Traveling bersama suami yang bertugas itu tetap ada ceritanya. Ada yang seru, lucu, dan bikin degdegan. Namun bagi saya, apa pun kondisinya tetap rasa syukur
di atas segalanya. Rasa syukur itu pula yang membuat saya semaksimal mungkin
menikmati waktu yang ada. Baik itu di sisa-sisa waktu yang saya bisa jalan
dengan suami maupun tidak. Inilah cerita versi saya.
Menu sarapan pilihan suami |
Sarapan pagi pilihan saya di St. Pancras Renaissance Hotel |
Hari berikutnya selepas sarapan pagi, saya memilih
menunggu di kamar hotel sambil menunggu suami dan rekan kerjanya kembali dari
jadwal tugas. Waktu yang serba tanggung itu saya manfaatkan untuk merapikan isi
koper bawaan saya dan suami. Mumpung di kamar hotel ada setrika (gosokan-red),
saya memanfaatkan waktu merapikan baju-baju suami dan pakaian saya agar kembali licin saat
dipakai. Ini sih naluri Emak rumahan banget.*jangan protes yaaa ....*
Batal
makan malam di Camden Town
Akhirnya suami saya kembali ke
hotel. Namun waktu tidak lagi banyak tersisa. Meskipun cuaca di luar
masih terlihat terang, kami tidak mungkin menghabiskan kebersamaan mengitari
kota London. Akhirnya karena sama-sama lapar, kami memutuskan untuk menikmati
makan malam di Camden Town yang jaraknya tidak begitu jauh dari King's Cross.
Camden Town adalah kawasan
perbelanjaan yang pernah kami jadikan tempat untuk menginap saat berkunjung ke
London. Saya dan suami tentunya sudah hapal betul area tersebut. Ada restoran
yang menjual ayam goreng bersertifikat halal di sana. Kami ingin mengulang
kebersamaan itu sambil menikmati makan malam di restoran tersebut.
Sebelum menuju stasiun kereta bawah
tanah, saya melihat langit begitu indah menyelimuti kawasan King’s Cross, St.
Pancras. Bangunan hotel tempat kami menginap jadi terlihat semakin megah dan
elegan. Saya menghentikan langkah suami dan minta diambilkan foto dengan
berlatar belakang hotel serta warna langit yang menawan itu. Sinar lampu-lampu
menjelang malam menambah keromantisan latar belakangnya.
Menjelang malam di depan hotel St. Pancras |
Setelah itu, kami kembali pada
tujuan semula. Makan malam di Camden Town. Gerbong tube (kereta bawah tanah) yang kami naiki tidak terlalu padat lagi
oleh orang-orang yang pulang dari kantor. Tiba di stasiun Camden Town, kami
turun dari tube. Saya tersenyum
melihat keadaan di luar stasiun.
Saya
lirik hape. Sudah jam delapan malam lebih beberapa menit. Sebenarnya
waktu itu saya tidak yakin kalau restoran penyaji ayam goreng halal itu masih
buka. Saya dan suami tetap berjalan sambil menikmati kawasan yang selama hampir
seminggu pernah kami lalui setiap harinya saat menginap di Camden Town. Benar
saja. Restorannya sudah tutup. Kami sama-sama tertawa dan memutuskan untuk
membeli makanan yang bisa dinikmati di kamar hotel saja.
Cuci
mata di Bicester Village
Hari selanjutnya, saya kembali
menunggu di kamar hotel. Alhamdulillah, tidak terlalu lama, suami dan dua rekan
kerjanya sudah kembali. Jadwal kami selanjutnya adalah kembali memanfaatkan sisa waktu.
Tujuan kami adalah Bicester Village, sebuah kawasan perbelanjaan elit. Mumpung
hari masih siang, kami bergegas menuju stasiun.
