Saya dan Kak
Nuraida (kakak kelas sekaligus teman jalan), ingin melakukan traveling
bersama. Ada tiga negara yang menjadi target tujuan kami. Korea, Jepang, dan
Australia. Namun, punya niat traveling dengan bujet murah-meriah adalah sesuatu
yang tidak gampang untuk mewujudkannya. Ternyata rezeki itu bisa berpihak pada
siapa saja.
Akhirnya
kami memilih Australia karena kebetulan harga tiket promonya saat itu sesuai
dengan bujet yang telah kami persiapkan. Dengan harga pergi dan pulang 6,8 juta
rupiah, kami sepakat memilih Sydney dan Melbourne sebagai alternatif kota di
Australia yang akan kami kunjungi.
Siap berangkat |
Setelah tiket pesawat dan visa di tangan,
kami pun mencoba menghubungi teman (teman sekolah SMA suami saya dan Kak
Nuraida) yang bermukim di sana.
Alhamdulillah, sambutannya luar biasa hangat dan penuh kekeluargaan.
Fendi sangat welcome saat mendengar
kami akan datang ke Sydney. Meskipun demikian, sebelum tiba di rumah mereka,
tetap ada rasa sungkan di hati saya. Apalagi saya belum pernah bersua dengan
istrinya. Rasa risih karena akan merepotkan tuan rumah tetap saja terselip di
hati ini.
Terbang
menuju destinasi pertama
Persiapan untuk melakukan perjalanan
selama seminggu pun sudah matang. Sore itu, kami siap terbang dari Bandara
Soekarno Hatta menuju Kingsford Smith, Bandar Udara Sydney. Antrian di jalur
maskapai Qantas belum begitu panjang. Saya dan Kak Nuraida jadi leluasa untuk
mengabadikan momen kebersamaan kami saat itu. Dan ini bukan pengalaman
perjalanan yang pertama buat kami. Sebelumnya kami juga pernah
mengeksplor Bangka dan Belitung selama empat hari. Kenyamanan itu yang membuat
kami ingin mengulang kembali momen traveling bersama ini.
Jadi model dadakan di bandara :p |
Karena perjalanan di malam hari, tak
banyak yang bisa kami lihat di luar jendela pesawat. Tujuh jam berada di udara
kami habiskan dengan kesempatan untuk tidur dan menonton film-film yang
tersedia di penerbangan itu. Sesekali cuaca musim penghujan di Indonesia masih
mewarnai kondisi penerbangan di udara. Saat penumpang lain tertidur lelap, saya
sibuk melangitkan doa-doa keselamatan. Selebihnya mata saya yang sulit terpejam
akhirnya dilelahkan oleh film yang saya pilih agar bisa tertidur.
Sambutan
hangat di Sydney
Penerbangan selama sekitar tujuh jam
membawa kami mendarat di Bandar Udara Sydney. Pagi itu waktu menunjukkan pukul
8 am. Ada sekitar empat jam perbedaan waktu antara Indonesia dan Sydney. Kak
Ida segera menghubungi Fendi yang akan menjemput kami. Sementara saya mencuri
waktu untuk membeli paket telepon. Saat menunggu transaksi, Fendi pun tiba.
Kerinduan antara teman yang sudah dua puluh tahun lebih tak bertemu, begitu
mewarnai suasana saat itu. Kak Nuraida dan Fendi adalah kakak kelas saya di
zaman SMA dan sekaligus teman seangkatan suami saya juga. Terharu saya
merasakan pertemuan yang sarat dengan lepasnya rasa rindu itu.
Saya dan Kak Nuraida sesaat sebelum terbang |
Tanpa berlama-lama, Fendi pun
membawa kami ke rumahnya yang asri di kawasan Punchbowl. Rasa degdegan di awal
keberangkatan yang saya rasakan kembali muncul. Saya belum mengenal istri dan
anak-anak Fendi. Namun, masya Allah … sambutan yang tak kalah hangat kembali
kami rasakan begitu pintu rumah itu terbuka. Anak-anak yang manis dan santun
sigap menyambut kehadiran kami. Jabat tangan penuh hormat dari mereka membuat
hati saya bergerimis. Indahnya ukhuwah.
