Silakan baca cerita sebelumnya
di sini
Kami masih di
Hotel Manofa, Amsterdam. Masih ada sekitar tiga jam lagi waktu untuk menempati
kamar di hotel itu. Si Kakak (sebutan pada putri sulung saya) mengajak untuk
melihat-lihat suasana di sekitar hotel.
|
Si Kakak |
|
Salah satu penampakan kanal di Amsterdam |
|
Bangunan bergaya gotic (seni abad pertengahan) |
Amsterdam pagi itu tidak seramai
sore sebelumnya saat kami tiba. Ibu kota Belanda itu masih seperti empat tahun
lalu saat saya dan suami berkunjung. Jaringan kanalnya yang panjang dan luas
masih eksis menyajikan “Amsterdam Canal Cruise”.
|
Gedung Madam Tussaud-nya Belanda |
|
Si Kakak fokus memotret |
Kami
mulai pagi dengan menikmati bangunan-bangunan khas bergaya gotic. Namun kali ini fokus kami bukan ingin menjelajah kota Amsterdam.
Maka, waktu yang sempit itu kami manfaatkan sekadar memotret apa yang terlihat.
Setelah puas membidik objek-objek yang ingin difoto, kami kembali ke hotel
untuk check out.
Menunggu
kereta menuju Leiden
Sebelum berangkat, suami saya sudah
memesankan penginapan untuk kami lewat aplikasi AirBnB. Lebih mudah dan kami
selalu mendapatkan penginapan yang nyaman dan homy banget. Kali ini kami
akan menginap di Hooigracht 67 Appartement E, Leiden, Zuid-Holland 2312 KP,
Belanda.
|
Stasiun Kereta Amsterdam |
Jarak tempuh dari stasiun Amsterdam ke
stasiun Leidan dengan naik kereta hanya sekitar setengah jam. Pemilik apartemen
akan menemui kami sekitar jam dua siang waktu Leiden. Saya dan si Kakak tidak
ingin terlalu cepat tiba di sana. Mengingat koper yang kami bawa lumayan berat,
maka kami harus tiba tepat waktu. Agar bisa langsung masuk ke apartemen dan terbebas
menarik-narik koper lagi.
|
Kalau mau top up kartu kereta ya di sini |
Sebelum memutuskan memilih jadwal
kereta, kami harus melakukan top up saldo kartu OV anonim. Saat di
bandara sehari sebelumnya, kami sempat ditawari jenis kartu OV ini oleh penjual
pulsa. Ia menjelaskan, lebih baik memilih yang versi anonim agar tidak terikat
nama. Bisa dipakai teman jika sudah tidak memerlukannya lagi. Saldo minimal
kartu OV anonim, 4 Euro untuk angkutan dalam kota (bus dan tram). Sementara
untuk kereta harus mengisi minimal 20 Euro. Untuk mengecek sisa saldo kartu
kita, ada mesin di setiap stasiun. Jadi tidak harus menebak-nebak. Gampang kan?
Hehe ….
|
Siap menuju Leiden |
Kembali
ke tujuan awal. Kami memilih jadwal keberangkatan kereta dari Amsterdam ke
Leiden di jam 12 siang dengan memperhitungkan bahwa kami akan menyambung naik
bus lagi menuju apartemen. Alhamdulillah, keretanya sudah ada. Kami kembali menarik
koper untuk mencari bangku kosong di dalam gerbong. Tidak terlalu banyak
penumpang. Jadi kami bisa meletakkan koper sedikit lebih leluasa. Si Kakak
malah memilih dua bangku untuknya. Kereta melaju dengan kecepatan sedang. Tidak
terlalu lama, kami pun tiba di stasiun Leiden.
Tiba
di kota Leiden
Pada
abad ke-17, Leiden merupakan salah satu kota terpenting dan terkaya di Belanda.
