Disibukkan oleh rutinitas sehari-hari,
membuat saya ingin melakukan refreshing.
Ternyata, keinginan yang sama pun dirasakan oleh kedua teman saya (kakak kelas
semasa SMA-red). Alhamdulillah, akhirnya kami bisa mewujudkan keinginan itu pada
bulan Februari 2017 yang lalu. Tidak banyak persiapan yang kami lakukan, hanya
membuat kesepakatan untuk mengatur pendanaan akomodasi menuju destinasi yang
sudah kami pilih.
Pagi itu, Sabtu, 18 Februari 2017,
kami berkumpul di bandara Soekarno Hatta sebelum bersama-sama melakukan check in. Kami telah sepakat untuk
menghabiskan liburan tiga hari di Pulau Bangka Belitung. Tujuan pertama adalah
Belitung.
Belitung di liburan hari pertama
Sesuai jadwal penerbangan, kami
bertiga akhirnya terbang menuju “Negeri Laskar Pelangi”. Penerbangan singkat
dari Jakarta membawa kami mendarat di Bandar Udara Internasional H.A.S.
Hanandjoeddin, Tanjung Pandan. Kami bertiga sama-sama baru pertama kali
berkunjung ke Belitung. Jadi, begitu menuruni tangga pesawat, ekspresinya
beda-beda tipis. Yang pasti, kami tak mau melewatkan kesempatan berfoto dengan
memakai jasa petugas bandara.
Klik!
Satu jepretan cantik pun mengabadikan ketiga sosok
kami dalam balutan dress code berwarna
merah. *jangan ditiru yaaa … hehe*
Menikmati Mi Belitung yang maknyus
Di bandara, kami langsung
mendapatkan kendaraan dengan sopir yang sekaligus menjadi pemandu perjalanan
kami selama di Belitung. Kami memutuskan untuk tidak check in ke hotel terlebih dadulu. Takut waktunya terbuang sayang.
Liburan pun diawali dengan wisata kuliner. Mas Sopir
membawa kami ke sebuah restoran bernama Hanggar 21. Lokasinya tidak terlalu
jauh dari bandara. Restoran berkonsep
kafetaria ini menyediakan ragam menu yang beberapa diantaranya menjadi ciri
khas Belitung. Seperti kopi Kong Djie, Mi Belitung, pempek, serta beberapa
minuman sebagai pelengkapnya.
Mi Belitung dan Jeruk kunci |
Pilihan kami ternyata sama. Mi Belitung dan segelas
jeruk kunci yang katanya menjadi salah satu menu andalan resto tersebut, jadi
permulaan yang menyegarkan. Kuah kari udangnya yang gurih dan kental, dicampur
mi yang kenyal dan tauge, irisan tahun goreng, sedikit mirip dengan mi kuah
khas Medan. Hanya ada rasa bumbu yang membuatnya berbeda dan khas. Memang endeees
rasanya. Berikut minuman jeruk kunci yang segar, melengkapi waktu
sarapan kami.
Rumah Keong di Dermaga Kirana
Setelah puas menikmati menu sarapan,
kami melanjutkan perjalanan menuju tempat wisata yang relatif masih baru, yaitu
Rumah Keong. Letaknya ada di Belitung Timur. Rumah Keong yang terbuat dari
rotan tersebut menjadi spot yang menarik. Disebut Rumah Keong karena bentuknya
memang mirip keong (dalam ukuran raksasa-red).
Rumah Keong yang dibangun di atas
danau disebut sebagai kolong oleh masyarakat setempat. Kolong tersebut
merupakan kolam bekas penambangan timah. Tempat wisata yang unik ini tidak kami
sia-siakan. Sambil duduk-duduk menikmati pemandangan air yang jernih kami juga berkali-kali
mengambil foto.
Selain Rumah Keong, ada dermaga kecil yang posisinya
menghadap sungai. Kata Mas Sopir, nama sungai itu Sungai Lenggang. Sementara dermaganya
bernama Kirana. Mata saya sempat terpaku pada ujung dermaga. Ada beberapa
perahu yang tertambat di sana. Ternyata perahu-perahu itu boleh digunakan oleh
wisatawan yang ingin menyusuri danau dengan didampingi oleh pemilik perahu.
Yang membuat saya sedikit heran, tidak ada pungutan biaya bagi pengunjung yang
mampir ke lokasi wisata tersebut. Hanya biaya parkir kendaraan saja yang
diminta. Asyik ‘kan?
Ada Bu Muslimah di Sekolah Laskar
Pelangi
Kisah
Laskar Pelangi, karya Andrea Hirata menjadikan magnet bagi kota Belitung.