Untuk
sampai di kawawan perbelanjaan itu, kami harus berangkat dari Marylebone
London Station. Selepas membeli tiket kereta antar kota, kami menunggu jam
keberangkatan sambil membeli bekal makanan. Perjalanan dari stasiun Merylebone
London menuju Bicester Village menghabiskan waktu sekitar satu jam. Begitu
sampai di stasiun Bicester, aroma berbelanja langsung menyeruak menusuk hidung.
Eh, maksudnya menggoda pandangan. Semua yang turun dari kereta yang kami naiki
bertujuan sama, hunting barang
bermerek.
Tiba di stasiun Bicester Village |
Bicecster
Village ini terkenal dengan desa belanja elitnya. Jangan ditanya soal barang
branded di factory outlet ini. Mulai
dari Coach, Fossil, Gucci, Lacoste, Michael Kors, Ted Baker, Longchamp serta
puluhan merek ternama lainnya, ada di pusat perbelanjaan tersebut. Tempat ini
adalah surga bagi “The Brand Minded”. Harga diskon di musim-musim tertentu
menjadi daya tarik yang memikat para pecinta shopping.
Dari gerbangnya sudah terasa aroma perbelanjaan |
Dari sini jalan menuju toko-toko penjual barang bermerek itu |
Salah satu barang branded yang diincar |
Waktu
pertama kali datang ke London, saya pernah menyinggahi factory outlet yang mirip dengan Bicester Village. Nama tempatnya Freeport Braintree. Tidak seperti waktu pertama datang ke Freeport Braintree (outlet shopping village), kesempatan
kali ini membuat saya hanya sekadar “cuci mata” saja. Yang dibeli hanya
beberapa. Saya dan suami lebih menikmati suasananya. Memerhatikan orang-orang
yang hampir semua menjinjing kantung-kantung belanja.Seru rasanya.
Buckingham
Palace dan jejak kenangan lainnya
Hari keempat masih dalam rangka
memanfaatkan waktu di antara jadwal suami. Kebetulan hari itu jadwal suami dan
teman-temannya dimulai pada siang hari. Sayang jika hanya menunggu dan
menghabiskan waktu di kamar hotel. Saya mengajak suami melihat Buckingham
Palace. Jika waktunya masih ada, kami bisa menyusuri tempat-tempat lainnya
dalam waktu setengah hari itu.
Green Park masih sepi di pagi hari |
Dulu tak sempat berfoto berdua di Green Park ini |
Setelah menikmati sarapan pagi di
hotel, salah satu teman suami saya ingin ikut bersama kami. Tanpa membuang
waktu, kami segera menuju stasiun King’s Cross. Dari stasiun ini kami ambil
jurusan menuju Green Park Station. Hanya sekitar sepuluh menit di tube, kami
pun sampai di area yang namanya sama dengan nama stasiunnya. Green Park merupakan
taman yang ditumbuhi oleh pepohonan besar dan rindang. Lokasinya berdeketan dengan
Buckingham Palace.
Saya dan suami nyantai di depan The Queen Victoria Memorial |
Dari Green Park kami terus berjalan.
Lagi-lagi dejavu. Walaupun suasananya
tidak sama persis, kesempatan kali ini tetap membawa kami pada kenangan waktu
itu. Berfoto tetap menjadi pilihan yang tak terlupakan. Bahkan ketika tiba di
pintu gerbang istana Ratu Elizabeth, hari masih pagi. Tentu para turis belum
memadati landmark yang tak pernah
sepi oleh wisatawan ini. Saat itu saya mendadak seperti model yang disibukkan
oleh bidikan kamera hape suami.
Serasa istana di belakang itu milik sendiri euy ...! :p |
Dari Buckingham Palace, kami
melanjutkan berjalan kaki menuju St. James’s Park. Sepi, tenang, sejuk, dan
nyaman. Suasana itu benar-benar kami nikmati. Masya Allah ... burung, bebek, dan tupai-tupai yang
berkeliaran bebas di taman itu menjadi penyedap pandangan.
