hari ketiga berada di Roma, saya
kembali harus berjalan sendiri tanpa suami yang masih harus mengikuti acara
konferensinya. Alhamdulillah, di hari ketiga ini pula, istri Stefano Romano
(fotografer asal Roma) mau meluangkan waktu untuk menemani saya. Sesuai tempat
dan waktu yang sudah kita sepakati, kami akhirnya bertemu di Termini Station
tepat pukul 11.30 waktu Roma. Sebagai orang Indonesia yang sudah bertahun-tahun
menetap di Roma, saya langsung nyaman berjalan dipandu oleh Mbak Bayu (nama
panggilan beliau).
Area sekitar Stasiun Flaminio |
Sambil
berjalan beriringan, saya mulai menghapal rute yang akan kami tempuh. Dari
Termini kami naik Metro A menuju Stasiun Flaminio. Dari Flaminio, kami
melanjutkan naik kereta dengan tujuan URB atau Urbano dan turun di Campi
Sportivi. Tidak menghabiskan waktu terlalu lama, akhirnya kami tiba di stasiun
Campi Sportivi. Setelah turun dari kereta, kami langsung menuju arah keluar
(uscita/exit) ke arah tangga pintu keluar di sebelah kiri.
Kebetulan
kunjungan kami bertepatan dengan hari Jum’at dan mendekati waktu sholat Jum’at.
Mbak Bayu mengatakan kalau hari Jum’at di luar pagar masjid akan ramai dengan
para pedagang yang berasal dari negara-negara muslim. Ada yang dari Africa,
Maroko, Bangladesh, Turki, dan lainnya. Sambil terus berjalan menuju pintu
gerbang masjid, saya sesekali melirik ke dagangan yang mereka gelar. Ada yang
menjual baju, sepatu, alat rumah tangga (yang bekas dan baru), sampai makanan
khasnya yang mengundang selera.
Melihat
Masjid Agung Roma dari dekat
Begitu sampai di halaman Masjid
Agung Roma yang sangat luas, dada saya bergemuruh pelan. Decak kagum dan
memuliakan kebesaran Allah pelan-pelan saya lafalkan berulang-ulang. Sambil
mulai sibuk mengambil foto, saya kembali teringat sejarah yang sempat saya baca
tentang awal mula berdirinya masjid ini. Setelah lima puluh tahun kematian
Mussolini, umat Islam yang ada di Roma akhirnya memiliki masjid semegah ini.
Bahkan Masjid Agung Roma menjadi salah satu masjid terbesar di Eropa.
Halaman Masjid Agung Roma yang luas dan bersih (doc. pribadi) |
Mengingat waktu proses pembangunan
masjid ini sangat lama (1974 – 1995), terbayanglah di benak saya betapa para
pendirinya membutuhkan energi dan semangat yang kuat serta pantang menyerah.
Izin pembangunan masjid ini diperoleh dari dewan kota Roma atas lobi yang luar
biasa dari Raja Faisal (Raja Arab Saudi pada waktu itu) kepada Presiden
Giovanni Leone (Presiden Italia ke-6/1971-1978).
Saya bangga melihat nama Indonesia ada di urutan ke-9 (doc. pribadi) |
Satu hal yang membuat saya ikut bangga,
ketika mengingat Indonesia menjadi salah satu negara yang ikut mendanai
pembangunan Masjid Agung Roma ini bersama 23 negara Islam lainnya. Sementara
Saudi Arabia adalah penyandang dana terbesar. Bahkan kedutaan Italia di Jakarta
pernah mengadakan pameran foto-foto Masjid Agung Roma (La Mosche di Roma) ini
pada Pusat Kebudayaan Italia (Instituto Italiano di Cultura) di Jakarta dan
Surabaya pada pertengahan Agustus sampai September 2009.
Ketenangan
menyelinap saat memasuki masjid.
Jika berkunjung ke Roma,
sempatkanlah ke masjid yang indah ini. Letaknya di Utara kota Roma dengan jarak
lima kilometer dari pusat kota Roma. Persisnya berada di ujung taman Villa Ada
Park, terdiri dari gunung Monte Antenne yang sangat lekat dengan legenda masa
lalu Roma dan menjadi tempat tinggal keluarga kerajaan Italia di masa itu.
Pintu masuk untuk perempuan |
Tangga menuju lantai jema'ah perempuan |
Setelah puas mengambil gambar dari
halaman masjid yang luas, Mbak Bayu mengajak saya memutar jalan. Di sanalah pintu
masuk untuk jema’ah perempuan. Dibedakan dengan pintu masuk jema’ah laki-laki.
Menunggu waktu sholat |
Saat memasuki masjid, semakin
terlihatlah perpaduan eksterior dan interiornya. Perpaduan yang didesain oleh
Paolo Portoghesi (arsitek Italia yang memenangkan lomba desain masjid)
membaurkan ragam kultur dari negara-negara Islam yang ikut berkontribusi dalam
pembangunan masjid ini. Paduan Roman dan Islam dalam desain masjid sangat jelas
terlihat. Desain 32 pilar-pilar di bagian dalam dan 136 pilar di bagian luar
masjid persis barisan pohon yang
menggambarkan kekokohan.
Pilar-pilar yang kokoh dan menguatkan |
Saya diajak masuk menuju lantai
tempat para jema’ah perempuan. Setelah meletakkan sepatu, dengan masih
mengenakan kaus kaki, saya menapakkan kaki di karpet biru muda yang tebal dan
lembut. Mata saya terpesona melihat lampu-lampu hias yang besar dan megah.
Teringat pada Masjid Nabawi yang ada di Madinah. Subhanallah ….
