Beberapa
tahun lalu, saya sempat terobsesi ingin mengunjungi sebuah negara yang dijuluki
sebagai “Negeri Kiwi”. Yup! Negeri itu adalah New Zealand. Saking inginnya saya
ke sana, saya begitu bersemangat mengikuti kompetisi dari salah satu produk
susu bersama beberapa teman. Sayangnya, kami belum beruntung menjadi pemenang untuk
mendapatkan tiket gratis ke negara itu. Saya simpan lagi obsesi saya. Keinginan
itu pun kembali teralihkan oleh destinasi lain.
Hingga
akhirnya awal Februari 2019 lalu, saya tiba-tiba mencetuskannya kembali saat
suami berencana mengajak saya ke luar negeri. Meskipun ada satu negara lagi
yang menjadi pilihan selain Selandia Baru, yaitu Swiss. Namun karena saya sudah
3 kali ke Swiss dan suami malah sudah 5 kali, maka New Zealand pun menjadi pilihan
kuat. Akhirnya New Zealand menjadi
alternatif untuk menghabiskan cuti besar suami saya.
Saya
pun kembali melakukan browsing
tentang negara kepulauan yang berada di sebelah Selatan Samudera Pasifik itu. Saya
pikir travelling kami kali ini sama
dengan perjalanan-perjalanan sebelumnya. Naik pesawat ke negara tujuan lalu
naik kereta atau tram dan bis untuk mengeksplorasi kota-kotanya.
“Aku pengin mengulang perjalanan
kita dengan driving seperti di
Amerika dulu,” ujar suami membuat saya sedikit terperanjat.
“Betul! Ini serius. Kita urus SIM
Internasional,” lanjutnya tanpa menunggu reaksi saya.
Kami pun mulai mengurus semua
persyaratan yang dibutuhkan. Dari menyusun itinerary
(rencana perjalanan) untuk pengurusan visa dan pemesanan tiket pesawat, hingga
pembuatan SIM Internasional. Waktu yang diperlukan untuk semua itu sekitar satu
setengah bulan. Sangat cukup untuk mempersiapkan semuanya.
Untuk pengurusan visa, kami dibantu
oleh rekan yang biasa mengurus visa dinas di kantor suami. Sementara untuk SIM
Internasional, saya memakai jasa petugas yang selama ini membantu mengurus
perpanjangan STNK mobil dan SIM kami. Alhamdulillah, tidak terlalu lama, visa
kami pun akhirnya keluar dengan masa berakhir yang lumayan lama. Menyusul SIM
Internasional yang hanya memerlukan dua hari kerja.
Rencana perjalanan sudah disusun dan
disiapkan. Suami saya pun menyelesaikan pembelian tiket pesawat dan penyewaan
mobil untuk perjalanan kami selama di New Zealand. Kami bersyukur karena
mendapatkan harga promo untuk pesawat Garuda dan Qantas yang akan membawa kami
ke negara beribukota Wellington itu.
Saya dan suami (foto pribadi) |
New Zealand merupakan negara
tetangga Australia yang letaknya sama-sama di kawasan Oceania. Berstatus sebagai
negara persemakmuran Inggris dengan mayoritas penduduk keturunan imigran Eropa
dengan penduduk aslinya adalah suku Maori. Saya ingin membuktikan apa yang
menjadi keunikan negara tersebut. Terutama yang paling tenar bahwa New Zealand merupakan
negara kaya yang terkenal dengan keramahtamahan masyarakatnya. Mari kita
buktikan di cerita-cerita saya berikutnya tentang negeri ini.
Spot jantung sebelum mendarat.
Kami memilih mendarat di Bandar
Udara Internasional Wellington. Berangkat dari Bandara Soekarno Hatta pada
tanggal 25 Maret 2019 dengan pesawat Garuda. Transit di Melbourne untuk
menyambung rute dengan pesawat Qantas menuju Wellington.