Bebeknya (foto atas ya bukan yang bawah ... hahaha) terlihat kompak |
Kami pun tak mau kalah kompak |
Tupainya banci kamera ih ... hahaha |
London Eye tampak dari kanal St. James's Park |
Dari St. James’s Park, kami terus
berjalan hingga sampai di sebuah monumen. Saya membaca nama-nama yang tertulis
di dinding monumen. Di dinding itu tertulis nama para korban tragedi bom Bali
yang terjadi beberapa tahun lalu.
Monumen Bom Bali |
Kami kembali melanjutkan jalan-jalan
pagi menjelang siang itu menuju Westminster Palace. Di sana lah berdiri Big Ben,
nama untuk Great Bell of the clock di ujung Utara Istana Westminster, London. Sayang,
kami tak bisa mengambil foto berlatar belakang Big Ben secara utuh. Sedang ada
pemugaran, sehingga sebagian menara tertutup oleh besi-besi panjang penyangga
menara itu. Kami bergeser ke Jembatan Westminster. Dari atas jembatan yang
melintasi Sungai Thames saya bisa kembali menikmati London Eye setelah tiga
tahun lamanya.
Big Ben dalam pemugaran |
Foto kesekian kalinya tapi tak pernah bosan ;) |
Masih ada waktu. Kami sepakat untuk
kembali berjalan menuju Trafalgar Square, alun-alun kota London yang tak pernah
sepi. Trafalgar Square yang letaknya di bagian tengah kota London ini didirikan
untuk mengenang Pertempuran Trafalgar (1805). Selain sebagai lokasi wisata dan
tempat ngumpul, Trafalgar Square juga sering digunakan untuk aksi demonstrasi
buruh dan pekerja di London. Dari sini, kami akhirnya memutuskan untuk kembali
ke hotel.
Trafalgar Square |
Di depan National Gallery Museum |
Saya kembali menunggu hingga sore
hari. Sisa waktu sepulang suami dari dinasnya, kami manfaatkan untuk menikmati
makan malam bersama di sebuah restoran muslim India. Letaknya masih di sekitar
King’s Cross dan berada di tepi jalan utama wilayah itu. Sajian makanannya
maknyus. Alhamdulillah … pas di lidah. Piring saya dan suami yang tadinya penuh
oleh menu pilihan kami, akhirnya licin saking enaknya. Tapi sangat menyesal,
saya dan suami sampai lupa memotonya. Semoga tidak dianggap hoax.
Gagal
menuju Primark
Saat kembali dari jalan-jalan pagi
menjelang siang sehari sebelumnya, saya sempat menandai lokasi toko murah.
Namanya Primark. Toko yang menjual beragam barang dengan harga terjangkau ini juga
pernah menjadi pengisi waktu traveling saya saat di London waktu itu. Tentu
saja saya ingin kembali ke toko itu jika waktunya memungkinkan.
Di hari kelima, setelah suami
berangkat dinas, saya pun bersiap menuju Primark. Sebenarnya Primark tersebar
di beberapa lokasi di London. Saya memilih toko yang berada di area Oxford
Street. Pagi itu saya ingin mencoba naik bus. Tanpa pikir panjang dan memerhatikan arah bus, saya naik saja ke bus
dengan nomor yang sama saat kami kembali dari Trafalgar Square kemarin.
Awal
berada di bus, saya tidak merasa curiga kalau bus yang saya naiki justru
arahnya berlawanan. Hingga di pertengahan jalan, saya baru sadar dan yakin jika
saya salah naik bus. Ingin menertawakan diri sendiri saat itu. Saya buru-buru
menekan tanda stop lalu turun dan menyeberang di pemberhentian bus yang benar.
Karena sudah menghabiskan waktu sekitar 40 menit, selera saya lenyap mendadak.
