Catatan
perjalanan di Sydney dan Melbourne masih berlanjut. Waktu enam hari harus kami
bagi sedemikian rupa sebab kami juga ingin mampir dan melihat kota Melbourne.
Di hari ketiga (Selasa, 5 Desember 2017), kami bersiap terbang menuju
Melbourne.
Dapat bangku paling belakang itu serasa lebih lama sampainya ... hihihi |
Jadwal penerbangan pukul 10.05 waktu
Sydney. Kami tiba di bandara Sydney satu setengah jam lebih awal. Check in untuk penerbangan yang kami
tumpangi belum dibuka. Saya memanfaatkan waktu luang dengan mengamati suasana
bandara pagi itu. Wajah-wajah Asia mendominasi antrian di mesin check in. Saya tidak heran karena di
Sydney memang banyak tersebar para pendatang berwajah oriental. Bahkan sebagian
besar dari mereka menjadi penduduk yang ikut memengaruhi roda perekonomian di
kota tersebut.
Sesaat
sebelum melakukan check in, seorang
petugas menghampiri kami. Ia menanyakan koper yang dibawa oleh Kak Nuraida. Penerbangan
domestik di Australia membatasi bagasi yang dibawa penumpang pesawat. Hanya 7
kilogram yang diperbolehkan. Penentuan berat ini sedikit membuat kami
terkendala di bandara. Teman traveling saya terpaksa harus membayar kelebihan
berat koper yang dibawanya. Syukurlah, kendala itu tidak terlalu membuat kami
cemas dan batal terbang. Setelah urusan check
in selesai, kami langsung menuju gate
untuk menunggu boarding.
Menunggu boarding |
Sambil menunggu, saya memerhatikan
beberapa penumpang yang tas dan kopernya kembali ditakar beratnya oleh petugas
maskapai. Ada yang bernasib sama dengan Kak Nuraida dan terpaksa harus
membayar. Mungkin mereka melewati meja check
in dan melakukannya secara online.
Ada juga yang sedikit protes agar tidak dibebankan biaya kelebihan lagi. Namun
peraturan tetaplah peraturan, mereka wajib membayar jika ingin terbang bersama
Tiger Air.
Pemandangannya bikin seger ;) |
Akhirnya, penerbangan menuju Bandar
Udara Tullamarine, Melbourne pun dimulai. Cuaca pagi menjelang siang terlihat
lumayan cerah dari balik jendela pesawat. Saya yang tidak bisa tidur, sesekali
sibuk mengabadikan panorama di luar jendela pesawat.
Sampai di bandara Tullamarine, Melbourne |
Tepat pukul 11.40, kami tiba di
Melbourne. Saya tak sabar ingin segera melihat suasana ibukota negara bagian
Victoria di Australia itu. Selain terkenal sebagai kota terpenting kedua dari
segi bisnis, Melbourne juga menjadi kota terbesar di Victoria.
Dari
bakso sampai apartemen yang memanjakan
Ada yang akan menjemput kami di
bandara Melbourne. Perempuan cantik mantan pramugari yang juga kerabat Kak
Nuraida itu bernama Liza. Dari bandara kami langsung diajak menuju rumah Liza
dan keluarga kecilnya di kawasan Shunsine. Mobil berwarna merah milik Liza meluncur
dengan kecepatan sedang. Saya duduk di samping Jessica, putri Liza yang sedang tertidur
lelap. Sambil menyimak obrolan sarat kerinduan antara Kak Nuraida dan Liza, sesekali
saya memotret jalanan yang kami lewati.
Jalan dan awan, kombinasi yang cantik |
Sekitar setengah jam, kami pun tiba
di kawasan perumahan yang nyaman. Liza sibuk mempersilakan kami masuk dan
melihat-lihat rumah yang baru selesai dibangunnya itu. Diam-diam saya merasa
kagum mendengar cerita Liza. Perjuangannya mengumpulkan uang selama
bertahun-tahun bekerja di maskapai penerbangan, Liza mampu membeli tanah dan
mendirikan rumah bagus di Melbourne. Liza menikah dengan laki-laki
berkewarganegaraan Australia.
