Hari
ketujuh (Sabtu, 26 Agustus 2017), saya dan suami sudah berpindah penginapan.
Kami menyewa sebuah kamar di apartemen yang tidak jauh dari stasiun King’s
Cross. Pagi-pagi sekali kami sudah sampai di apartemen. Selepas itu kami
sebenarnya ingin melanjutkan perjalanan menuju Edensor, sebuah desa yang masih
membuat saya penasaran. Sayangnya, kami tidak bisa buru-buru masuk ke apartemen
karena petugas adiministrasi baru datang tepat jam sembilan pagi. Banyak waktu
yang terlewati dengan penantian yang bikin mood
sempat turun.
Tentang
Edensor sebenarnya semua bermula dari membaca novel Andrea Hirata. Sejak itu, saya
jadi menyimpan rasa penasaran itu berlama-lama. Puncak rasa penasaran itu
ketika suatu hari saya melihat foto-foto Edensor di akun facebook milik Rahmadiyanti Rusdi (Promotion and Marketing Noura
Books). Dari chatting dengan beliau
pulalah, akhirnya saya membujuk suami agar mau mengantarkan saya ke sana.
Alhamdulillah, mimpi itu akhirnya terwujud.
Setelah
menunggu, akhirnya kami bisa memasukkan koper ke kamar. Tanpa membuang waktu
lagi, saya dan suami langsung menuju stasiun dan membeli tiket.
Di
kereta yang padat menuju Sheffield
Tidak ada kereta yang langsung
menuju Edensor. Kami harus ke Sheffield terlebih dahulu. Harga tiket kereta
dari London ke Sheffield, £75.50 (return) per
orang. Sheffield sendiri adalah ibukota South Yorkshire dan merupakan kota
terbesar nomor lima di United Kingdom. Di sana pula letaknya dua universitas
terkenal bernama University of Sheffield dan Sheffield Hallam University.
Ini tiket kereta dari London - Sheffield |
Begitu naik ke kereta, kami tidak
mendapatkan kursi. Keterlambatan memang menjadi taruhan setiap kali bepergian
ke antar kota di Inggris. Beda kondisinya kalau sudah memesan kursi. Risiko
seperti itu harus diterima. Kami harus rela berdiri dan berdesakan dengan
penumpang lain yang bernasib serupa. Tidak ada pemandangan yang bisa dinikmati
selama perjalanan. Kami harus sabar menunggu dua jam setengah waktu tempuh
menuju Sheffield.
Awalnya kami ingin menyisakan waktu
sedikit untuk menjelajahi kota Sheffield. Keinginan itu terpaksa dilupakan.
Waktu keberangkatan yang sudah melewati batas rencana kami, tidak lagi
memungkinan. Maka niat utama menuju Edensor yang harus kami dahulukan. Sebagai
pengobat hati, kami tetap menikmati perjalanan di dalam kepadatan kereta.
Hampir
menyerah gara-gara informasi yang salah
Kami tiba di stasiun Sheffield.
Untuk mencapai Edensor, kami harus melanjutkan perjalanan dengan bus dari
Sheffield Interchange (terminal terpadu di City Center). Lokasinya dekat
stasiun. Sedikit berjalan kaki saja. Sementara bus yang harus kami naiki adalah
jurusan Bakewell dengan nomor 218. Bus ini akan berangkat setiap satu jam sekali. Harus tepat waktu
jika tak ingin kehilangan waktu sejam kalau terlambat.
Tiba di stasiun Sheffield |
Suami saya melepas lelah sesaat di depan stasiun Sheffield |
Setelah melihat jalur kedatangan dan
keberangkatan bus, kami pun bergegas menuju platform
D3. Untuk memastikan, kami mencoba bertanya kepada petugas. Betapa terkejutnya
saya ketika petugas mengatakan bahwa tidak ada lagi bus yang berangkat menuju
Bakewell karena waktunya sudah lewat. Rasanya sia-sia waktu yang sudah kami
habiskan selama dua setengah jam dari London tadi. Kami tidak akan sampai ke
Edensor.
Dengan sisa harapan, saya tidak mau
menyerah. Saya mengajak suami untuk bertanya kepada petugas yang lainnya.
Alhamdulillah, ia mengatakan bahwa busnya sepuluh menit lagi akan datang. Kami
bisa membeli tiket langsung pada sopirnya. Suami saya sempat marah dan ingin
kembali ke petugas sebelumnya. Untung saya bisa mencegahnya. Repot urusannya
kalau terjadi perdebatan. Mungkin saja tadi terjadi kesalahpahaman dan petugas
terminal itu tidak paham dengan pertanyaan kami. Uh! Ternyata di negara maju
seperti itu pun ada saja petugas yang tidak memberi informasi yang tepat.
