Hujan deras yang
tiba-tiba mengguyur area Hobbiton, membuat durasi waktu yang kami jadwalkan bergeser
beberapa jam. Walaupun sebenarnya belum hilang rasa keterpanaan kami melihat
keunikan kampung para Hobbit ini. Perjalanan harus segera dilanjutkan menuju
destinasi berikutnya.
Dari kampung Hobbit, The Shire, Hobbiton Movie Set,
kami kembali melanjutkan perjalanan dengan menyetir mobil sewaan menuju kota
berikutnya. Peta penunjuk jalan (GPS) mengatakan bahwa jarak tempuh yang harus
kami lalui adalah 412 Kilometer atau sekitar 5 jam 20 menit lagi. Saat itu
waktu di sekitar area Hobbiton menunjukkan pukul dua siang. Sudah pasti kami
akan tiba malam hari di kota berikutnya.
“Siapkan
stamina lagi!” seru suami saya sengaja agar kami berdua tetap bersemangat untuk
bergantian menyetir.
Bismillah … perjalanan selanjutnya pun dimulai.
Tiba di Art Deco Napier |
Udara
siang menjelang sore yang baru saja diguyur hujan, membuat hati ikut sendu.
Kami kembali menikmati pemandangan yang dilewati dengan selingan obrolan tentang
banyak hal. Yang bikin hati saya damai haru, saat suami berkhayal tentang hari
tua kami kelak ketika kedua anak kami benar-benar bermukim di kota yang jauh.
Atau mereka memilih untuk menetap di luar negeri.
Suami saya pun berangan-angan untuk pindah dan
tinggal di dekat mereka sambil membuka warung kopi. New Zealand termasuk salah
satu negara impiannya. Saya tidak banyak menanggapi, hanya mengaminkan saja
sambil menahan senyum membayangkan warung kopi seperti apa yang sedang
dibayangkannya. Sementara mobil kami terus melaju melewati alam yang selalu
damai untuk dipandang.
Tiba di Art Deco Napier
Perjalanan kami hampir berakhir di New Zealand. Suami
saya memilihkan Napier sebagai destinasi penutup sebelum kembali ke Wellington.
Napier yang dalam Bahasa Maori disebut Ahuriri adalah sebuah kota pelabuhan
yang terletak di Hawke's Bay, pantai Timur Pulau Utara, Selandia Baru. Napier
merupakan daerah metropolitan terbesar kelima di Selandia Baru. Napier juga
tersohor dengan penghasil anggur merah. Sementara Hawke’s Bay merupakan tempat
yang menjadi satu koloni Gannet, burung laut yang putih besar dengan kepala kekuningan, ujung sayapnya hitam, dan paruh yang panjang.
Pada
tahun 1931, bencana nasional gempa bumi berskala 7,9 Richter pernah terjadi dan
mengguncang Hawke's Bay di Napier. Menyusul kebakaran besar menimpa kota ini.
Bencana ini mengakibatkan Napier menjadi salah satu kota Art Deco yang termurni
di dunia. Art Deco sendiri adalah gaya hias yang lahir setelah Perang Dunia I
dan berakhir sebelum Perang Dunia II.
Tidak menunggu lama setelah bencana melanda. Pembangunan
kembali dimulai. Sebagian besar dirampungkan dalam dua tahun. Berdirilah
bangunan-bangunan baru yang mencerminkan gaya arsitektur pada masa itu. Seperti
Stripped Classical, Spanish Mission, dan Art Deco. Motif-motif suku Maori juga
direkatkan demi memberikan karakter Selandia Baru untuk kota itu. Intinya,
arsitektur era 1930-an yang dilestarikan dengan sangat indah menjadi kekhasan
istimewa Napier.
Senja dan kelelahan yang sempurna akhirnya membawa
kami tiba di kota Napier. Karena belum menemukan area parkir hotel tempat kami
menginap, suami saya memilih tempat parkir umur di tepi jalan. Suami saya
memasukkan beberapa koin untuk durasi parkir yang kami pakai.
Sambutan
ramah resepsionis Art Deco Masonic Hotel membuat rasa lelah kami sedikit berkurang.
Setelah memastikan semua reservasi yang sudah dilakukan suami saya sebelumnya,
pria bertubuh jangkung itu memberitahu kami agar memarkirkan mobil di area
parkir milik hotel mereka. “Di sana Anda bisa gratis memarkirkan mobil selama
Anda menginap di hotel kami,” ujarnya sedikit bercanda.