Bantuin Liza masak bakso |
Setelah
mengajak kami berkeliling melihat ruang-ruang di dalam rumah itu, Liza mulai
sibuk mengolah masakan di dapurnya yang menyatu dengan ruang keluarga. Saya
tidak ingin tinggal diam dan ikut membantunya menyiapkan hidangan makan siang
untuk kami.
Aha! Ada bakso urat yang menunggu
matang di dalam panci. Sawi yang baru saya potong menjadi pelengkap kuah bakso
itu. Sambil menunggu Liza menggoreng ayam, saya mengaduk-aduk bakso yang hampir
matang. Setelah masakan selesai, kami pun siap menyantap bakso buatan Liza. Tiba-tiba,
Melbourne rasa Bekasi mampir di lidah saya. Maknyuuus …!
Bakso urat dan ayam goreng tepung ala Liza |
Setelah selesai menikmati makan
siang di rumah Liza, kami diantar menuju apartemen yang sudah dipesannya. Lokasi
Melbourne Short Stay Apartement itu dekat dengan Southern Cross Station.
Setelah check in, kami diberi kunci oleh petugas apartemen. Begitu
menyusuri lorong menuju kamar apartemen, saya sibuk menebak-nebak kondisi di
dalam kamar itu. Bangunan apartemen yang lumayan mewah dan berada di jantung
kota Melbourne, tentu membuat saya kepo
menerka-nerka tarifnya.
Bisa nginap di sini gratis itu ... sesuatu :-D |
Serasa apartemen sendiri :-] |
Taraaa
…!
Mendadak
saya terharu begitu memasuki kamar yang dipesan Liza untuk kami. Ukuran dan
desain kamar apartemen itu benar-benar memanjakan menurut saya. Kami seolah
tidak sedang ingin menginap di kamar hotel. Kamar itu paket lengkap. Ada dapur dengan
perangkat masaknya, ruang santai, meja makan, kamar tidur yang bersih, serta
kamar mandi. Saking terharunya, saya tak berani bisik-bisik bertanya ke Kak
Nuraida tentang tarif apartemen yang dihadiahkan Liza untuk kami itu. Alhamdulillah
… hanya itu yang berulang terucap dalam hati saya.
Ini bukan promo apartemen lho .... ;) |
Kamar mandinya haruuum .... |
Liza
tidak bisa berlama-lama menemani kami di apartemen. Gadis kecilnya yang
berparas campuran mulai tidak betah. Liza pun pamit dan lagi-lagi berharap agar
kami merasa nyaman selama di Melbourne. Yap! Tentu saja, kami akan merasa
nyaman dengan service yang memanjakan
ini. Thank you, Liza!
Menahan
dingin demi menemukan masjid
Hari pertama di Melbourne kembali
kami awali dengan mencoba menemukan masjid. Setelah selesai menunaikan salat
zuhur dan ashar sekaligus di apartemen, kami bergegas menuju stasiun kereta.
Saya pun siap mengaktifkan google maps
di hape sebagai pemandu jalan. Kami ingin mencari lokasi Shunsine Mosque.
Saya menyimpannya :) |
Dari stasiun Southern Cross yang
berjarak sekitar 300 meter dari apartemen, kami mencari kereta menuju Flinders
Street Railway Station. Hunting masjid di negeri yang bukan berbasis Islam pun
dimulai.
Islam
bukanlah agama mayoritas di Australia. Jumlah penduduk yang beragama Islam
hanya sekitar 500 ribu atau sekitar 3% dari 24 juta total penduduknya. Namun,
Islam telah menjadi bagian dari sejarah warga Australia, terutama jika ditelusuri
dari bangsa Aborigin sebagai penduduk aslinya.
Di Islamic Museum Australia, sejarah
mencatat bahwa Islam pertama kali dibawa oleh pelaut dari Makassar ke
Australia. Mereka mendarat di negeri itu sekitar tahun 1700-an. Cara mereka
datang pun sangat sopan dan melewati izin penduduk asli. Tujuannya sangat
sederhana, yaitu ingin mencari teripang di pantai Utara Australia. Mereka
menetap beberapa waktu dan berinteraksi dengan warga Aborigin.