Kamar yang sungguh memanjakan |
Hidangan rumah yang maknyuuus .... |
Rumah yang penuh kehangatan |
Laila, istri Fendi yang tidak hanya
cantik parasnya, hatinya juga begitu baik memanjakan kami dengan hidangan
sambutan. Lagi-lagi hati saya mengucap syukur dan berterima kasih untuk semua
kenyamanan itu. Setelah melepas rindu dan saling bertukar kabar, kami meminta
izin untuk menyegarkan badan. Fendi akan melanjutkan jam kerjanya. Walaupun
hari itu hari libur, Fendi tetap mengambil pekerjaan tambahan di luar kerja
tetapnya sebagai pegawai kantor pos. Lagi-lagi ia berpesan agar kami tidak
perlu sungkan dan harus merasa seperti di rumah sendiri. Masya Allah ….
Mengunjungi
Masjid Lakemba
Sebelum berangkat ke Australia, Kak
Nuraida menyerahkan pemilihan daftar destinasi kunjungan ke saya. Maka yang
pertama saya pilih adalah kunjungan ke masjid. Dari hasil browsing, saya menemukan beberapa masjid yang tersebar di Sydney
dan Melbourne. Saya mengajukan beberapa pilihan ke teman jalan saya. Akhirnya
kami memilih 1 hingga 2 masjid yang sekiranya sempat kami datangi.
Masjid Lakemba tampak dari depan |
Hari pertama di Sydney, kami diantarkan
oleh Laila menuju sebuah masjid besar di kawasan Lakemba. Nama asli masjid yang
beridiri kokoh di atas lahan seluas sekitar 500 m2 ini adalah Masjid
Imam Ali Bin Abi Thalib. Karena lokasinya berada di kawasan Lakemba, masjid itu
lebih populer dengan sebutan Masjid Lakemba. Masjid yang bersih memanjang
dengan kubah tunggal dan satu menara ini dibangun dan dikelola oleh muslim
keturunan Lebanon (Libanese Australians). Masjid Lakemba merupakan salah satu
masjid terbesar di Australia yang pembangunannya selesai pada tahun 1977.
Menurut Laila, jema’ah masjid ini sebagian besar adalah muslim Lebanon atau
muslim keturunan Lebanon yang tinggal di Australia.
Istirahat sejenak sebelum kembali ke masjid |
Karena waktu Zuhur belum tiba, kami
belum bisa masuk ke dalam masjid. Akhirnya Laila membawa kami ke kawasan
pertokoan yang letaknya tak jauh dari masjid. Dari kawasan pertokoan itu, kami
meminta untuk berjalan kaki saja jika waktu zuhur tiba. Akhirnya Laila
meninggalkan kami dan kembali ke rumahnya.
Setelah “cuci mata” di beberapa toko
yang menjual busana dan aksesoris, kami memutuskan untuk kembali ke masjid.
Waktu zuhur ternyata sudah masuk. Saya memperhatikan para jema’ah yang bergegas
memasuki masjid. Tidak terlihat jema’ah perempuan. Ada rasa ragu untuk masuk.
Syukurlah, tidak berapa lama beberapa jema’ah perempuan pun akhirnya
berdatangan. Kami mengikuti dari belakang karena belum tahu arah masuk untuk
jema’ah akhwat (perempuan).
Sesaat setelah sholat Zuhur |
Jema'ah laki-laki di lantai bawah masjid |
Di bagian bawah bangunan masjid ada
tempat wudhu dan toko penjualan kitab suci. Kami terus mengikuti jema’ah
perempuan itu dan naik ke lantai atas. Di lantai itu ada kamar mandi dan tempat
wudhu untuk perempuan. Kamar mandinya lumayan bersih. Setelah berwudhu, saya dan
Kak Nuraida pun mengambil saf untuk memulai sholat berjema’ah. Tidak ada
perbedaan tata cara sholat di masjid itu. Selain itu, saya merasakan kenyamanan
dari sikap ramah yang ditunjukkan para jema’ahnya. Alhamdulillah, kami bisa
sholat dengan khusyuk di masjid ini.