Setelah
urusan check in hotel selesai, kami kembali mengambil mobil untuk
dipindahkan ke parkiran hotel tersebut. Untuk kembali ke hotel, kami harus
berjalan sekitar 500 meter sambil menarik koper. Sampai di kamar hotel, saya serta
suami tidak ingin membandingkan dengan kamar-kamar hotel dan penginapan yang
kami sewa sebelumnya. Kota ini termasuk mahal karena memang dijuluki kota
makmur di Selandia Baru. Untuk kamar hotel sederhana ini saja, kami harus merogoh
kocek yang tidak sedikit. Yang penting bersih dan nyaman serta bisa terlelap
melepas lelah.
Bebersih sebentar, perut pun menuntut untuk diisi.
Suami mengajak saya keluar untuk mencari makanan halal. Tentu saja hari sudah
gelap. Tidak banyak yang bisa kami nikmati lagi. Hanya ingin mencari restoran
yang menjual makanan halal. Alhamdulillah, kami menemukan satu restoran Turki
yang masih buka hingga jam sembilan malam.
Selagi suami memesan menu, saya ambil kesempatan
memoto buku menu dan dekorasi interior restoran tersebut. Iseng yang membawa
untung. Fotonya bisa saya simpan untuk melengkapi catatan ini. Hehehe ….
Kami kembali ke hotel. Ternyata di luar pintu kamar
kami ada balkonnya. Di situ ada beberapa kursi yang disediakan untuk tamu yang
menginap. Kami pun menikmati santap malam sambil menghirup udara di atas balkon
hotel sambil memandang Hawkes Bay di remang-remang cahaya lampu kota itu.
Malam itu hanya kami nikmati dengan makan malam di balkon hotel. Rasa kantuk
dan lelah tidak bisa diajak kompromi. Tidur adalah pilihan pamungkas untuk
menutup malam di Napier.
Singkatnya waktu untuk Napier yang indah
Bangun pagi, tubuh sudah segar kembali. Sebelum
memutuskan untuk keluar hotel, kami merapikan isi koper terlebih dahulu. Sebab
waktu kami untuk New Zealand semakin sempit. Inginnya saat tiba di Wellington,
urusan merapikan koper tidak menjadi urutan pertama dan menyita tenaga serta
waktu lagi.
Omeletenya segede gaban 😅 |
Sarapan |
Kami
mendapat jatah sarapan. Setelah rapi, kami memutuskan untuk mengambil jatah itu
di restoran hotelnya. Saya memilih omelet berisi sayuran yang katanya halal.
Sementara suami saya memilih roti gandum dengan olesan nutella dilengkapi
secangkir kopi khas Napier.
Sesungguhnya
Napier sangat indah untuk dijelajahi. Pusat kota Napier dengan bagunan-bangunnya
yang berarsitektur 1930-an patut untuk dinikmati sepanjang hari dengan berjalan
kaki. Cukup membawa peta, kita bisa menelusuri sudut-sudut kotanya dengan
nyaman. Belum lagi perkebunan anggur yang tersebar di pingiran kotanya. Namun
sayang, kami selalu tidak punya waktu untuk menikmati semua keindahan itu. Semua
berpulang kepada komitmen kami yang sejak awal hanya ingin menguji stamina
untuk menikmati alam New Zealand lewat perjalanan dengan menyetir mobil. Durasi
waktu menjadi taruhannya untuk jangka waktu cuti yang diambil suami.
Gedungnya dekat parkiran persis |
Humm ..... |
The Sound Shell and New Napier Arch |
Bagian dari dermaga Hawkes Bay |
Demi
memanfaatkan waktu sebelum check out, suami mengajak saya berjalan
mengitari beberapa lokasi yang bisa kami jangkau tanpa harus menghabiskan waktu
menginap kami di hotel Art Deco Masonic. Lumayanlah, ada beberapa objek yang
menjadi ikon kota Napier yang bisa kami abadikan.
Monumen Lord Plunket, Gubernur di 1906 |
The Dome Art Deco |
Kami
masih sempat menikmati sisi pantai yang merupakan ujung dari lokasi pelabuhan
kota itu. Bertemu dengan beberapa pejalan kaki dan orang-orang yang sedang lari
pagi. Sapaan mereka kembali mengingatkan saya bahwa penduduk Selandia Baru ini
memang cukup ramah dan murah senyum.
Seandainya
kami masih punya waktu semalam lagi, saya ingin mengajak suami melihat
kebun-kebun anggur itu. Sayang sekali, kami harus melanjutkan perjalanan ke
Wellington agar esoknya tidak ketinggalan pesawat menuju Jakarta. “Selamat
tinggal Napier! Tunggu kedatangan kami kembali bersama anak-anak, in shaa Allah
kalau ada rezeki ya,” bisik saya disambut senyum oleh suami.
Kembali ke Wellington lalu pulang ke Jakarta
Saatnya untuk check out dari hotel. Ketika
itu jam 11 siang waktu Napier. Setelah semua urusan administrasi selesai, kami
menggeret koper lagi menuju parkir. Suami saya kembali mengambil alih menyetir.