Berhenti
di Chatsworth House sebelum ke Edensor
Tiket seharga £5.80 untuk pergi dan
pulang sudah kami beli. Kami sudah berada di bus bertingkat (double-decker bus).
Saya mengajak suami duduk di atas, bangku terdepan. Begitu melewati perkotaan,
bus akhirnya memasuki jalanan menanjak dengan tebing sebagai tepiannya.
Pemandangan dari balik kaca bus bertukar dengan hamparan rumput yang dilengkapi
oleh sapi-sapi dan sekawanan domba. Laju bus terus melewati ketenangan alam
pedesaan Derbyshire.
Harga tiket busnya nggak mahal kan? |
Suasana
alam yang menyejukkan mata itu, membuat suami saya lupa pada rasa kesalnya ke
petugas terminal tadi. Ia malah sibuk merekam setiap kecantikan alam pedesaan
yang kami lewati. Jalanan yang lurus dan sesekali berkelok membuat saya
berulang-ulang tertegun. Bukit-bukit dan hamparan padang rumput hijau beserta
domba-domba yang asyik menikmati santapannya sangat menyegarkan mata. Betapa
cantik ciptaan Allah ini.
Bagian jalan yang terfoto, sisanya direkam |
Rasa penasaran saya pada Edensor
sebentar lagi akan menguap. Seperti apakah cantiknya desa itu? Apakah serupa
seperti yang digambarkan Andrea dalam novelnya? Pertanyaan-pertanyaan itu
sempat membuat dada saya berdebar-debar. Tak sabar ingin segera tiba di desa
tujuan. Meskipun dari salah satu artikel menyebutkan bahwa Edensor adalah desa
buatan pemilik Chatsworth House, rasa penasaran saya tetap ingin melihat lokasi
desa itu dari dekat.
Sebenarnya
sebelum sampai di Chatsworth House, kami bisa berhenti di pemberhentian bus
tepat di depan desa Edensor. Tapi pesan Rahmadiyanti yang selalu saya ingat. Agar
tidak bablas ke Bakewell kami bisa turun di pemberhentian area mansion itu. Saya memilih mengikuti
pesan teman saya itu saja.
Bangunan yang terletak di sisi Chatsworth House |
Sekitar
satu jam dibuai oleh keindahan alam dari balik kaca bus, akhirnya membawa kami ke area Chatsworth House. Bus berhenti di lapangan parkir Chatsworth. Ternyata pilihan saya mengikuti saran teman tidak ada
ruginya. Rasa penasaran pada Edensor sekaligus
membawa kami pada Chatsworth House, sebuah mansion milik Duke of Devonshire ke-6. Rumah ini pula yang pernah dijadikan lokasi
syuting film Pride and Prejudice (2005).
Chatsworth House dari kejauhan |
Kami berlatar belakang Chatsworth House |
Sayangnya
kami tidak punya waktu lebih lama. Chatsworth House hanya menjadi bagian tersingkat
dari cerita tentang Edensor. Saya dan suami hanya sempat berfoto di sekitar
rumah megah itu saja. Itu pun dari jarak jauh. Agar sempat melihat Edensor,
kami segera melanjutkan berjalan kaki.
Welcome
to Edensor, desa mungil yang memesona
Edensor adalah sebuah desa yang
terletak di wilayah Peak District, Sheffield. Menara Gereja St. Peter yang
merupakan landmark desa Edensor menjadi
pemandu arah kami. Melalui jalan setapak yang membelah perbukitan akhirnya
menghantarkan saya dan suami ke depan gerbang Edensor. Sungguh! Desa di lereng
bukit Derbyshire ini memang indah dan memikat. Meskipun masih banyak desa-desa cantik
lainnya yang ada di Inggris, Edensor tentu saja menjadi pelengkapnya.
Dua puluh menit menelusuri jalan ini |
Dan akhirnya mendekati Desa Edensor |
Kedatangan
kami seolah disambut oleh domba-domba gemuk yang ramah. Saya tak ingin membuang
kesempatan untuk berpose bersama domba-domba cantik yang bebas berkeliaran di
depan desa Edensor. Setelah itu, saya dan suami memasuki desa melalui pintu
gerbang yang terbuka ramah bagi pengunjungnya.