Selain
dari pelaut Makassar, Islam juga masuk ke Australia melalui pengaruh para
penunggang onta dari Afghanistan dan Pakistan sekitar tahun 1870 – 1920. Mereka
datang dan bekerja di proyek pembangunan jalur kereta yang sedang dikerjakan
oleh pemerintah Inggris pada masa itu. Onta-onta yang mereka tunggangi dibutuhkan
sebagai hewan angkut material. Dalam sejarah Australia, mereka ini disebut
‘Camellers’. Keberadaan mereka tentu berpengaruh secara spiritual di Australia.
Setelah
itu, di tahun 1900-an, mulailah berdatangan buruh-buruh migran dari berbagai
negara Timur Tengah dan Afrika. Bangsa Turki menjadi salah satu pendatang yang
kian tersebar di beberapa kota Australia, termasuk Melbourne. Hingga saat ini
Islam pun terus berkembang di negeri kangguru itu.
Kembali ke catatan awal kami mencari masjid
yang bernama Shunsine Mosque. Kami sudah tiba di Albion Station. Dari stasiun
Albion ini kami harus berjalan kaki sekitar dua menit menuju halte untuk
menaiki bus yang menuju Chatsworth Av. Nomor bus yang harus kami naiki adalah
426. Hembusan angin mulai terasa dingin di kulit. Sambil menunggu, saya dan Kak
Nuraida lagi-lagi tak lupa mengabadikan lokasi halte.
Halte di dekat stasiun Albion |
Begitu melihat bus bernomor 426
tiba, kami langsung naik. Lima menit berada di bus, entah kenapa saya ingin
sekali melihat rute menuju lokasi masjid yang kami tuju sekali lagi. Alamaaak
…! Ternyata bus yang kami naiki salah. Nomornya sama tapi tidak berhenti di
halte terdekat dengan masjid. Saya buru-buru mengajak Kak Nuraida turun di
halte terdekat.
Kak Nuraida |
Mulai tegang diterpa angin dingin |
Kami pun tertegun dan kembali
menunggu bus berikutnya di halte tanpa kubikal itu. Angin semakin kencang
bertiup. Kami lupa membawa jaket. Padahal sudah diingatkan kalau cuaca di
Melbourne memang sulit ditebak. Sesaat hangat, tapi bisa mendadak dingin
menusuk kulit. Apa boleh buat. Kami berusaha menahan hawa dingin itu.
Karena
mulai tidak kuat menahan dingin, saya kembali me-resert alamat masjidnya. Penasaran. Tiba-tiba Kak Nuraida, berseru,
“Itu kubah masjid apa ya, Dek?” Saya tertegun. Tanpa sengaja kami melihat
puncak kubah masjid di kejauhan. Diiringi dengan menertawakan keluguan, kami
bergegas melanjutkan berjalan kaki mencapai posisi masjid yang puncak kubahnya
menyembul dari kejauhan itu.
Kubah masjidnya semakin terlihat besar |
Benar!
Itu adalah Shunsine Mosque. Ternyata bus yang kami naiki tadi sebenarnya tidak
salah-salah banget. Walaupun tidak turun di halte terdekat, tapi posisi halte
yang akan disinggahi bus itu tidak terlalu jauh dari masjid. Kami kembali
saling menertawakan (geli kalau ingat momen itu).
Sedih
karena tidak bisa sholat di Sunshine Mosque
Saat kami tiba memang waktu memulai
salat ashar sudah berlalu. Dari luar, masjid terlihat lengang. Kami masuk dari
samping bangunan masjid yang sepertinya sedang ada pemugaran. Memutari
bangunan, saya melihat beberapa kendaraan diparkir di halaman masjid bagian
depan. Saya pikir, itu pasti mobil para jema’ah. Saya sudah girang karena meskipun
tidak salat wajib, minimal kami bisa melakukan salat sunnah di dalam Shunsine
Mosque.
