Kecemasan menunggu keluarnya visa
membuat saya tak berani banyak berencana
tentang perjalanan menuju Roma. Lazimnya, permohonan visa itu akan
disetujui setelah diproses minimal lima hari kerja (kecuali visa dengan menggunakan
paspor dinas). Sementara saya mengajukannya kurang dari lima hari. Qadarullah,
ternyata visa yang saya tunggu akhirnya disetujui di hari yang sama dengan
jadwal keberangkatan saya dan suami. Bisa jadi karena pengajuan tersebut
didampingi oleh paspor biru milik suami. Alhamdulillah, terbantu.
Malam, 14 Maret 2017, saya dan suami
akhirnya menuju bandara Soekarno Hatta. Sementara pesawat Emirates yang akan
membawa kami terbang, berangkatnya pada pukul 24.15 WIB (sudah masuk hari
berikutnya), Rabu, 15 Maret 2017. Waktu tunggu di bandara cukup lama. Kami
melewatinya sambil melepas penat (efek degdegan menunggu visa seharian masih
tersisa) di sebuah lounge bandara
Soeta. Diam-diam saya terus berucap syukur. Maka nikmat Rabbmu
yang manakah yang kamu dustakan?
Allah
SWT kembali memberi kesempatan kepada saya untuk melihat bumi-Nya di sebuah
kota yang dikenal dengan sebutan “The Eternal City” (kota yang kekal/abadi).
Terinspirasi dari sebuah novel karya novelis Inggris, Hall Caine, dalam
novelnya berjudul “The Eternal City” – 1991, sebutan itu hingga kini seolah dikukuhkan
sebagai julukan untuk kota Roma. Sebutan abadi untuk Roma dan ditambah kisah
mitologi Romawi kuno tentang Romulus dan Remus sebagai pendiri kota tersebut,
membuat rasa penasaran saya membumbung tinggi ingin segera melihatnya dari
dekat.
Menunggu boarding di Dubai *abaikan mata kami yang sembab itu* ;) |
Perjalanan
panjang yang menghabiskan durasi sekitar delapan jam dari bandara Soeta menuju
Dubai International Airport untuk transit, cukup membuat energi kami sedikit
terkuras. Kurang tidur, pasti. Namun kami harus menunggu penerbangan selanjutnya
selama kurang lebih tiga jam. Kami harus sabar menempuh pernerbangan berikutnya
selama lima jam untuk tiba di Roma.
Menapakkan
kaki di Roma
Kami tiba di Leonardo da
Vinci-Fiumicino International Airport, Roma Italy. Sudah hampir jam dua belas
siang. Kelelahan pun semakin terasa. Setelah cek imigrasi dan mengambil koper,
suami memutuskan untuk membeli nomor baru agar hape kami tetap bisa mengakses
informasi dan terhubung dengan leluasa ke Indonesia. Semua diselesaikan
terlebih dahulu di area bandara sebelum memulai perjalanan menelusuri kota
Roma.
Setelah
semua beres, kami pun bergegas membeli tiket kereta. Kereta yang akan membawa
kami dari Fiumicino Airport ke Termini Station adalah The Leonardo Express.
Harganya 14€ per tiket dengan durasi tempuh selama 35
menit. Lumayan mahal kalau dirupiahkan karena ada yang lebih murah sebenarnya,
hanya sampainya pun lebih lama.
Kami sampai di stasiun Termini. Di
Termini tidak hanya ada stasiun kereta (Metro), tapi juga terminal bus. Dari
sini, kita tinggal memilih nomor bus dengan beragam jurusan di kota Roma.
Seperti pengalaman kami sebelumnya saat melakukan perjalanan ke beberapa negara,
suami lebih suka membeli tiket terusan untuk memudahkan kami naik kendaraan
umum selama di kota tersebut. Pilihannya tentu disesuaikan dengan keinginan
kita. Kami memilih paket seminggu. Tiketnya bisa kami gunakan untuk naik
kereta, bus, dan tram yang semuanya berlaku untuk jurusan dalam kota Roma.