Tidak pernah terbayangkan akan ada
momen menegangkan di perjalanan awal kami ini. Durasi terbang yang menghabiskan
waktu sekitar 3 jam (dengan perbedaan waktu) itu menjadi waktu yang cukup
panjang dan menegangkan di akhirnya. Awal yang indah mendadak berubah jadi
mengkhawatirkan.
Ketika
diumumkan bahwa pesawat akan mendarat dalam waktu 20 menit di bandara
Wellington, saya lega. Hingga tersisa sekitar delapan menit, ketegangan itu pun
dimulai. Awan dan angin kencang di atas permukaan laut, membuat pesawat yang
kami tumpangi tertahan untuk mendarat. Saya melihat dari jendela pesawat. Sulit
menembus jarak pandang akibat awan tebal yang menyelimuti langit.
Bolak-balik
guncangan yang sangat kuat begitu terasa dan membuat jantung saya berdetak
lebih kencang. Saya lirik wajah penumpang di sebelah bangku kami. Belum
terlihat tegang seperti saya. Atau mereka pintar menyembunyikannya ya?
Sementara saya sibuk melafazkan doa dan zikir. Suami yang menyadari kalau
istrinya mulai cemas, sibuk menenangkan dengan menggenggam jemari saya.
“Berdoa
saja dan jangan pikirkan yang negatif,” bisiknya lumayan menenangkan.
Di
enam menit terakhir, pesawat kami kembali naik dan mencoba untuk turun lagi.
Gagal! Hingga akhirnya keluarlah pengumuman kalau pilot akhirnya memutuskan
mengalihkan pendaratan di Bandara Internasional Auckland. Wajah suami saya
langsung tegang. Saya mengira dia mendadak takut akibat pengalihan tempat mendarat
itu. Ternyata bukan itu penyebabnya. Beliau cemas membayangkan jadwal penyewaan
mobil dan rencana perjalanan awal kami di Wellington. Tentu saja semua ikut
berubah dan sedikit berantakan. Apa boleh buat. Kita berencana, Allah lah Maha
Penentunya. Pada akhirnya kami pasrah dan mengikuti saja kondisi yang ada.
Makan siang penuh keramahan
Akhirnya
kami tiba di bandara Auckland. Kelelahan mulai terasa. Transit yang cukup lama
(sekitar tiga jam) membuat perut dan mata seperti bedebat minta dimanjakan.
Kami memilih makan siang dengan menahan kantuk yang luar biasa. Mata saya
sesekali mengawasi para penumpang yang satu pesawat dengan kami. Kasihan
melihat anak-anak yang ikut di penerbangan tersebut. Kerewelan khas anak-anak
tidak bisa dihindari. Ada yang menangis, ada yang merengek-rengek menunjukkan
rasa lelah dan bosan mereka. Saya yang juga lelah jadi terlupa untuk mengambil foto saat di bandara ini.
Di
tengah situasi yang tidak nyaman itu, ada satu hal yang mulai menyentuh hati
saya. Setiap kali duduk berdekatan dengan mereka yang mengaku tinggal di
Selandia Baru, selalu saja ada kehangatan dan keramahan di awal. Sapaan “Hi” berkali-kali saya terima sebagai
sinyal bersahabat. Terlebih saat saya dan suami menikmati makan siang di area foodcourt bandara, saya duduk di sebelah
meja dua perempuan separuh baya.
“Ough! Sorry Madam. My old hand
wanna say hello with your skirt. Hahaha,” ujarnya mengekspresikan rasa
sungkan karena tangannya tidak sengaja menjepit pinggiran rok saya.
Keramahan
itu tentu saya respon dengan sikap yang tak kalah ramah. Ia bertanya dari mana
kami berasal. Ia mengira kami dari Malaysia. Begitu saya sebut Indonesia, mata
tuanya berbinar, lalu berkata, “Wow! Indonesia…!” Lalu ia bilang kalau sudah
pernah berkunjung ke Indonesia. Meskipun ia hanya menyebut Bali, saya tetap
menghargai penilaiannya terhadap negara saya. Minimal, kata indah untuk
Indonesia lumayan terwakili oleh Pulau Dewata itu.