Letaknya berada di antara Amsterdam dan Den Haag. Saat browsing, dugaan
saya tidak meleset. Kota ini tidak terlalu luas. Yang membuatnya menjadi ramai,
salah satunya adalah Universitas Leiden (Universiteit Leiden) yang cukup
ternama. Universitas Leiden sudah ada
sejak tahun 1575 dan merupakan universitas tertua di Belanda.
Begitu
memasuki kotanya, saya langsung merasakan atmosfir historis masa lalu. Kota ini
menjadi rumah bagi para pelukis ternama zaman dahulu. Salah satu yang cukup
terkenal adalah Rembrandt. Mata saya dan si Kakak langsung dimanjakan oleh
kanal, museum, dan kafe-kafe yang sempat kami lihat dari balik kaca bus.
Karena
baru pertama berkunjung ke kota ini, kami tidak bisa tepat memilih halte
pemberhentian yang lebih dekat dengan alamat apartemen. Dengan wajah lesu kami
harus rela kembali menarik tiga koper di trotoar jalan. Dengan panduan penunjuk
arah di hape si Kakak, kami harus sabar berjalan sambil diringi oleh suara
gesekan roda koper dan aspal jalanan. Untungnya, tidak ada yang peduli dengan
suara berisik dari roda koper kami. Hahaha ….
Dengan
kesabaran level dewi-dewi tingkat tinggi, akhirnya kami menemukan alamat
apartemen itu. Sudah lewat dari jam dua siang. Pemilik apartemen mungkin sudah
pergi. Kami harus meneleponnya kembali. Sepuluh menit kemudian, laki-laki
bernama Gertjan itu pun muncul. Sedikit terburu-buru ia memberikan kunci kepada
kami. Ia minta maaf karena tidak bisa menemani sampai ke dalam apartemen. Di
mobil yang di parkir di tepi jalan itu, anak bayinya sedang tertidur. Ia harus
segera kembali ke mobil setelah memberi penjelasan tentang fasilitas yang
tersedia di dalam apartemen miliknya itu.
“Ya
Allah … belum berakhir juga ternyata penderitaan kita dengan koper-koper ini,”
ujar si Kakak dengan roman muka yang enggak banget.
|
Meja makannya |
|
Dapur yang bersih dan lengkap |
|
Kamar di lantai 2 ini modelnya unik |
Saya
tidak bisa berkomentar lagi. Beberapa anak tangga menuju kamar apartemen harus
segera kami taklukkan sambil mengangkat koper-koper yang aduhai beratnya itu.
Begitu membuka pintunya, hati kami langsung terobati. Apartemennya lumayan luas
dan bersih. Ada dua lantai. Ruang bawah adalah ruang santai, meja makan dan
dapur yang lengkap dengan perlengkapan memasak. Sementara kamar tidurnya ada di
lantai berikutnya.
|
Tangga menuju kamar |
|
Sudut kamar yang tenang |
|
Kamar mandi di dalam kamar pun bersih |
Setelah
merapikan koper dan isinya, kami memilih istirahat sejenak. Sambil istirahat,
si Kakak kembali mengatur jadwal.
Mencari
alamat kostan
Tenaga kami sudah pulih. Cuaca di
luar juga masih cerah. Penghujung kemarau memang selalu pas untuk melakukan
traveling. Selain cuacanya mendukung, durasi waktunya pun lebih panjang. Kami
memutuskan untuk mencari alamat tempat kost si Kakak. Nanti, di sanalah ia akan
menetap sementara selama enam bulan ke depan.
|
Menyusuri gang perumahan yang tenang |
Leiden dengan jumlah penduduk
sekitar 150.000 jiwa sangat pas dengan luas kotanya. Jika tidak manja, berjalan
kaki saja sudah cukup puas untuk menjelajah sudut-sudut kotanya. Dari
apartemen, kami hanya perlu mengeluarkan energi untuk jarak tempuh sekitar 1,2
Kilometer. Kali ini tanpa koper tentunya. Saya mulai suka dengan kota kecil
yang tenang ini. Mata kami selalu dimanja oleh bentangan kanal-kanal yang tidak
tahu ujung dan pangkalnya bermula. Cantik! Itu saja yang sempat saya ucapkan.
|
Di sini si Kakak ngekost |
Tempat kost itu pun akhirnya kami
temukan. Letaknya di pinggir jalan. Sedikit jauh dari keriuhan area kampus.