Sudah
hampir jam tiga sore saat kami tiba di Termini. Tentu saja perut pun mulai
keroncongan. Sebelum berangkat ke Roma, saya sudah memberi kabar kepada teman
yang memang orang asli Roma. Stefano Romano, fotografer asal Roma yang sudah
bolak-balik ke Indonesia bersama istrinya (yang asli Indonesia), menjadi guide untuk beberapa informasi yang kami
butuhkan. Stefano juga yang memberitahu saya kalau ingin mencari restoran
halal, yang terbanyak adalah di sekitar stasiun Termini. Kami akhirnya
memutuskan untuk membeli kebab dan membawanya ke hotel.
Selama
suami mengikuti conference (dua
hari), kami menginap di Hotel Albani. Kata suami, lokasinya dekat dengan tempat
konferensinya. Bisa berjalan kaki. Ada beberapa bus yang melewati jalan
terdekat dengan Hotel Albani. Bisa naik yang nomor 92, 360 atau 223. Tapi yang
paling mudah ternyata naik bus nomor 92. Tempat pemberhentian pergi dan pulang
dari terminalnya tidak terlalu jauh.
Ketiduran efek jetlag
Tiba di hotel, rasanya ingin
melompat ke tempat tidur yang empuk. Namun mengingat belum mandi selama dua
hari perjalanan, enggak tega juga berbaring cantik. Saya memilih mandi dan
menyegarkan badan. Setelah itu niatnya pengin tidur-tiduran dan habis sholat Magrib
mau kembali ke lokasi terminal Termini untuk mencari makanan. Apa yang terjadi
saudara-suadara? Saya dan suami sukses ketiduran. Saat terbangun, ternyata
sudah jam setengah dua belas malam.
Saya ingat kalau belum menyentuh
kebab yang kami beli sorenya. Kita membeli dua kebab panini. Yang satu sudah
kami habiskan. Sisa satu. Setelah menjamak sholat Isya dan Magrib, kami pun
menghabiskan kebab yang ada. Ah, lumayan buat mengganjal perut berdua. Selesai
makan, suami saya melanjutkan tidur kembali.
Karena
sudah terlanjur terbangun di jam yang tidak lazim, saya mencoba menyalakan
tivi. Ya ampuuun, hampir semua film dialihbahasakan ke bahasa Italy. Tidak ada
teks terjemahannya. Saya ngikik di tengah malam karena tidak mengerti arti
dialog dalam film yang saya tonton. Entah jam berapa tepatnya, saya ikutan
pulas sampai menjelang Subuh.
Suasana alam selepas Subuh yang saya nikmati dari jendela kamar hotel |
Selepas sholat Subuh, saya membuka
kaca jendela yang menghadap ke arah taman yang mirip hutan kecil. Udara jelang
musim semi yang masih dingin langsung menyergap wajah saya. Segar sekali
rasanya. Melihat matahari yang malu-malu mengintip, saya buru-buru mengambil
hape dan mengabadikan pemandangan cantik itu. Damai sekali. Sejenak saya lupa
dengan rutinitas dan segala permasalahan di tanah air. Saya benar-benar
menikmati waktu rehat ini.
Sarapan pagi pertama di Hotel Albani |
Melihat tingkah saya yang sibuk
sendiri di jendela, suami terpancing. Dia juga tak mau kalah merekam suasana
alam pagi di Roma dari balik jendela kamar hotel tempat kami menginap. Pagi
yang indah telah mengawali hari kami di Roma. Buat saya itu cukup romantis.
Entah bagi pembaca. *senyum malu-malu*
Lima jam bersama Stefano Romano
Hari kedua di Roma, suami saya
memulai jadwal konferensinya. Saya akan ditinggal sendiri. Bukan saya namanya
kalau pasrah dan diam menunggu di kamar hotel saat traveling begini. Saya
mencoba menghubungi Stefano Romano. Berharap dia dan istrinya bisa menemani
saya untuk hari itu. Alhamdulillah, dia menyanggupi dan saya mendapat izin dari
suami. Tapi karena Bayu (istri beliau) hari itu bekerja, hanya Stefano yang
menjadi tour guide saya.
Wefie tanpa tongsis :p |
Setelah Stefano kembali ke Roma -
sekitar akhir September 2016 lalu – ini adalah pertemuan kami yang kedua. Stefano
adalah fotografer yang memotret saya untuk kelengkapan profil saya yang dimuat
di majalah NooR waktu itu. Itulah awal perkenalan kami. Namun, tidak merasa
ingin bertemu dengan seorang fotografer, saya justru seolah sedang menunggu
teman lama saja. Stefano berjanji akan menjemput saya di hotel tepat pukul
10.30 waktu Roma. Lima menit sebelum dia tiba, saya sudah menunggu di lobi
hotel.