Menghirup
segarnya udara taman Vaucluse House
Selesai sholat di Masjid Lakemba,
hari masih siang. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Vaucluse
House di Wentworth Rd, Vaucluse, NSW 2030, Australia.
Menunggu bus menuju Vaucluse House |
Sejujurnya kami tidak tahu di mana
persisnya tempat yang akan kami tuju ini. Berbekal google maps, sesekali kami bingung menemukan halte pemberhentian
bus tempat yang kami tuju.
Terkadang perdebatan pun kerap terjadi di antara saya dan Kak Nuraida. Namun
akhirnya kami akhiri dengan menertawakan kebingungan itu dan kami selalu
berhasil juga sampai ke lokasi.
Begitu bus yang kami tumpangi
berhenti di halte terdekat dengan lokasi Vaucluse House, aroma sejuk area taman
yang rindang langsung menyergap. Untuk mencapai bangunan yang masuk dalam
kategori rumah warisan di Sydney ini, kami harus sedikit menyambung dengan
berjalan kaki. Kami memasuki area taman yang masih bagian dari bangunan
tersebut. Pepohonan rindang dan area yang bersih, memberi nuansa segar dan
bikin hati betah.
Petunjuk arah menuju Vaucluse House |
Kami memuaskan diri mengabadikan
beberapa foto di lokasi taman Vaucluse House yang berada di sekitar tepian
pelabuhan ini. Rumah ini dulunya
merupakan rumah mewah milik Charles Wentworth (Ketua Konstitusi Australia) dan
Sarah, istrinya. Mereka tinggal di rumah ini bersama 10 orang anaknya (1827 –
1862).
Vaucluse House diapit pepohoanan dan taman yang asri |
Salah satu sisi bagian dalam Vaucluse House |
Rumah dan taman yang masih terawat
dengan baik ini menjadi objek kunjungan wisatawan yang murah-meriah. Kami sibuk
berfoto di taman yang terbentang cantik di atas lahan seluas 10 hektar.
Sementara isi dalam Vaucluse House dipenuhi oleh perabotan dengan desain klasik
abad ke-19. Mansion yang dibangun tahun 1803 ini mengadopsi gaya gothic.
Setelah puas mengambil foto dari
segala sudut pandang, akhirnya kami harus memutuskan meninggalkan Vaucluse
House. Bus yang tadi membawa kami ke lokasi ini masih lama datangnya.
Kesempatan menunggu itu lagi-lagi kami gunakan untuk berfoto-ria. Asyiknya
pergi berdua dengan selera yang sama ini menjadi pelengkap kebersamaan kami.
Barangaroo dan Sydney Harbour
Hari itu masih sekitar jam lima sore.
Langit musim panas masih memberi kesempatan bagi kami untuk menambah jam
kunjungan. Di saat bingung menentukan ingin ke mana, tiba-tiba Fendi menelepon
saya yang saat itu masih berada di bus. Fendi dan keluarganya ingin mengajak
kami melihat suasana di sekitar Sydney Harbour dan Barangaroo.
Fotoan sambil menunggu jemputan |
Di atas itu adalah Patung Ratu Elizabeth II (bukan yang berdiri lho ya:p) |
Sebenarnya, lokasi wisata paling
populer di Sydney itu masuk dalam daftar hari kedua kami. Jadi, ajakan ini kami
anggap sebagai pemanasan saja. Fendi berpesan agar kami menunggu di pinggir jalan
tepat di depan Town Hall Station. Sambil menunggu penjemputan, kami gunakan
waktu untuk memperhatikan suasana di sekitar stasiun yang ramai oleh orang
lalu-lalang. Ditimpali oleh musisi jalanan yang menampilkan gerakan tari musik India
yang menjadi pelengkap show-nya.
Sesekali saya tersenyum melihat gerakan-gerakan eksotik dari penari laki-laki
itu.