Sekolah tempat tokoh 10 anak dari keluarga miskin di kisah itu, menjadi lokasi
yang diabadikan dalam bentuk replika penuh cerita. Yang tak kalah hebat, kisah
itu menjadikan Belitung diakrabi dengan sebutan “Negeri Laskar Pelangi”.
Mas Sopir membawa kami ke sekolah replika
Laskar Pelangi. Saya yang sudah lama sekali membaca kisah dan menonton filmnya,
baru kali itu mendapat kesempatan melihat langsung kondisi sekolah tersebut.
Walau hanya dalam bentuk replika, namun suasananya mampu membawa imajinasi saya
pada kondisi yang pernah dirasakan oleh 10 anak dalam kisah Laskar Pelangi itu.
Kondisi sekolah yang sarat dengan keterbatasan, memancing pikiran saya jauh
melambung mencoba-coba membayangkan perasaan anak-anak tersebut. Luar biasa!
Kami masih betah berlama-lama di
area sekolah. Sampai akhirnya terbesit ide untuk duduk di dalam kelas. Saya
berakting seolah-olah menjadi Bu Muslimah, guru yang penuh dengan
kesederhanaan, namun sangat berkomitmen dalam mencerdaskan anak didiknya. Tiba-tiba
saya merasakan betapa berat perjuangan guru yang sangat bersahaja itu.
Laskar Pelangi sendiri adalah sebuah nama yang
diberikan oleh Bu Muslimah untuk kesepuluh anak-anak muridnya. Bu Muslimah
memberikan nama itu karena melihat anak-anak didiknya begitu senang pada pelangi
yang selalu mereka lihat selepas hujan. Puas berakting, kami masih belum mau
beranjak. Untunglah kami sadar bahwa masih banyak tempat yang ingin dikunjungi.
Sesaat sebelum melanjutkan perjalanan, saya
menyempatkan mampir di rumah batik. Wow! Belitung juga punya batik ternyata.
Kain khas Indonesia yang selalu menjadi incaran saya setiap kali melakukan
perjalanan ke daerah-daerah yang di Indonesia. Ssst … saya beli juga untuk
dibawa pulang. Oiya, namanya Batik Simpor.
Memandang Museum Kata dari jarak
200 meter
Museum
Kata Andrea Hirata merupakan museum literatur pertama di Indonesia. Dari
catatan yang saya baca, di dalam museum tersebut kita bisa melihat koleksi
tentang Laskar Pelangi. Selain itu, museum ini juga menyimpan beberapa karya Andrea
Hirata. Ia membangun museum untuk menginspirasi anak-anak dan remaja di Desa
Gantong agar dapat mengembangkan bakat seni mereka.
Awalnya saya ingin sekali masuk ke
dalam museum itu, tapi waktu kami sangat terbatas. Akhirnya kami hanya sempat
memotret bangunan dengan warna cat mencolok itu, dari balik kaca mobil yang
berhenti sejenak di tepi jalan. Jaraknya sekitar 200 meter. Tidak puas
sebenarnya, tapi cukuplah demi destinasi lain yang masih harus kami kunjungi.
Sekadar mencecahkan kaki di rumah adat
Belitung
Demi
melengkapi kunjungan yang sarat dengan khas Belitung, Mas Sopir membawa kami
mampir di rumah adat Belitung. Bentuknya adalah rumah panggung dengan ornamen
yang terbuat dari kayu. Dibangun pada tahun 2004 di atas tanah seluas kurang
lebih 500 meter persegi. Diresmikan pada tahun 2009 oleh Bupati Belitung. Rumah
ini merupakan kebanggaan masyarakat Belitung. Rumah adat ini berlokasi di Kota
Tanjung Pandan, persis di samping kantor Bupati Belitung.
Kami tidak terlalu detail menelusuri
bagian-bagian rumah. Yang terekam di benak saya adalah rumah adat tersebut
terdiri dari tiga bagian. Ruang utama, tengah, dan dapur. Setelah menaiki
tangga di bagian depan bangunan, kami masuk ke ruang utama. Ada satu lemari besi
berisi baju adat pengantin Belitung. Di sisi kanan terdapat kamar pengantin
berukuran kecil. Ruangan ini juga diwarnai oleh foto para tokoh Belitung yang
dipajang di atas meja.
Menikmati ikan ilak di tepai Pantai
Tanjung Tinggi
Lagi-lagi kami beruntung. Mas Sopir
yang menjadi pemandu wisata membawa kami ke Pantai Tanjung Tinggi. Pantai yang
terkenal di Belitung itu pernah dipakai sebagai salah satu lokasi syuting film
Laskar Pelangi. Letaknya di Utara Belitung, 37 kilometer dari kota Tanjung
Pandan.
Pantainya yang berpasir putih dengan
air laut yang jernih serta batu granit besar menjadi ciri khas pantai ini.
Sambil menunggu hidangan makan siang, kami puaskan bermain-main di tepi pantai.
Masya Allah … betapa megahnya ciptaan Allah. Saya sangat bersyukur diberi
kesempatan mampir dan melihat keindahan ini dari dekat.
Setelah menunggu, akhirnya hidangan
makan siang yang sangat menggoda, menarik kami kembali duduk di meja-meja yang
disediakan oleh pemilik kedai makan itu. Hidangan pilihan kami adalah ikan ilak
yang dibakar. Penjualnya menyebut masakah itu sebagai pais. Bumbunya dimasukkan
ke dalam ikan sebelum dibakar.
Selain ikan ilak masak pais, kami
juga memesan gangan, sup ikan istimewa khas Belitung. Paduan rasa kunyit, asam
nanas, dan pedas kuahnya yang berwarna kuning sangat segar di lidah. Kami
memilih kepala ikan untuk dimasak gangan ini. Sebagai pelengkap hidangan makan
siang di Pantai Tanjung Tinggi itu, kami juga memesan tumis genjer dan
kangkung serta air kelapa muda. Aaah … lengkaplah sudah suasana refreshing
kami siang itu. Alhamdulillah ….
Mampir sejenak ke Pantai Tanjung
Kelayang
Karena hari masih terang, Mas Sopir
masih semangat mengajak kami untuk melihat keindahan Pantai Tanjung Kelayang.
Pantai ini adalah pantai kedua yang terkenal setelah Pantai Tanjung Tinggi. Ada
yang khas dari pantai ini yaitu Batu Kelayang, maskot dari Sail Wakatobi,
Belitung 2011.
Abaikan mata yang terpejam efek silau :p |
Pantai Tanjung Kelayang ini terdiri
dari dua bagian. Di sebelah Barat dengan pemandangan gugusan batu granit, di
Timur dengan sajian hamparan pasir putih yang menawan. Kami tidak berlama-lama
di sini karena rasa kantuk mulai menyerang.
Danau Kaolin
Walaupun bukan merupakan wisata
umum, tapi ada saja yang mampir ke lokasi danau ini. Kaolin merupakan salah
kekayaan tambang pulau Belitung. Daya tarik tempat ini adalah perpaduan air
danau yang berwarna biru dan warna kaolinnya yang putih.
Danau Kaolin menjadi akhir destinasi
kami sebelum check in ke hotel.
Perjalanan dari Danau Kaolin tidak lagi diwarnai dengan obrolan panjang seperti
sebelumnya. Mungkin kami mulai lelah dengan kondisi badan yang belum mandi
seharian. *tapi tetap harum lho … hihihi*
Om telolet Om ….
Setelah masuk ke hotel dan
meletakkan koper, kami ingin sekali menyaksikan matahari ternggelam di garis
pantai. Setelah bersih-bersih, kami buru-buru menuju pantai yang letaknya tak
jauh dari hotel tempat kami menginap.
Tak sempat melihat sunset |
Sayang sekali, kami tak sempat
merekam detik-detik sunset itu. Sudah
terlanjur senja. Selepas magrib kami kembali memutuskan untuk menikmati makan
malam di salah satu kafe yang berjajar di depan hotel.
Selesai makan malam, kami tergoda
oleh kendaraan yang mirip odong-odong (di Bekasi saya tahu namanya
odong-odong). Tingkah kami berubah seperti anak kecil. Kami tak sabar menunggu
mobil dengan beberapa bak yang dirangkai beriringan, dihiasi lampu-lampu. Saat
itu tiba-tiba ada yang berseru.
“Om telolet Om …!”
Sopir odong-odong serta-merta
membunyikan klaksonnya sama seperti suara klakson bus-bus besar yang lewat di
jalan tol. Dan, kami pun menaiki odong-odong untuk berkeliling menikmati
suasana malam kota itu.
Om ... telolet, Om! Hihihi |
Hari yang panjang dan melelahkan
namun sekaligus menyenangkan akhirnya mengantarkan kami tidur dengan lelap
untuk melanjutkan perjalanan esok hari. [Wylvera
W.]
Bersambung
….
Alhamdulillah...subhanallah...akhirnya bisa mewujudkan keinginan yg sdh lama terpendam...melihat keindahan pantai2 di Bangka Belitung...terima kasih Wylvera Windayana dan Nuraida Tarigan yg sdh menjadi teman perjalanan yg menyenangkan...In Syaa Allah bisa travelling bersama lagi menuju tempat2 indah lainnya
BalasHapusAamiin ....
HapusDestinasi berikutnya menunggu. 😉