GPS pun diaktifkan. Kami harus menempuh jarak 327 km, 4 jam, 16 menit lagi dari
Napier menuju Wellington.
Menuju Wellington |
Rute kali ini adalah perjalanan terakhir kami
dengan menyetir mobil di negeri Kiwi. Kami bergerak dari kota Napier sekitar jam
12 siang. Kalau tidak mampir-mampir lagi, diperkirakan kami akan tiba di
Wellington sekitar jam setengah lima sore. Saya berharap jika tiba di ibu kota
Selandia Baru itu, kami masih bisa menghabiskan waktu terakhir sambil menikmati
sudut kotanya.
Wellington merupakan kota yang masuk dalam kawasan pasifik,
memiliki banyak lokasi indah dan menarik untuk dikunjungi oleh turis. Kota ini
juga merupakan rumah bagi pusat produksi dan fasilitas efek khusus kelas dunia
serta beberapa pembuat film yang berbakat.
Selain itu, Wellington juga dikenal sebagai ibu
kota Selandia Baru yang memiliki beberapa kopi terbaik di dunia. Kota ini juga
merupakan daerah urban terbesar kedua di New Zealand yang menjadi ibu kota
nasional terpadat di Oseania. Sebelum terbang menuju NZ, saya sempat membaca
bahwa di Wellington ada museum nasional bernama Te Papa. Di museum itu
tempatnya jika ingin mengenal Selandia Baru secara lebih jauh. Museumnya
gratis.
Harapan saya sepertinya kembali kandas. Begitu
sampai di Wellington, kami disambut hujan yang lumayan deras. Namun saya masih
juga berharap hujannya tidak berlama-lama mengguyur kota itu. Agar setelah check
in di Intercontinental Wellington Hotel, kami masih bisa sekejap menyesap
aroma udara kotanya.
Hujannya bikin mager 😌 |
Lelah dan keinginan beradu kuat setelah kami tiba
di kamar yang lumayan mewah. Tarikan magnet untuk beristirahat jauh lebih kuat.
Sementara masih ada sebagian isi koper yang belum dirapikan karena beberapa
belanjaan untuk oleh-oleh yang bertambah. Betul! Ternyata godaan untuk tidak
mampir selama menempuh perjalanan dari Napier ke Wellington sulit dihalau.
Hehehe ….
Sambutan hangat di layar televisi kamar hotel 😚 |
Keesokan paginya, kami bersiap menuju bandara untuk
kembali menuju Jakarta. Tiba di Bandara Wellington, saat menunggu check in,
kami bertemu Smaug. Karakter naga merah yang luar biasa dari sekuel The Hobbit “The
Desolation of Smaug”. Walaupun sosok Smaug ini hanya patung biasa, namun saya
seperti ada ketakutan juga mendekatinya saat suami menyuruh saya berfoto
bersama naga merah itu. Hehehe … cemen ya.
Bersama Smaug 😀 |
Baidewei, Smaug yang luar biasa ini, katanya
dianggap sebagai yang terakhir dari naga-naga besar di dunia. Pihak bandara menaruhnya
sedemikian nyaman berada di Bandara Wellington. Smaug dengan ekspresi dinginnnya
sambil mengawasi para penumpang pesawat yang melakukan check in dengan
mata kuning tajamnya. Lumayanlah ada satu foto lagi untuk oleh-oleh
dokumentasi. Hahaha.
Well … akhir cerita, banyak pengalaman yang bisa kami ambil dari perjalanan
dengan mengemudi mobil selama di Selandia Baru ini. Semoga jika Allah memberi
kesempatan kami untuk mengulang perjalanan bersama anak-anak, kami akan
memperpanjang waktu kunjung agar keindahan alam Selandia Baru tidak hanya bisa
dinikmati di sepanjang sisi jalan.
Bye, New Zealand! |
Terima kasih bagi yang sudah setia mengikuti
catatan perjalanan kami ini. Semoga ada manfaat yang bisa diambil. Sampai jumpa
di catatan traveling berikutnya ya.
Salam! [Wylvera W.]
Note:
Catatan sebelumnya
1. New Zealand, Here We Come!
2. Dari Wellington Menuju Christchurch
3. 838 Kilometer Menuju Nelson – Whanganui
4. Keromantisan Whanganui dan Auckland
5. Bertandang ke Desa Hobbit
Note:
Catatan sebelumnya
1. New Zealand, Here We Come!
2. Dari Wellington Menuju Christchurch
3. 838 Kilometer Menuju Nelson – Whanganui
4. Keromantisan Whanganui dan Auckland
5. Bertandang ke Desa Hobbit