Saya memilih turun saja kembali di halte King’s Cross. Saya habiskan waktu
memotret suasana “Bazaar tradisional homemade pastries”.
Kue-kuenya bikin ngiler |
Saya sempat ngobrol dengan salah
satu peserta bazaar. Mereka menjual mangga organik yang rasanya sedap sekali.
Katanya mangga-mangga itu ditanam di tanah perkebunan yang ada di pinggir kota
London. Saya tidak ingat nama daerah yang disebutnya. Yang jelas, saya akhirnya
membeli potongan buah mangga itu dan jusnya juga sebelum kembali ke hotel.
Mangganya mantap rasanya |
Penjualnya senang banget saya tanya-tanya |
Ssst … tapi saya tetap kembali ke
Primark di hari lainnya. Nggak mau rugi dong. Minimal ada yang dibeli buat
oleh-oleh, walau hanya sekadar kacamata.
Menikmati
kesendirian di London Bridge
Jum’at pagi itu, suami sudah terikat
dengan jadwal yang padat hingga sore hari. Saya harus pintar menyiasati
kesendirian. Setelah suami berangkat, saya memutuskan untuk naik tube menuju London Bridge. Tidak ada
yang rumit untuk memilih rute. Semua sudah jelas tertulis. Harus naik kereta ke
arah mana, Insya Allah tidak akan nyasar. Berbeda dengan bus. Saya sedikit
lebih kesulitan menandai rute bus di petanya. Buat saya yang paling cepat
adalah naik tube.
London Bridge nun jauh di sana |
Sekitar lima belas menit dari
stasiun King’s Cross, saya pun sampai di London Bridge Station. Keluar dari
stasiun, saya mencoba menggunakan google map
untuk memandu ke arah mana saya harus meneruskan berjalan kaki agar tiba di
tepi Sungai Thames yang terdekat dengan London Bridge. Tidak perlu waktu lama
untuk sampai ke lokasi tersebut.
Tongsis beraksi :p |
Akhirnya sampai juga setelah berjalan sekitar dua ratus meter. Karena sendiri, akhirnya
tongsis yang saya bawa dari rumah berfungsi maksimal. Saat itu, saya
benar-benar menikmati kesendirian. Memandangi jembatan megah dari jauh tidak
cukup membuat saya puas. Saya mendekatinya sambil menelusuri pinggiran sungai serta
mengingat-ingat kembali kebersamaan dengan anak-anak saya kala itu. Jembatan
tua yang telah berulang-ulang dibangun di lokasi yang sama ini, London Bridge
menjadi salah satu objek yang eksis sejak tahun 50 Masehi. Di sinilah akhirnya saya
menghabiskan waktu sendiri dari pagi hingga menjelang siang.
Tak
memilih Ted Baker, Harrods pun jadi
Saat di Bicester, saya belum
menemukan model yang pas untuk oleh-oleh yang dipesan anak saya. Akhirnya di
sisa-sisa waktu yang ada, saya dan suami kembali mengambil waktu khusus untuk
belanja memenuhi beberapa pesanan. Suami mulai bosan berkendara dengan tube, kami memilih naik bus menuju
Brompton Rd, Knightsbridge, London. Di kawasan itulah berjajar toko-toko yang
menjual barang-barang bermerek.
Sebelum belanja, kenalan dulu sama dua jagoan ini ;) |
Tentu
saja harganya sedikit lebih mahal dibanding harga di Bicester Village. Yang
menguntungkan, calon pembeli bisa memilih model yang lebih bervariasi. Saya dan
suami pun akhirnya keluar masuk toko branded.
Kembali “cuci mata”. Awalnya saya ingin membeli tas Ted Baker (menambah koleksi
yang sudah ada), tapi karena barang dan harganya belum pas dengan mata dan
kantong (diharap jangan tertawa ya … hihi) akhirnya saya pindah ke toko
berikutnya.