Namun berjalan kaki sekitar 1,6 km dengan udara segar kota Leiden, in shaa
Allah tidak membuat si Kakak lelah dan bosan. Kami belum bisa masuk karena
perjanjian penyerahan kunci masih menunggu esok harinya.
Menelusuri
kota Leiden
Dari tempat kost, kami melanjutkan
berjalan kaki untuk menemukan lokasi kampus. Melewati pusat kota, semakin
banyak orang yang menikmati waktu petang dengan menyesap kopi atau bahkan
menikmati menu-menu favorit mereka. Kami tidak bisa bergabung di kafe-kafe itu
karena belum menemukan label halalnya. Hehehe ….
|
Menyusuri kanal-kanal bersih ini bikin hati tenang |
|
Semakin sore bertambah ramai saja |
Tadaaa …!
Kami sudah sampai di area
Universitas Leiden. Ketika si Kakak memilih Universitas Leiden untuk program
Student Exchange jurusan Hukum Universitas Indonesia Kelas Internasional, tentu
saya sangat senang. Ternyata pilihan si Kakak tidak salah. Leiden bukan kota
yang asing bagi masyarakat Indonesia. Terlebih buat mereka yang masih hidup dan
menjadi saksi sejarah. Banyak hal yang bisa ditelusuri di kota ini jika si
Kakak ingin lebih jauh mengenal kota Leiden.
|
Area kampus |
Kalau
dari cuplikan sejarahnya, kekuasaan Belanda atas Indonesia selama tiga setengah
abad, telah memberi ikatan kuat antara Indonesia dan Belanda. Sementara Leiden
merupakan salah satu kota di Belanda yang menyimpan beberapa catatan sejarah
yang masih dikenang sampai sekarang. Leiden menjadi saksi sejarah lahirnya
organisasi Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging, 1908) yang diprakarsai
oleh para pelajar Indonesia yang pada masa itu mengambil studi di Belanda. Organisasi
inilah yang banyak melakukan gerakan perlawanan atas pendudukan Belanda di
Indonesia pada masa itu. Lalu pergerakan ini banyak mendapat perhatian dari
dunia Internasional. Dan masih banyak lagi kepingan sejarah terkait Indonesia yang diabadikan di
kota Leiden ini.
|
Hortus Botanicus Leiden |
Sebut
saja Ali Sastromidjojo, Nazir Pamoentjak, dan Sutan Sjahrir, tiga tokoh pendiri
pergerakan kemerdekaan Indonesia. Yang senang membaca sejarah Indonesia, pasti
akrab dengan nama-nama ini. Mereka dulu kuliah di jurusan yang sama dengan
putri sulung saya. Fakultas Hukum Universitas Leiden. Selain itu, nama besar
yang pernah menjadi wakil kepala negeri ini, Mohammad Hatta juga sempat kuliah
di Universitas Leiden. Namun akhirnya beliau pindah ke Economische
Hogeschool yang sekarang dikenal dengan Universitas Erasmus di Rotterdam.
|
Museum Volkenkunde |
Silakan
telusuri rekam jejak serta catatan sejarah Indonesia yang tersimpan rapi di
Leiden. Salah satu museum yang terkenal adalah Museum Volkenkunde yang memiliki
ruang koleksi khusus tentang Indonesia. Kami belum sempat masuk, Hanya melihat-lihat
bangunannya saja dari luar.