Disambut Shaun the sheep :) |
Gerbang Desa Edensor |
Ada
dua arah jalan saat ingin menelusuri Desa Edensor. Jalan yang di sebelah kiri
Gereja St. Peter akan melewati area pemakanan dan berakhir di jalan buntu.
Sementara jalan di sebelah kanan gereja adalah jalan yang akan membawa kami
menuju pemandangan yang menakjubkan.
Pilih kiri atau kanan? |
Kedatangan kami bertepatan dengan
akhir musim panas dan menjelang musim gugur. Desa Edensor menjadi tampak
menawan dengan pepohonannya yang masih menyisakan warna kemerahan pada
daun-daunnya. Rumah-rumah petani terbuat dari batu tanpa cat dengan atap kayu
berdiri kokoh melengkapi keindahan alam Edensor.
Mengawali pandangan dengan permulaan yang indah |
Keindahan, ketenangan, dan kenyamanan berpadu serasi |
“Ensor”, begitu cara mengucapkan
Edensor. Cara pengucapan itu pula yang saya pakai saat bertanya pada sopir bus.
Anehnya, tidak banyak turis lokal yang mengenal dan paham letak lokasi Edensor.
Ketika tiba di Chatsworth House, saya melihat para turis lebih memilih
menghabiskan waktu luang mereka di sana. Padahal letak Edensor tidak begitu
jauh dari mansion itu. Hanya satu dua pengunjung berwajah Eropa yang terlihat
oleh saya ketika menelusuri jalan-jalan Edensor. Kami malah bertemu dengan rombongan
keluarga turis dari Indonesia.
Saya membayangkan kenyamanan di dalam rumah itu |
Ketenangan desa ini membuat hati enggan meninggalkannya |
Hanya ada sekitar tiga puluh rumah
di Edensor. Sebagian penduduknya adalah karyawan Chatsworth Estate atau para
pensiunan dari sana. Desa ini memang sepi dan tenang. Jalanan yang sedikit
menanjak dihiasi pepohonan oak samasekali tidak membuat kami lelah. Malah mata
mendadak fresh oleh pemandangan deretan
rumah-rumah unik dan cantik di kiri kanan jalan. Rumah-rumah itu dibangun
sekitar tahun 1839. Wow! Sudah tua juga ya?
Serasa ingin mengabadikan setiap momen |
Rumah-rumah di Desa
Edensor merupakan gabungan dari gaya bebatuan Tudor, pintu busur Normandy.
Sementara atapnya mengambil gaya Swiss dan jendelanya mengadopsi gaya Italia. Bentuk
rumah itu membawa kaki kami terus berjalan hingga di penghujung desa yang tak
ada lagi rumah-rumah terlihat. Hanya tampak padang rumput berlatar belakang
bukit-bukit.
Sesaat sebelum tiba di penghujung desa |
Sampai di sini, yang tersisa hanyalah hamparan padang rumput dan kami :p |
Setelah puas mengitari Edensor
selama sekitar satu jam lebih, kami memutuskan untuk kembali ke arah pintu
gerbang desa itu. Sebelum benar-benar meninggalkan Edensor, saya melihat papan
persegi empat bertuliskan “Edensor Tea Rooms and Shop” yang disandarkan pada
batang pohon. Ada tanda panah penunjuk arah menuju kedai teh itu. Karena tidak
berniat ingin menikmati teh dan kue-kue yang disajikan, saya dan suami hanya
sekadar melewatinya saja.
Objek terakhir yang sempat saya simpan |
Itulah akhir dari pemuas rasa
penasaran saya. Edensor bukanlah desa khayalan Andrea Hirata. Desa itu
benar-benar ada. Saya sudah sampai di sana. Keindahannya pun sempurna “membius” saya
hingga ingin berlama-lama menikmatinya. Jika waktu tidak membatasi, rasanya
saya ingin bermalam di sana. Ingin melihat suasana Edensor di waktu malam.
Saya sempat memoto bus stop di depan Desa Edensor di awal |
Apa
boleh buat, saya dan suami harus bergegas menunggu bus di halte yang berada
tepat di depan gerbang Edensor. Kami harus kembali ke London sebelum gelap
menyergap. Sebab esoknya akan ada satu destinasi lagi yang akan kami kunjungi.
Selamat tinggal Edensor. Semoga saya bisa kembali bersama anak-anak saya suatu
hari nanti. Aamiin. [Wylvera W.]
Semua foto di artikel ini adalah milik penulis/pribadi
Yang ingin baca catatan dari awal perjalanan di UK, silakan mampir di sini, ini, dan ini