Mendekati jam 6 sore, mobil Fendi
pun tiba. Kami bergegas naik. Di dalam mobil sudah ada Laila dan ketiga anak
ganteng dan manis yang ikut serta. Kami langsung menuju Taman Kota Barangaroo,
Sydney. Dari pelacakan sejarahnya, saya menemukan informasi bahwa Barangaroo
merupakan nama seorang tokoh wanita suku Aborigin yang paling berpengaruh saat
itu. Barangaroo sangat peduli pada gadis-gadis kecil di sana. Ia mengajar dan
mengajak anak-anak itu bernyanyi, hingga mengenalkan budaya turun-temurun.
Saya, Kak Nuraida, Laila dan tiga buah hatinya |
Di Sydney sebenarnya banyak lahan
terbuka, termasuk taman-taman yang asri dan cantik. Salah satunya adalah
Barangaroo yang terbentang di atas lahan seluas enam hektar. Kawasan yang
berdampingan laut dengan tepian berkarang di New South Wales ini, menyimpan
sejarah penting tentang Australia.
Tak puas hanya sekali foto :v |
Saya dan Laila rehat sejenak di bangku Taman Barangaroo |
Katanya, dulu lokasi ini menjadi
pelabuhan dan wilayah bagi warga asli Australia yang kita kenal dengan suku
Aborigin. Dari kepentingan sejarah itu, pemerintah setempat mengambil inisiatif
untuk mengembalikan serta menjaga kelestarian kawasan ini dengan menatanya
sedemikan rupa. Taman Barangaroo berhasil menggabungkan pesona alam,
pengetahuan, dan sejarah asli Australia.
Saya dan Meera (putri Fendi dan Laila) berlatar Sydney Harbour Bridge |
Sydney Harbour Bridge di waktu senja |
Senja mulai menyentuh kaki langit.
Kami masih ingin menghabiskan waktu. Dengan melanjutkan mampir di tepian pantai
yang langsung bisa memandang bangunan populer, Sydney Opera House dan Sydney Harbour
Bridge, hari itu saya benar-benar merasa puas. Matahari yang mulai tenggelam
mempercantik tampilan langit saat itu. Momen cantik itu tentu saja tak kami
sia-siakan untuk berfoto-ria.
Menyapa senja di tepi Sydney Harbour |
Seolah tak ingin melepas nuansa
senja yang indah, saya terus-menerus menekan tombol kamera di hape. Klik! Klik!
Beberapa foto menjadi saksi keindahan di senja itu.
Hari
pertama di Sydney berakhir dengan sholat Isya di masjid
Waktu maghrib sudah semakin dekat.
Kami bergegas menuju masjid (maaf, saya lupa nama masjidnya). Menurut Fendi,
agak sulit mendapatkan tempat parkir di sekitar masjid tersebut. Kami pun berkeliling
dua kali hingga akhirnya menemukan lahan parkir yang sedikit jauh dari masjid.
Kami bergegas berjalan kaki menuju
masjid. Untunglah, masih ada waktu untuk menunaikan sholat maghrib sekaligus
Isya khusus buat saya dan Kak Nuraida yang masih berstatus musafir. Mungkin karena sudah lelah, jadi saya terlupa tidak mengambil gambar di masjid itu. Dari masjid,
Fendi masih membawa kami mengelilingi Sydney City. Seperti kota yang selalu ramai
seolah tak mengenal waktu, Sydney City malam itu tetap terlihat hidup dan
bergerak meskipun hari sudah mulai larut.
Inilah catatan hari pertama kami
di Sydney. Yang masih penasaran lanjutannya, tunggu saja ya. Sampai jumpa! [Wylvera W.]
Note: Lanjutannya ada di sini
Note: Lanjutannya ada di sini
Baca aja udah serasa ada di Australia ��
BalasHapusAlhamdulillah, semoga ada rezeki ke sana nantinya ya, Mbak. Aamiin.
Hapusasslmkm Bu, untuk budget sim card dan tiket kereta di sydney untuk jalan2 kira2 berapa per orang?
BalasHapus