Hasrat
ingin melakukan sholat tahyatul masjid sebenarnya sudah di ubun-ubun, tapi saya
sedang libur sholat. Demi mengobati hati, saya puaskan untuk mengambil foto.
Mbak Bayu menawarkan diri untuk menenami saya turun ke ruang sholat untuk jema’ah
laki-laki. Dari situ, saya bisa lebih jelas mengambil gambar.
Mimbar masjid |
Salah seorang Muazin yang selalu
membantu menyambut para tamu untuk sholat Jum’at menyapa kami. Saya minta izin
untuk mengambil foto ruang dalam masjid. Kemudian saya mohon izin kembali untuk
berfoto dengan laki-laki separuh baya berwajah Timur Tengah itu. Beliau sangat
ramah walau tak fasih berbahasa Inggris. Alhamdulillah ….
Sambil menunggu kumandang suara azan
yang menurut Mbak Bayu tidak boleh digemakan ke luar masjid, saya justru
menikmati ketenangan yang luar biasa di dalam masjid ini. Betapa Allah telah
melimpahkan rahmat-Nya pada umat muslim di Vatikan tersebut. Meskipun hanya ramai di hari Jum'at dan hari-hari besar Islam, namun keberadaan Masjid
Agung ini menjadi sebuah kekuatan yang indah bagi keberlangsungan ibadah umat muslim
di negeri bermayoritas pemeluk agama Katholik itu. Entah mengapa, air mata saya
nyaris menetes. Untung cepat menarik nafas.
Mencicipi
makanan khas Maroko di luar masjid
Selepas azan, karena saya dan Mbak
Bayu kebetulan sama-sama tidak sholat, akhirnya kami memutuskan untuk keluar. Kami
langsung menuju pedagang dari Maroko yang menggelar aneka makanan khas dari
negaranya.
Semua serba maniiis ;) |
Mbak Bayu menawari saya hidangan makan siang. Namanya couscous (baca: kuskus). Terbuat dari
tepung gandum semolina yang dilapisi tepung gandum jenis durum wheat.
Couscous dan "teman-teman"nya |
Couscous tidak hanya dikenal di
Maroko, tapi juga Mesir, Lebanon, Arab Saudi, dan Tunisia. Couscous menjadi
istimewa karena suka disajikan di waktu tertentu. Untuk menjamu tamu atau di hari
Jum'at. Di Maroko, selesai Jum’atan, mereka suka mengundang kerabat untuk
makan-makan di rumahnya.
Penjual Cousous yang ramah |
Saya melihat sekilas panci tempat
memasak coucous itu. Cara memasaknya dengan dikukus. Couscous yang instan bisa
digunakan setelah direndam sebentar dengan air panas. Lalu dijasikan dengan
aneka macam sayuran tumis maupun rebus dengan atau tanpa daging. Hidangan ini
disajikan dengan kuah kaldu. Kalau pas dengan selera dan lidah, kelihatannya
couscous ini lezat sekali. Tapi, setelah mencicipi sebagian, lidah saya
ternyata belum terlalu akrab. Mungkin harus sering-sering mencicipi masakan ini
baru bisa akrab di lidah saya.
Kembali
ke hotel
Setelah mencicipi couscous, saya dan
Mbak Bayu memutuskan meninggalkan Masjid Agung Roma. Ada rasa sedih sebenarnya
di hati saya. Belum puas berada di dalam masjid, tapi kami harus kembali.
Kami kembali ke stasiun kecil
Flaminio. Saat itulah terbersit di pikiran saya tentang lokasi masjid. Letaknya
memang agak jauh dari pusat kota Roma. Betapa kesepakatan lokasi dan segala
aturan dan persyaratan tentang tidak diizinkannya suara azan berkumandang
keluar masjid, telah diperjuangkan dengan susah payah oleh para pendiri Masjid
Agung itu.
Saat
azan pun saya sempat merekam suara Muazin yang mengumandangan suaranya hanya di
dalam ruangan masjid. Tidak menggunakan microfone
agar bergema keluar masjid. Dari Mbak Bayu saya mendengar bahwa itulah salah
satu perjanjian yang disepakati saat awal ingin mendirikan masjid tersebut.
Belum lagi selesai lamunan saya, kereta menuju stasiun Flaminio sudah datang.
Cuci
mata sebentar di pasar kaget
Kembali di stasiun Flaminio, saya
dan Mbak Bayu menyempatkan untuk melihat-lihat dagangan yang digelar di sekitar
stasiun kecil itu. Kata Mbak Bayu, ini mirip pasar kaget kalau di Jakarta tapi
yang di Roma ini justru digelar setiap hari. Artinya, enggak kaget lagi dong
ya? *nyengir*
Silakan cuci mata di sini ^_^ |
Setelah melihat-lihat dan membeli
sesuatu yang kami inginkan, kami kembali ke stasiun yang menuju Termini.
Kebersamaan kami di hari ketiga ini akan segera berakhir. Saya sangat berterima
kasih pada Mbak Bayu. Ia sudah meluangkan waktunya untuk saya. Semoga
kebersamaan ini membawa berkah dan melanggengkan persahabatan kami ke depannya.
Aamiin.
Sesampainya di stasiun Termini,
akhirnya kami benar-benar berpisah. Saya kembali ke hotel, sementara Mbak Bayu
pulang ke rumahnya. Dalam hati, saya berjanji akan mengajak suami kembali ke Masjid
Agung Roma sebelum pulang ke tanah air. Tunggu cerita selanjutnya ya. Salam [Wylvera W.]
To
be continued