Ada
hal yang menarik perhatian saya dan si Kakak. Katanya di dinding-dinding tembok
bangunan kota Leiden ada terpajang dan tersebar 107 puisi dengan 30 bahasa berbeda yang
ditulis dengan abjad aslinya. Proyek penulisan puisi itu diinisiasi oleh
Yayasan Tegen – Beeld dengan dukungan pemerintah kota Leiden beserta
masyarakatnya sendiri. Sip! Nanti akan kita cari puisi itu.
Mengisi
hari di Leiden
Letak apartemen yang kami sewa dekat
dengan supermarket. Albert Heijn namanya. Supermarket ini merupakan salah satu tempat
belanja yang terbaik di Leiden. Lumayan lengkap dan harganya tidak terlalu
mahal. Maka setelah menikmati sarapan pagi dengan roti dan selai cokelat, kami memutuskan
kembali ke Albert Heijn untuk membeli segala kebutuhan anak kost yang belum dilengkapi.
|
Tempat kami mencari camilan ringan tanpa harus khawatir dengan label halal |
Di
hari kedua, kami tidak bisa pergi jauh-jauh. Ada janji penyerahan kunci tempat
kost di jam sebelas. Setelah merapikan barang belanjaan, kami bersiap kembali
ke tempat kost untuk menerima kunci dari agennya. Tidak lama menunggu, perempuan
cantik bernama Cyntia itu muncul dan menyapa kami dengan salam hangat. Ia
membuka pintu utama kostan itu lalu mengajak kami menuju kamar yang akan
ditempati si Kakak.
|
Ini kamar kost si Kakak beserta kondisi di dalamnya |
|
Model kamarnya unik |
|
Ada balkon di depan pintu kamar kostnya |
|
Dapur mini |
Ampuuun
… lagi-lagi tangga! Perut saya langsung sesak melihat anak tangga menuju lantai tiga. Kembali
terbayang perjuangan yang akan kami lakukan untuk membawa dua koper si Kakak ke
lantai ini. Pasrah…! Setelah tekun menyimak semua penjelasan tentang aturan
penyewaan, kami tidak buru-buru memutuskan untuk mengambil koper-koper itu. Kami
memilih melanjutkan eksplorasi di kota Leiden.
|
Jembatan cantik dekat Molen De Put |
|
Kincir angin - Molen De Put
|
Dari
informasi teman saya yang pernah mengambil program S2 di Leiden, kami pun
mencoba menemukan tempat-tempat yang beliau sebutkan. Salah satunya adalah
Molen De Put. Kincir angin yang klasik dan terletak di tepi kanal dengan
jembatan yang menawan. Dekat lokasi kincir angin ini kami juga menemukan
semacam tugu untuk mengenang pelukis Rembrandt. Meskipun saya tidak begitu mengenal sejarah tentang pelukis ini, saya sempatkan berfoto juga dengannya dan beragam objek foto di area
ini.
|
Bersama patung Rembrandt |
Kami juga mampir di Molen de Valk,
yang dikenal dengan sebutan “The Falcon”. Sebuah kincir angin yang dibangun pada
tahun 1785. Molen de Valk merupakan salah satu situs paling terkenal di kota
Leiden. Lokasinya tidak jauh dari Stasiun Central Leiden. Kincir angin ini akan
selalu dilewati saat perjalanan menuju kota Leiden. Kincir angin ini diubah
menjadi museum kota pada tahun 1966. Di dalamnya banyak tersimpan benda-benda
yang digunakan dalam proses penggilingan serta alat dan catatan dari pemilik
terakhir kincir angin tersebut.
|
Molen de Valk |
Tanpa sadar, waktu di jam tangan
saya sudah hampir jam delapan malam. Namun jam delapan malam saja langit masih
cerah dan orang-orang ramai menikmati kopi serta camilan di kafe-kafe yang
tersebar di sepanjang pinggiran kanal. Kami habiskan sisa hari yang masih
terang dengan menyusuri kanal Leiden. Lalu mampir kembali ke Albert Heijn untuk
membeli makan malam buat berdua.