Masjid Shunsine tampak dari depan |
Sambil berjalan mengitari masjid,
kami mencari pintu masuk. Belum sempat membuka pintu masjid, saya melihat
beberapa pasang sepatu ditinggalkan di rak sepatu yang letaknya persis di
samping pintu. Rasa penasaran lebih kuat dibanding mengurungkan niat untuk
masuk ke masjid itu. Benar saja. Di dalam ternyata sedang berlangsung pengajian.
Kami gagal masuk. Sedih rasanya.
Lorong bagian depan masjid |
Sunshine Mosque berada di bawah
tanggung jawab Cyprus Turkish atau Turkish Cypriot (sebutan untuk orang Siprus
beretnis Turki) yang hijrah ke Australia. Orang-orang Cyprus Turkish yang
bermukim di Australia ini sudah menjadi bagian dari warga negara di negeri
kangguru itu. Sementara, nama resmi dari masjid ini juga menyandang nama mereka
yaitu Cyprus Turkish Islamic Community of Victoria.
Dari
pembelian gedung di 588 Rathdowne street, Carlton, mereka membentuk Asosiasi
Turki Siprus yang kegiatannya dipusatkan di gedung berbentuk masjid itu.
Termasuk untuk salat berjamaah. Pada perkembangannya, bangunan berupa masjid
ini kemudian dikenal dengan nama “Shunsine Mosque” atau Masjid Shunsine. Masjid
yang pembangunannya dimulai pada tahun 1992 ini adalah masjid terbesar di
negara bagian Victoria, Australia. Itu sebabnya mengapa saya ingin sekali
melihat masjid ini dari dekat.
Berfoto di halaman masjid sebagai pengobat hati |
Masjid Shunsine memiliki 17 kubah
dan berlantai dua. Lantai atas sebenarnya diperuntukkan bagi jema’ah
perempuan. Namun sore itu kondisinya terkunci dan digembok. Kami harus menyerah
pada rasa penasaran dan niatan untuk melakukan salat di dalam masjid tersebut.
Dengan berat hati, kami akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Shunsine Mosque.
Di Albion Station |
Keretanya sudah datang! |
Sambil menunggu kereta, kami
mengobati hati yang kecewa karena tidak berhasil mengeksplor bagian dalam
Masjid Shunsine dengan berfoto-ria di stasiun Albion. Meskipun bibir tersenyum
tetap saja ada sisa penasaran itu terlihat di wajah kami. Saya membesarkan
hati. Siapa tahu lain waktu saya dan keluarga punya kesempatan untuk kembali ke
Melbourne, saya akan tebus rasa penasaran itu. Aamiin.
Euforia
membawa lelah
Tiba di depan
gedung apartemen, kami berubah niat. Terlanjur lelah, kami pun memutuskan untuk
melengkapi rasa itu dengan mencoba menghabiskan waktu melihat-lihat kota Melbourne.
Tujuan pertama ingin melihat toko-toko penjual suvenir. Kami memilih menaiki tram yang melewati halte-halte di
sepanjang bangunan apartemen dan gedung-gedung perkantoran lainnya. Puas
berkeliling dengan tram, akhirnya
kami turun di salah satu halte.
Rasa kecewa kembali menghampiri. Tak
terlihat satu toko pun yang menjual barang-barang suvenir. Bahkan supermarket
yang kami kira ramai, justru sudah tutup. Akhirnya kami mencoba menyusuri
trotoar sambil menikmati hari yang mulai bergerak senja. Tanpa sengaja saya
melihat restoran bertuliskan “Pondok Rempah”. Girang banget rasanya. Perut yang
memang sudah terasa lapar bertemu jodohnya.
Tulisan "Pondok Rempah" di remang senja |
Sebelum masuk saya mencari label
halal restoran itu terlebih dahulu. Alhamdulillah, tulisan logo halal itu jelas
tertempel di lemari kaca yang berada di bagian depan restoran. Demi meyakinkan
hati, saya agak melongokkan kepala untuk melihat sertifikat halal lainnya yang
biasa digantung di tembok dekat kasir.