Setelah
puas berkeliling di gedung yang menjual segala model tas Harrods, pilihan
saya tetapkan. Tas Harrods untuk putri saya dan beberapa suvenir dengan merek
yang sama pilihan suami sampai ke meja kasir. Alhamdulillah, semua itu terbeli
karena rezeki dari Allah juga. Harus buru-buru disyukuri dong.
Tak
berharap bertemu makhluk astral
Ada satu tempat
yang menjadi tujuan wisata para turis di London, yaitu Kensington Palace.
Istana Kensington ini merupakan tempat tinggal keluarga kerajaan yang berlokasi
di Kensington, London, Inggris. Posisinya berdampingan dengan Kensington
Gardens. Kengsinton Palace telah menjadi istana kerajaan sejak abad ke-17 dan
pernah menjadi tempat tinggal Princess Diana.
Sekarang istana ini menjadi kediaman resmi Duke (Prince William) dan
Duchess of Cambridge (Kate Middleton), Duke dan Duchess of Gloucester, dan
Prince dan Princess Michael of Kent.
Istana yang dibuka untuk pengunjung
di sepanjang tahun ini tak pernah sepi dari kedatangan wisawatan. Waktu
berkunjung dimulai dari pukul 10.00 – 18.00 waktu London. Sementara harga tiket
masuk untuk dewasa adalah 15 Poundsterling dan bisa dibeli langsung di pintu
masuk istana.
Tidak seperti biasanya, kali ini
saya dan suami mencoba melakukan wisata malam. Awalnya saya masih berharap bisa
tepat waktu (jam lima sore), agar bisa masuk ke dalam istananya. Namun, karena
memang tidak dijadwalkan serius, kami santai saja. Perjalanan dengan bus dari
King’s Cross menuju halte Kensington lumayan lama. Tiba di depan pintu masuk
taman, hari sudah gelap.
Sempat ragu, kami berdiskusi sejenak
sebelum memutuskan tetap masuk melewati taman Kensington (Kensington Garden).
Kebetulan minggu itu bertetapatan dengan peringatan hari meninggalnya ibu
Prince Willam yang sangat kita kenal dengan nama populernya, Lady Di. Itulah
yang membuat keinginan kami bulat untuk tetap memasuki taman.
Entah kenapa, saya tidak bisa menahan rasa merinding di suasana ini |
Akhirnya kami masuk dan berjalan di
suasana remang-remang taman itu. Jujur saja, saat suami berkisah tentang tragedi
kematian Lady Di, bulu kuduk saya sempat meremang. Saya protes ke suami untuk
tidak menakut-nakuti saya yang memang penakut ini. Ia malah tertawa di
keheningan suasana malam itu.
Tertawa sambil mikir, adakah yang ikut berfoto di belakang kami? Hiii .... |
Suami tak mau melewatkan momen yang
bikin bulu kuduk saya bolak-balik meremang itu. Beliau mengajak saya berfoto
bersama dengan latar belakang pintu gerbang yang penuh dengan foto-foto
Princess Diana. Dengan setengah hati saya tetap berusaha tersenyum saat kamera
hape suami menerangi wajah saya dengan sinar blitz-nya. Padahal jujur saja, saya pengin lari secepat mungkin
meninggalkan lokasi itu. Sambil tertawa, akhirnya suami mengajak saya
meninggalkan area gerbang Kensington Palace. Untunglah kami tak sempat bertemu
makluk astral di sana. Suami saya akhirnya memberi tema wisata kami itu dengan
judul “Berfoto dengan Makhluk Astral”.
Selesai sudah jatah menghabiskan
sisa-sisa waktu yang kami punya selama di London. Masih ada cerita perjalanan
ke destinasi lainnya yang bukan memanfaatkan waktu tersisa. Tunggu saja
kelanjutan catatan ini. Salam. [Wylvera
W.]
Note: Semua foto adalah milik penulis (pribadi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar