Saya
dan Kak Nuraida sudah sepakat untuk memulai hari kedua di Sydney dengan
berangkat di waktu yang lebih pagi. Lokasi yang ingin kami kunjungi jaraknya
lumayan jauh. Kami telah memasukkan Taronga Zoo (kebun binatang yang cukup
populer di Sydney) dalam daftar destinasi. Kebun binatang ini berlokasi di daerah pesisir pantai pelabuhan
Sydney (Sydney Harbour). Tempatnya bernama Mosman.
Sarapan pagi yang aduhai lezatnya |
Senin pagi itu, selepas menikmati
hidangan sarapan yang lezat buatan Laila, kami siap berangkat dari stasiun
Punchbowl menuju Circular Quay Station. Di tengah perjalanan dalam kereta,
gerimis pun turun. Kami mulai ragu untuk tetap meneruskan rencana menuju
Taronga Zoo dengan kapal Feri. Sambil berdoa agar hujan reda, kami akhirnya
tiba di Stasiun Circular Quay. Kami langsung menuju loket penjualan tiket. Wah!
Lumayan mahal ternyata paket tur menuju Taronga Zoo. Apalagi jika memaksakan ke
sana dalam kondisi gerimis. Tidak bisa menikmati.
Rute kereta menuju CQ |
Setelah menghitung-hitung dan
melihat cuaca juga kurang bersahabat, akhirnya kami membatalkan perjalanan
menuju kebun binatang itu. Kami sempat berdiskusi sebentar sebelum memutuskan
ke mana akan mengalihkan rute. Saya mencoba menawarkan ke Kak Nuraida untuk
berkeliling naik kapal feri di atas Sydney Harbour. Tidak perlu menunggu lama,
beliau menyetujui. Sebelum membeli tiket, saya terpaksa harus membeli jaket
untuk berlindung dari gerimis yang masih betah membasahi kota Sydney. Jaket
sederhana seharga 20 dollar Australia akhirnya jadi pilihan saya.
Batal menuju kebun binatang, kami
tak patah semangat. Masih ada alternatif lain yang bisa dinikmati dengan bujet
murah. Sebenarnya banyak pilihan untuk menikmati Sydney di atas perairannya.
Bisa dengan berlayar, ikut cruise trip
atau naik jet boat. Dari semua
pilihan itu, tetap saja yang paling murah adalah dengan transportasi umum
(kapal feri). Tiketnya bisa dibeli terpisah atau terusan. Feri di Sydney tidak
besar dan tidak mengarungi lautan lepas. Ukurannya kecil dan hanya menampung
orang saja sebagai penumpangnya.
Kami pun bergegas menuju loket
penjualan tiket. Saya mencoba menawar tarif feri yang akan kami naiki. Siapa
tahu bisa. Aha! Dari harga 30 dia memberi diskon dan meminta kami membayar 23
dollar Australia saja. Saya belum sempat ngecek apakah harga 23 dollar itu
termasuk murah atau masih tergolong mahal. Pilihan mengalihkan rencana yang
mendadak itu akhirnya kami nikmati saja dengan harga 23 dollar. Penjual tiket
memberi informasi bahwa harga yang kami bayar akan membawa kami menyinggahi
beberapa pelabuhan seperti Fort Denision, Watson Bay, Q Station, dan Manly lalu
kembali lagi ke Circular Quay.
Gerimis di atas Manly Fast Ferry
Perjalanan dengan Manly Fast Ferry
pun dimulai. Kapal feri kami bergerak perlahan meninggalkan pelabuhan di
kawasan Circular Quay. Awalnya kami ragu
untuk naik ke anjungan kapal. Khawatir basah. Namun saya tidak bisa menahan
diri terlalu lama untuk duduk manis di lantai bawah feri. Saya memutuskan naik
ke lantai atas. Gerimis yang masih betah membasahi Sydney Harbour tak membuat
saya berhenti untuk mengabadikan objek.
Ini feri yang akan kami naiki |
Dengan jaket murah-meriah dan sesekali berpayung,
saya berhasil membidik spot-spot cantik yang sedikit diselimuti kabut. Opera
House yang sehari sebelumnya sempat kami lihat, kini lebih jelas tampak bangunan
fisiknya. Sydney Harbour Bridge pun terlihat megah dari atas anjungan kapal.
Kak Nuraida akhirnya pun menyusul saya ke atas. Gerimis dan udara yang semakin
dingin menembus jaket terpaksa kami abaikan demi merekam momen.
Wefie di antara gerimis yang ... mengundang :v |
Sydney Opera House tampak dari sisi laut |
Berpose di depan Sydney Harbour Bridge |
Rute feri yang kami naiki tidak
mengecewakan. Meskipun cuaca di atas pelabuhan bergerimis, kami tetap menikmati
perjalanan di atas air yang sesekali berombak itu. Dari Circular Quay, feri
melewati Fort Denision, sebuah pelabuhan
kecil yang dulunya lokasi bekas pertahanan, terletak di pusat Pelabuhan Sydney.
Jarakanya dekat sekali dengan Botanic Garden. Fort Denision menjadi salah satu
objek wisata utama di Sydney. Buat saya, perjalanan yang menghabiskan waktu
sekitar dua jam itu, menyuguhkan keindahan Sydney Harbour dari sisi lain.
Feri melaju semakin menjauhi dua ikon Sydney itu |
Kabutnya bikin suasana jadi terkesan romantis |
"Pegang yang kuat ya, Kaaak ...!" :v |
Feri terus bergerak dan akhirnya mampir di Watsons
Bay, merupakan perpaduan unik dari pantai terpencil dan menjadi salah satu
lokasi populer bagi wisatawan. Kemudian
feri melewati Manly Warf. Saya memerhatikan kapal-kapal kecil yang banyak
berlabuh di sana. Ingin rasanya singgah dan menjelajah di sana tapi cuaca dan
kapal feri tidak berhenti di dermaga itu.
Kapal-kapal kecil d sekitar Manly Warf |
Rute Manly Fast Ferry yang kami naiki arahnya menuju
Utara. Sesuai dengan namanya, feri ini akan bergerak menuju Manly. Di Manly ini
terdapat pantai yang sesuai dengan namanya yaitu Manly Beach dan merupakan
pantai paling populer di Australia. Letaknya persis di bentangan sepanjang
pesisir Utara Sydney. Sayangnya kami tidak bertujuan turun di pantai itu karena
kapal feri hanya berhenti sebentar saja katanya.
Gak turun, fotoan pun jadi lah .... ;) |
Dari Manly, feri kembali lagi menuju Circular Quay,
tempat awal kami naik. Kali ini, saya hanya menikmati saja pemandangan dari
dalam feri. Gedung-gedung, kota di sebelah Timur Sydney dan kapal-kapal kecil
yang sedang berlayar menjadi pelengkap pemandangan di siang bergerimis itu.
Menuju Masjid Auburn Gallipoli
Gerimis masih bertahan membasahi
Sydney. Kami belum menunaikan salat Zuhur. Selesai menikmati pemandangan dari
atas kapal feri, saya kembali mengajukan usul untuk mencoba mencari lokasi
Masjid Gallipoli, masjid terbesar di Australia. Lokasinya berada di kawasan
Auburn yang padat dengan komunitas muslimnya. Masjid Gallipoli ini katanya
menjadi ikon bagi umat muslim di Auburn.
Ibu yang berdua itu senyum-senyum melihat model dadakan :p |
Kami kembali memasuki area stasiun dan memilih platform yang menuju ke Auburn Station.
Karena keretanya belum datang, kami menyempatkan berfoto-ria. Dua ibu yang
duduk menunggu kereta mendadak tersenyum melihat tingkah kami. Salah satunya
malah menawarkan diri ingin memoto saya dan Kak Nuraida. Dengan balas memberi
senyum kami dengan halus menolak. Khawatir mendadak jadi model pula di Aussie.
*dilarang ngikik*
Kereta pun tiba. Kami memilih duduk di gerbong
bawah. Hanya beberapa saat berhenti, kereta kembali melaju menuju stasiun-stasiun
kecil untuk berhenti menghantarkan para penumpangnya. Stasiun Auburn masih
jauh. Kami kembali menikmati pemandangan dari balik kaca jendela kereta.
Setengah jam kemudian, kereta pun berhenti di Auburn Station.
Dari stasiun Auburn harus jalan lagi |
Begitu turun dari kereta, saya kembali mengaktifkan google maps. Menurut google maps, untuk mencapi masjid, kami
harus melanjutkan berjalan kaki sekitar enam menit dari stasiun. Sambil
memegang hape dan mengikuti petunjuk arah, saya sesekali memotret spot menarik
yang kami lewati dengan kamera kecil yang sengaja saya bawa.
Kota Auburn yang tenang |
Tamannya basah jadi fotoan saja ya |
Melewati toko cokelat Turki |
Sambil mengamati sekitar saya memerhatikan pertokoan
di pinggir jalan. Di kawasan Auburn ternyata tidak sulit menemukan restoran
halal dan toko-toko yang menjual perlengkapan umat muslim. Namun kami tidak
bertujuan mencari itu. Kami hanya ingin melihat masjidnya saja. Kami masih
terus berjalan mengikuti petunjuk arah di hape saya. Mendekati area masjid,
nuansa pemukiman muslim Turki semakin terlihat. Saya sempatkan untuk memotret
beberapa rumah dan bangunan itu.
Salat di Masjid Gallipoli
Kami pun sampai di depan masjid yang
bangunannya didominasi cat berwarna biru. Saya yang senang browsing masjid-masjid dari negara-negara lain, langsung merasakan
kemiripan antara Masjid Gallipoli dengan Masjid Biru di Istanbul, ibu kota
Turki. Sambil mengambil foto bangunan masjid, saya memerhatikan model
bangunannya yang memiliki gaya arsitektur Turki dan Ottoman.
Kami bergegas masuk karena ingin
sekali salat di dalamnya. Seorang pria setengah baya mempersilakan kami menaiki
tangga menuju tempat salat perempuan. Suasana masjid terlihat sepi karena waktu
zuhur sudah berlalu. Setelah berwudhu di kamar mandi yang lumayan bersih, kami
langsung menuju ruang salat yang dikhususkan untuk jema’ah perempuan.
Lantai atas tempat jema'ah Akhwat |
Lantai bawah tempat jema'ah Ikhwan |
Masya Allah, ketenangan dan
kenyamanan begitu terasa ketika saya melihat kebersihan tempat salat masjid
itu. Setelah salat, rasanya tak ingin buru-buru meninggalkan masjid. Sambil
memoto bagian-bagian masjid, saya juga sibuk browsing tentang sejarah masjid ini.
Lengkungan di bawah kubah yang indah |
Masjid Gallipoli ternyata dibangun
oleh komunitas imigran asal Turki yang menetap di Auburn. Sementara nama masjid
diambil dari kata Gallipoli yang merupakan sebuah kawasan di Turki. Saat Perang
Dunia I, di tempat ini pernah terjadi perang yang melibatkan Turki dan
Australia. Maka nama Gallipoli pun diambil sebagai upaya mempertahankan sejarah
yang sama-sama pernah dirasakan oleh Turki dan Australia.
Rasanya ingin berlama-lama di dalam masjid ini |
Berfoto sekali lagi sebelum meninggalkan masjid |
Selanjutnya saya sibuk memerhatikan
ukiran-ukiran kaligrafi yang bertuliskan “Allah”, “Muhammad”, dan potongan
ayat-ayat Al Qur’an. Kekaguman dan rasa syukur karena diberi kesempatan untuk
salat di masjid ini membaur dalam hati saya. Betapa Allah selalu memberi nikmat
pada hamba-Nya. Saya berulang mengucap syukur dalam hati.
Lokasi perumahan komunitas muslim Turki |
Sambil menunggu kereta tiba |
Karena sudah sore dan harus kembali ke
Punchbowl, dengan berat hati kami akhirnya meninggalkan masjid. Kami kembali
menyusuri jalan menuju stasiun Auburn. Langit masih mendung tapi gerimis sudah
berhenti. Jalanan yang basah oleh gerimis meninggalkan kesejukan di hati saya.
Sampai jumpa di catatan perjalanan berikutnya pada hari ketiga. Salam! [Wylvera W.]
Note: Catatan sebelumnya ada ada di sini