Ada label halal di sini dan di dalam |
Menunya bikin perut tambah lapar |
Alhamdulillah
ada tapi saya tidak enak hati untuk lancang memotonya. Yang penting jaminan
halalnya sudah jelas. Kami pun bergegas masuk dan memilih menu. Kak Nuraida
memilih lontong sayur dan saya ingin menikmati kwetiau saja.
Penginnya mesan yang banyak tapi bayarnya nggak pakai Rupiah sih :p |
Yang atas harganya sekitar 11 AUD |
Selesai
menikmati malam dengan masakan Indonesia itu, kami memutuskan untuk segera kembali
ke apartemen. Ampuuun! Kami kehilangan arah. Jalur tram yang tadi membawa kami menuju lokasi supermarket tiba-tiba
tidak kami temukan lagi. Saya mencoba mengingat-ingat dari arah mana sebelumnya
kami berjalan. Tetap tidak terlihat jalur rel yang dilalui tram. Bahkan nomor bus yang menuju ke alamat apartemen kami pun
tidak ada yang melewati jalan itu.
Bolak-balik
saya me-resert google maps di hape yang batrenya mulai menyusut, tetap tidak
menunjukkan arah dan alamat semula menuju apartemen. Lebih dari sejam kami
berkeliling berusaha menemukan arah kembali. Sementara hape Kak Nuraida
sempurna mati karena semua power bank
yang kami bawa sudah tandas dayanya.
Qadarullah
… saya berusaha tenang dan tidak panik. Sesasat setelah itu, akhirnya
mengingatkan saya pada stasiun Southern Cross yang tak jauh dari apertemen
kami. Sementara hari sudah mulai larut. Mungkin rasa girang menemukan restoran
yang menyajikan menu (semuanya) khas Indonesia membuat kami euforia.
Bisa-bisanya kami terlupa jalan pulang (pengin ngakak lagi kalau ingat kejadian
ini).
Akhirnya melihat Southern Cross Station lagi |
Hape
saya yang mulai lowbat pun kembali mengarahkan kami ke jalan
yang benar (dilarang ikut menertawakan ya ….). Alhamdulillah, kami sampai juga
di apartemen. Malam itu sudah hampir jam sebelas. Rasa lelah lagi-lagi tidak
mampu mengalahkan hasrat kami yang ingin menertawakan diri. Kami pun ngikik
bersamaan. Malam larut itu ditutup dengan salat dan tidur lelap tanpa mimpi
buruk. [Wylvera W.]
Note:
Catatan sebelumnya ada di sini dan si sini
Note:
Catatan sebelumnya ada di sini dan si sini
assalmkm, apakah bisa diinfo estimasi budget untuk sim card dan expense kereta selama di sydney dan di melbourne
BalasHapusWa'alaikumsalam, maaf lama baru direspon ini.
HapusUNtuk sim card kebetulan waktu itu saya beli yang paket untuk sebulan seharga 30 AUD, jatuhnya lebih murah dan tidak bolak-balik beli lagi. Sementara untuk kereta selama 4 hari di Sydney saya siapkan kartu kereta seharga 35 AUD tapi masih bersisa hingga hari terakhir. Kalau di Melbourne karena tempat penjualan tiket kereta dan top up nya dekat dengan apartemen, sehari saya membeli 20 AUD, kalau kurang tinggal top up. Habisnya sekitar 17 AUD untuk 2 hari itu.
terima kasih balasannya bu wiwiek
Hapusuntuk sisa saldo di kartu kereta apakah bisa dicairkan di stasiun kereta ?
Oh, kami tidak mencoba karena kebetulan pas di Melbourne sisa saldonya tingga sedikit banget. Tapi waktu di Sydney, karena kami dihadiahi kartunya, jadi dikembalikan ke teman yang memberinya. :)
HapusAlhamdulillah... akhirnya kembali ke jalan yang benar :D
BalasHapusMbak Wik yang udah melanglangbuana aja masih kehilangan arah, apalagi aku yang belum pernah ke mana-mana. :D
Hahaha ... iya mungkin efek kekenyangan kali ya.
HapusTapi kemarin itu memang aneh kok. Kita seolah lupa semuanya. Kenapa ya? (enggak usah dijawab). Hihihi