Saya
sengaja tidak meneruskan untuk mengenalkan keindahan alam dari gugusan
pulau-pulau yang terhampar di bumi pertiwi tanah negeri saya. Sebab, rasa nyeri
di sudut perut saya mulai tidak bisa diajak kompromi. Begitu suami saya selesai
memesan dan membawa makanan, saya beri sinyal meminta izin kepada wanita yang
wajahnya diwarnai oleh “full smile”
itu. Saya biarkan ia menggangguk-angguk dalam senyumnya. Kami kembali menikmati
pesanan makan siang kami masing-masing.
Ketegangan belum usai
Tibalah waktu untuk penerbangan menuju bandara Wellington. Wajah-wajah penumpang yang tadinya lelah,
terlihat sedikit lebih segar. Tidak dengan saya dan suami. Justru kami mulai diserang
rasa kantuk yang luar biasa. Kami memilih menonton film. Siapa tahu, kantuknya
hilang. Namun ternyata justru kami berdua tidak sadar kalau film sudah bergerak
ke durasi yang hampir menyelesaikan alur cerita. Hahaha ….
“Semoga pendaratan kali ini aman ya,”
gumam saya tiba-tiba saat terbangun.
“Berdoa saja,” ujar suami lagi-lagi
menenangkan.
Hingga sampai pada menit-menit menuju
pendaratan, ketegangan kembali menyerang. Saya tidak paham mengapa area permukaan laut menuju landasan bandara Wellington itu dua kali diterpa angin kencang yang membuat pesawat kami kesulitan mendarat.
Saya kembali melirik penumpang di sebelah kami. Sangat berbeda. Wajah mereka berubah ikut tegang. Tidak ada lagi obrolan dengan istrinya yang duduk persis di tepi jendela pesawat. Tangannya membuat gerakan seperti yang dilakukan umat Nasrani. Saya tahu bahwa mereka sedang meminta kekuatan agar bisa lebih tenang merasakan guncangan pesawat.
Saya kembali melirik penumpang di sebelah kami. Sangat berbeda. Wajah mereka berubah ikut tegang. Tidak ada lagi obrolan dengan istrinya yang duduk persis di tepi jendela pesawat. Tangannya membuat gerakan seperti yang dilakukan umat Nasrani. Saya tahu bahwa mereka sedang meminta kekuatan agar bisa lebih tenang merasakan guncangan pesawat.
Kali ini, suami saya juga ikut
tegang. Itu terbukti dari kencangnya genggaman yang ia lakukan pada jemari
saya. Tidak ada percakapan setelah itu. Kami sama-sama memohon kepada Allah untuk
memberi keselamatan. Doa saya mungkin lebih spesifik, sebab tidak ada ilmu dan
ketangguhan yang mampu melebihi ilmu Allah, termasuk ilmu pilot pesawat itu. Itulah yang saya panjatkan. Agar
pesawat yang kami tumpangi dan sudah berputar sekian menit lamanya di atas permukaan
laut melawan kuatnya terpaan angin, diberi kemudahan oleh Allah untuk segera
mendarat.
“Yaaay
…! Yeee …!” seruan dari ekspresi rasa
lega anak-anak dan para penumpang akhirnya memenuhi pesawat ketika rodanya
berhasil menyentuh permukaan landasan bandara.
“Allahu Akbar! Alhamdulillah …,”
bisik saya dan suami bersamaan.
Sungguh! Awal perjalanan yang diwarnai
alur pembukaan, isi dengan klimaks serta ending
anti klimaks yang bikin saya seperti menorehkan kisah drama. Padahal ini fakta
dari catatan travelling kami menuju
New Zealand, negeri yang baru pertama kali kami singgahi. Kisah di akhir yang
menegangkan itu pun akhirnya mengantarkan kami menginjakkan kaki di bandara
Wellington, New Zealand.
Cerita selanjutnya, tunggu di judul
berikutnya ya. Jangan bete dan sabarlah menunggu. Setelah ini, in shaa Allah, foto akan lebih banyak. Hehehe … see you!