|
Salad is our favourite menu |
Hari
selanjutnya kami masih belum selesai mengelilingi Leiden. Teringat kembali
tentang 107 puisi yang bertebaran di kota Leiden. Sebagai orang Indonesia yang senang
menulis (semoga bisa diartikan ada hubungannya dengan puisi ya … hehehe), kami
sangat penasaran untuk menemukan karya bangsa sendiri. Sebab dari 107 puisi
yang tersebar itu, ada 3 puisi karya sastrawan Indonesia. Dari 3 puisi itu, 1
puisi tentu sangat kami kenal dan di zaman sekolah dulu, saya pun pernah
membacakannya di depan kelas. Ya! Puisi berjudul “Aku” karya Chairil Anwar
(1922 – 1949).
|
Di sini puisi "AKU" nya |
Kami
pun sibuk menjelajah dan mencari puisi-puisi itu. Hingga akhirnya kami
menemukan puisi “Aku” yang terselip di salah satu tembok rumah penduduk. Puisi
itu ditulis pada tanggal 17 Agustus 1995 untuk memperingati 50 tahun
kemerdekaan Indonsesia. Posisi puisi melekat di tembok rumah yang beralamat di
Keernstraat 17a. Puisi “Aku” ini menggambarkan perlawanan atas pendudukan
Jepang dan Belanda pada masa itu.
Horeee
…! Bapak Datang!
Di cerita saya sebelumnya, saya mengatakan
bahwa suami saya akan menyusul. Alhamdulillah, hari ke-5 adalah hari
kedatangannya ke Leiden. Kami bersiap untuk menjemput si Bapak di stasiun Leiden.
Si Kakak bertanbah semangat karena bapaknya (penyandang dana) akan tiba.
Begitu bertemu, si Kakak langsung nyerocos tentang Leiden dan hari-hari yang
kami lakukan sebelum si Bapak datang.
Berlagak seperti pemandu wisata,
kami pun membawa si Bapak naik bus menuju apartemen. Lalu mempersilakannya
istirahat demi membayar waktu kurang tidur selama perjalanan dari Jakarta – Leiden.
Ternyata tidak bisa berlama-lama tidur, suami saya merasa lapar.
|
Menyusuri pertokoan dan kafe |
Kami mengajak si Bapak ke restoran
milik orang Indonesia yang menyajikan menu khas tanah air. Restoran Bungamas
namanya. Pemiliknya ramah, pelayanannya juga cepat dan menyenangkan. Masalah harga juga relatif murah.
Pemilik resto menyebutnya harga student.
|
Seperti memilih di warung makan dekat rumah sendiri kan? |
|
Restonya sederhana tapi menunya komplit |
Kami menyantap hidangan yang kami
pilih dengan lahap. Seperti makan di rumah saja rasanya. Selepas itu, kami mengajak
si Bapak berkeliling di pusat keramaian kota Leiden. Sampai lewat sore hari, si
Bapak mengajak kami untuk menikmati udara di tepi kanal sambil menyesap kopi.
Untuk cerita Leiden, sampai di sini dulu
ya. Tunggu lanjutan perjalanan kami berikutnya sebelum saya dan suami
meninggalkan si Kakak di kota itu. [Wylvera W.]
Seru ceritanya... smg nanti bisa anter kak saski ke luar neg jg untuk sekolah ��
BalasHapusYa Allah ... aku lama responnya ini. Iya ikut bantu doa, Chen. :)
HapusWah mau kuliah di Leiden kakak ya, selamat. Itu kos-kosannya beda banget dengan di sini 😅. Belanda cantik banget ya, makanya jadi salah satu negara impian yang ingin saya kunjungi
BalasHapusMaaf, telat banget ini replynya.
HapusIya sudah hampir satu semester si Kakak di sana. Leiden juga cantik dan diwarnai dengan kanal-kanal yang menawan. :)