Kami tidak berlama-lama mengawali
pertemuan itu. Stefano langsung mengajak saya jalan menuju halte pemberhentian
bus yang menuju ke Termini Station. Di bus, kami sempat ngobrol dan
mengingat-ingat kegiatan yang pernah melibatkan kebersamaan di Bekasi. Dalam
obrolan itu, Stefano sempat mengatakan kalau dia sudah rindu sama Jakarta,
Bandung apalagi. Dia ingin kembali ke Indonesia, tempat yang paling dicintainya
untuk mengeksplor kepiawaiannya di bidang fotografi. Semoga ya, Stef … mimpimu
jadi kenyataan. Aamiin.
Colosseum dan Arch of Titus
Dari Termini, Stefano mengajak saya
melihat Colosseum, tempat pertunjukan besar berbentuk elips. Dari
artikel-artikel yang sempat saya baca, Colosseum merupakan tempat yang tidak
penah dilewatkan para wisatawan saat berkunjung ke Roma. Lokasinya berada di
tengah-tengah pusat kota Roma, tepatnya di sisi Timur Roman Forum. Bangunan ini
didirikan oleh Vespasian pada masa Domitianus dan diselesaikan oleh anaknya,
Titus.
Ramainya wisatawan bikin saya bingung mengambil gambar ;) |
Colosseum
atau Colosseo merupakan sisa reruntuhan dari amfiteater (nama aslinya Flavian
Amphitheatre). Waktu itu digunakan untuk arena gladiator tempat pertarungan
antara binatang dan manusia dipertontonkan serta berfungsi sebagai tempat
eksekusi para tahanan. Nama Colosseum berasal dari sebuah patung yang memiliki
nama Colossus, pengganti raja yang ada di Romawi pada masa itu. Menjadi salah
satu karya terbesar dari arsitektur kerajaan Romawi yang dirancang untuk
menampung 50 ribu orang penonton.
Ramai
sekali wisatawan di sekitar Colosseum. Stefano berulang-ulang mengingatkan saya
agar berhati-hati dengan para copet. Saya sudah mendengar cerita buruk itu dari
suami. Sebelumnya suami saya juga mengingatkan agar selalu siaga dengan tas
yang dibawa. Ah, ternyata copet pun jadi momok yang diwaspadai di Roma.
Arch of Titus ini yang pertama kali dibuat, yang lainnya mengikuti |
Saya
mengalihkan perhatian ke bangunan mirip tugu berbentuk huruf “U” terbalik.
Bangunan itu bernama Arch of Titus yang menjadi inspirasi (baca-ditiru) oleh
Arch de Triomphe karya Napoleon yang ada di Paris. Saya sudah pernah melihat
Arch de Triomphe di Paris, jadi tahu bedanya. Arch of Titus lebih sederhana
dibanding Arch de Triomphe yang megah dan mewah di Paris.
Pengambilan foto dari spot yang pas |
Saat ingin menuju spot yang menurut
Stefano sering dipakai oleh crew dari
Trans TV untuk mengambil gambar Colosseum, saya sempat tertawa. Di sekitar
bangunan bersejarah itu, ternyata ramai pedagang musiman yang menjajakan
tongsis (tongkat narsis). Saya pun termasuk turis yang menjadi sasaran dagangan
mereka. Tapi saya enggak membeli lho. Sesaat setelah itu, mereka lari
pontang-panting ketika polisi berpatroli. Ternyata mereka tak diizinkan
berdagang tongsis secara bebas di lokasi wisata sejarah itu. Kejadian serupa
sering terjadi juga ‘kan di tanah air? *senyum sendiri*
Fora Romano tinggal reruntuhan
Roman Forum atau dalam bahasa
Italianya, Fora Romano, merupakan alun-alun yang dikelilingi oleh reruntuhan
bangunan penting bekas pemerintahan Romawi kuno. Sejarah Roman Forum diawali
oleh kisah Romulus yang menguasai Palatine Hill dan Titus Tatius yang menguasai
Capitoline Hill. Ketika permusuhan keduanya terhenti, mereka membuat
kesepakatan untuk membentuk aliansi dan persekutuan.
Roman Forum (doc. pribadi) |
Di antara kedua bukit tersebut
terdapat lembah yang disebut sebagai Roman Forum. Di lembah itulah terjadinya
gencatan senjata antara Romulus dan Titus. Kini, Roman Forum hanya menyisakan
sisa reruntuhan. Yang masih utuh hanya Temple of Saturn. Reruntuhan itu pula
yang menjadi objek perhatian para wisatawan, termasuk saya. Namun saya tidak
masuk karena menikmatinya dari luar saja sudah cukup menyenangkan.
The Altare della Patria (Victorio
Emanuele II Monument)
Menurut sejarahnya, pembangunan monumen
bersejarah ini merupakan ide dari Victor Emmanuel, seorang raja Italia.
Bangunan megah ini sudah berdiri sejak tahun 1880 dalam rangka penyatuan
Italia. Bangunannya terlihat megah dan kontras dengan yang ada di sekitarnya.
Monumen ini ternyata dibangun dengan menggunakan marmer putih, dilengkapi
dengan patung besar dan relief hiasan dinding.
Menemani yang di belakang itu :p |
The Altare della Patria |
Tidak perlu biaya untuk masuk dan
mengelilingi bangunan ini. Hanya butuh antri sebentar jika wisawatan ramai
berkunjung. Yang bikin menarik hati saya justru dua penjaga yang berdiri tegap
di atas pelataran setelah anak tangga masuk. Mereka seperti menjaga api yang
katanya tak boleh padam di sisi kiri dan kanannya. Mirip penjaga istana di
Buckhingham Palace. Tidak boleh beranjak sebelum waktu jaganya berakhir.
Via del Corso
Puas berfoto di Altare della Patria,
Stefano kembali mengajak saya berjalan kaki. Kami menyusuri Via del Corso yang
menghubungkan Piazza Venezia dan Piazza del Populo. Di sepanjang jalan ini
berderet-deret toko busana, parfum, tas, dan sepatu karya para perancang
ternama, seperti Gucci, Armani, dan Dior yang menjadi pilihan wisatawan
berduit.
Jalan-jalan yang kami lewati |
Saya
sekadar “cuci mata” dan malah menikmati pedagang kaki lima yang menjajakan
cinderamata di pinggir jalan. Kebiasaan belanja ini pun jadi topik ringan kami
sambil menyusuri gang-gang klasik menuju tempat lainnya. Dan, saya bukan tipe traveler yang fokus pada belanja barang branded saat di luar negeri. Saya lebih
suka menghabiskan waktu untuk wisata sejarah dan kulinernya.
Suara azan di Pantheon
Kami terus melangkah hingga tiba di
depan bangunan yang merupakan kuil di zaman kekaisaran Romawi. Sekarang, kuil
tersebut berubah fungsi sebagai gereja Katolik Roma. Yang menarik, bangunan ini
terlihat sangat terawat hingga sekarang. Saya menghitung-hitung lamanya
bangunan ini berdiri.
Bagian dalam Pantheon |
Lingkaran yang senagaja dibuka di bagian atapnya |
Desain bangunan berbentuk melingkar
dengan atap segi tiga dan tiang-tiang tinggi pada bagian terasnya. Awalnya saya
enggan untuk memasuki bangunan itu. Apalagi, tak satu pun perempuan berjilbab
yang ada di sekitarnya. Namun, niat ingin menelusuri sejarah bangunan itulah
yang menggerakkan kaki saya. Ditambah, lubang di bagian tengah atap justru
memancing saya untuk melangkah lebih masuk.
Seajarah berdirinya Pantheon |
Tiba-tiba
suara azan mengejutkan saya dan Stefano. Tentu saja beberapa pasang mata
tertuju ke arah kami. Sumber suara jelas dari arah saya. Stef setengah berbisik
mengingatkan bahwa suara itu mungkin dari hape saya. Saya sedikit gugup mengeluarkan
hape yang baru saja saya simpan di kantung tas. Benar saja, suara panggilan
azan itu ternyata dari hape saya. Spontan saya dan Stefano panik karena sempat
bikin kaget orang-orang di dekat kami. “Di dalam gereja kok ada suara azan?”
Mungkin itu yang terpikir sekilas di kepala mereka.
Stef
buru-buru mengajak saya keluar. Semoga tidak dianggap sengaja dan tak
menghormati. Siapa menduga kalau ternyata malam sebelumnya, suami saya
mengaktifkan kembali suara azan itu untuk menandai waktu sholat selama di Roma.
Fontana di Trevi, aksi lempar koin yang
sudah memudar
Selanjutnya kami masih berjalan kaki
menuju air mancur Fontana di Trevi. Air mancur dengan patung besar ini dibangun
oleh Nicolo Salvi pada pertengahan abad XVIII. Konon, air mengalir itu dikumpulkan
oleh para perawan di desa untuk mandi Dewi Agrippa. Karena itulah Fontana di
Trevi disebut sebagai Acqua Verdine atau air perawan.
Fontana di Trevi yang tak pernah sepi oleh pengunjung |
Dulu, para wisatawan masih bebas melemparkan koin yang dipercaya
sebagai harapan suatu saat dapat kembali ke Roma. Koin atau uang logam yang
terkumpul di dasar kolam diambil dan disumbangkan ke Palang Merah setempat.
Namun sekarang tradisi lempar koin di Fontana di Trevi mulai memudar karena
koin-koin itu ternyata sempat merusak bangunan dasar kolam. Eh, tapi tetap ada
saja yang diam-diam melemparkan koinnya. Saya memilih tidak melakukan itu.
Mengambil foto cantik dari sisi Barat Villa
Borghese Garden
Perjalanan kami belum selesai.
Setelah menikmati makan siang di dekat stasiun Flaminio, kami melanjutkan
langkah kaki menuju Villa Borghese. Letaknya ada di atas. Melihat anak tangga
yang berundak-undak sebanyak itu, nyali saya mulai menciut. Berjam-jam berjalan
kaki, membuat stamina saya mulai menurun.
Peta Villa Borghese Garden yang luas |
Tantangan Stefano saya tolak
mentah-mentah. Saya sudah tidak setangguh dulu lagi (hahaha … mulai lebay).
Daripada saya memaksakan diri dan setelahnya K.O, lebih baik memilih
alternatif lain. Yang penting tetap bisa sampai di atas.
Spot cantik bernama Pincio |
Akhirnya kami
melewati jalanan biasa namun tetap menanjak. Lumayanlah dibanding harus menaiki
tangga. Tiba di atas, lelah saya terobati. Spot cantik dari Pincian Hill atau
Pincio membuat mata puas menatap ke bawah. Di bawah sana terlihat Piazza del
Popolo. Saya menyapu pandangan ke segala arah dan bagian kota Roma.
Berlagak jadi peraga busana di Spanish Step
Di sisa-sisa tenaga, kami sampai
juga di Spanish Step. Sebuah tangga lebar yang menghubungkan Piazza di Spagna
(Spanish Square) di bagian bawah dan Piazza dei Monti di depan gereja Trinita
dei Monti di bagian atas.
Bukan ini lho peragawatinya :p |
Susah mau milih duduk di mana |
Saat menuruni tangga, Stefano
mengatakan bahwa tangga ini pernah dipakai oleh para peragawati untuk pameran
penutupan pekan mode tahunan. Saya spontan sok merasa seperti peragawati yang
gagal diet. *dilarang ngikik berjema’ah ya*
Setelah sampai
di bawah, masih ada air mancur lagi. Saya berpikir bahwa orang Roma sangat suka
dengan air mancur. Air mancur (Fontana della Barcaccia) di area Spanish Step
ini adalah karya Bernini. Karena ada pemugaran, hasil foto yang saya ambil pun
terasa kurang maksimal.
Fontana della Barcaccia (doc. pribadi) |
Spanish Step dan sekitarnya menjadi
akhir destinasi yang ditawarkan Stefano kepada saya. Setelah lima jam
didampingi “tour guide” yang sabar,
akhirnya saya menyerah dan memutuskan untuk kembali ke hotel. Tapi, jangan lupa
untuk kembali lagi ke blog saya ini ya. Masih ada lanjutan catatan jalan-jalan
saya di Roma untuk hari berikutnya. Sampai jumpa. Salam. [Wylvera W.]
To be
continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar