Entah sudah berapa kali saya membaca
cerita-cerita tentang masyarakat Baduy. Namun baru kemarin muncul keinginan
kuat untuk melihat secara langsung. Kata orang Melayu “pucuk dicinta ulam pun
tiba.”
Selain itu, sudah beberapa bulan
terakhir ini saya rutin mengikuti kelas tahsin di rumah kakak kelas saya. Jarak
Bekasi – Serpong tidak menjadi halangan bagi saya. Seperti kata suami, “Dirimu
mendapat bonus pahala sekaligus lho. Pertama, ikhlas mengantar dan menjemput
aku ke dan dari kantor. Kedua, semangat menempuh jarak yang lumayan macet dari
Bekasi – Jakarta – BSD.” Saya tersenyum mengaminkannya. Semoga apa yang
dikatakan suami saya itu menjadi doa. Aamiin.
Siang itu setelah pulang dari
tahsin, ada pesan masuk di HP saya. Kak Endang (nama kakak kelas saya yang
rumahnya rutin dijadikan tempat kami mengaji), menanyakan tentang buku-buku
saya. Katanya ia dan anggota (ummahat) masjid ingin mengisi Taman Bacaan di
Kampung Mualaf Baduy dengan buku-buku bacaan Islami. Saya pun mendadak sibuk
mengumpulkan setiap judul buku saya yang masih beredar. Beberapa eksemplar dari
buku-buku karya saya dan satu teman penulis pun terpilih untuk disumbangkan.
Setelah itu, obsesi saya ingin berkunjung ke pemukiman suku Baduy pun semakin kuat
tak tertahankan.
Dari interaksi saat tahsin, saya
mendapat informasi bahwa para Ummahat Masjid Al Aqsha Delatinos akan melakukan
kunjungan untuk kedua kalinya ke sana. Mereka sudah sering melakukan bakti
sosial. Dan kunjungan yang merupakan salah satu program bakti sosial ini sangat
pas dengan keinginan saya. Mereka ingin menyumbang buku-buku (pelajaran dan
fiksi) baik untuk dewasa, remaja maupun anak-anak. Buku saya ada bersama buku-buku lainnya.
Akhirnya saya pun nekat menawarkan diri untuk ikut.
Sayangnya, seat sudah penuh.
Sedih banget rasanya. Untung masih ada harapan. Sambil menunggu daftar waiting
list anggota yang akan ikut rombongan bakti sosial, saya terus berharap agar
bisa mendapatkan kesempatan. Qadarullah … satu peserta akhirnya
membatalkan diri. Maka saya lah yang menggantikan untuk menempati seat-nya
di dalam bis. Senangnyaaa! Mimpi saya segera terkabul. Alhamdulillah.
Berangkat
menuju Kampung Landeuh
Setelah mendapat izin dari suami dan
menginap di rumah Kak Endang, keesokan paginya kami pun siap-siap berangkat. Selepas
Subuh, saya pun bergabung bersama 29 pengurus Ummahat Masjid Al Aqsha lainnya.
Tidak semuanya perempuan. Ada lima bapak yang ikut mendampingi perjalanan kami
menuju kampung Baduy.
Sebelum berangkat, sesi foto tentu
tidak dilewatkan. Saya yang baru pertama kali bergabung dengan mereka, mendapat
sambutan hangat. Kak Endang mengenalkan saya sebagai calon warga baru di
Delatinos. Aamiin … semoga semakin dipercepat ya kepindahannya. Hehehe ….
Sekitar empat jam durasi yang kami
habiskan untuk menuju perkampungan Baduy Islam itu. Satu hal yang membuat saya
nyaman. Saya seolah sudah menjadi bagian dari Ummahat Al Aqsha saja. Mereka
sangat ramah dan sama sekali tidak membuat saya merasa asing dan canggung
selama di perjalanan. Alhamdulillah … sesungguhnya berkumpul dengan hamba-hamba
Allah yang soleh dan soleha itu menjadi sebuah berkah.
Sekilas tentang masyarakat Baduy.
Katanya mereka ini sudah terpecah menjadi dua. Satu Baduy dalam, satunya lagi
Baduy luar. Begitu sebutan populernya. Suku Baduy atau orang Kanekes adalah
etnis masyarakat adat suku Banten yang tinggal di wilayah Kabupaten Lebak,
Banten. Yang disebut dengan istilah sebagai suku Baduy dalam adalah mereka yang
masih mengisolasi diri dari dunia luar. Pemukiman mereka terletak di Gunung
Baduy Lebak, Banten.
Mereka
(suku Baduy dalam) masih memegang kentalnya adat istiadat. Tidak boleh sekolah,
pelarangan menggunakan peralatan modern (seperti hape maupun alat elektronik
lainnya). Tidak boleh menggunakan alat transportasi, bahkan tidak boleh memakai
alas kaki. Mereka juga tidak akan bersedia difoto jika kita datang ke perkampungannya.
Berbeda jika saat mereka keluar dari lingkungannya. Urusan berfoto dengan
mereka masih diizinkan.
Satu
hal yang membuat mereka tetap bisa hidup rukun adalah masalah toleransi. Baduy
luar yang sebagian sudah memeluk Islam tetap bisa menjalin silaturahmi dengan
mereka yang masih memegang kepercayaan Sunda Wiwitan atau yang belum memiliki
agama sekalipun. Kuncinya, tidak saling intervensi atau memaksa satu sama
lainnya.
Hingga
saat ini, masyarakat Baduy yang sudah memeluk Islam jumlahnya bertambah terus.
Mereka sangat senang ketika ada yang memberikan tempat tinggal khusus untuk para
mualaf ini. Forum Masjid dan Mushola BSD (FMMB) dari Serpong, Tangerang
Selatan, telah mengalokasikan tempat tinggal bagi warga Baduy yang mualaf. Ke
lokasi itulah Ummahat Al Aqsha berkunjung untuk memberi santunan berupa
sembako, lemari buku beserta buku-bukunya, dan kipas angin untuk masjidnya.
Di dalam perjalanan, Kak Endang
sesekali bercerita tentang kegiatan senada yang sudah pernah mereka lakukan.
Diam-diam cerita itu membuat saya ingin sekali segera membaur dengan mereka.
Kunjungan ke masyarakat Baduy ini pun dalam rangka santunan lanjutan. Kali ini
mereka ingin mengajak para mualaf Baduy itu agar semakin kuat niatnya untuk
mempelajari Islam. Baik dari menyimak kajian-kajian secara langsung dari para
ulama atau ustadz, maupun lewat bahan bacaan.
Ide untuk menyumbang dan mengisi
Taman Bacaan di pemukiman mualaf Baduy menjadi salah satu prioritas para Ummahat Al
Aqsha. Saya terkagum-kagum melihat niat mulia itu. Saya mendadak merasa kecil
sekali saat menyimak semua yang sudah dilakukan para muslimah ini. Maka,
janganlah pernah merasa telah melakukan hal besar, sebab di luar sana masih
banyak hamba Allah yang telah berbuat hal positif yang lebih dahsyat dari
dirimu. Yang terpenting, teruslah menebar kebaikan.
Kembali
ke pemukiman mualaf Baduy ini. Seandianya jarak tidak sejauh itu dari tempat
tinggal saya, rasanya saya ingin sekali mengabdikan diri mengajarkan baca tulis
untuk anak-anak mualaf Baduy itu. Semoga niat tulus saya ada yang menggantikan,
seseorang atau siapa pun yang mampu dan tempat tinggalnya tidak terlalu jauh
dari perkampungan Mulaf Baduy itu. Aamiin ….
Disambut
irama musik marawis
Bis yang membawa
kami dari Perumahan D’Latinos pun akhirnya sampai di area perkampungan Landeuh.
Perempuan-perempuan muda suku Baduy yang rata-rata sudah mengenakan hijab,
sibuk menyambut kedatangan kami. Setelah saling sapa dan berfoto sebentar,
mereka meminta kami menaiki tangga masjid. Masjid tersebut juga merupakan
sumbangan dari donatur (saya lupa namanya).
Masjidnya bagus banget 😍 |
Begitu kami sampai di lantai masjid
yang dibangun dengan menggunakan kayu kelapa itu, suara gendang marawis pun
membuat hati saya terharu. Kami disambut sedemikian rupa. Sangat sederhana tapi
saya menangkap ketulusan yang luar biasa dari sorot mata mereka.
Bersama perempuan Baduy yang sudah menjadi mualaf |
Pak Khairul |
Setelah itu, kami dipersilakan duduk
untuk menyimak sambutan Pak Khairul (semoga tidak salah cara menuliskan
namanya). Pak Khairul ini adalah salah satu orang yang sudah berjuang untuk
membuat sebagian lahan di Landeuh menjadi tempat bermukim para mualaf suku
Baduy. Menyimak kisah dan latar belakang yang disampaikan Pak Khairul,
lagi-lagi saya merasa sangat kecil karena belum mampu memberikan sumbangsih
sebegitu besar.
Mengisi
Taman Bacaan dengan buku-buku Islami
Setelah acara sambutan selesai, saya
tak sabar ingin melihat pemukiman dengan bentuk rumah sederhana yang sama
modelnya. Dari lantai masjid yang desainnya dibuat terbuka, saya sudah memerhatikan
rumah-rumah beratap jerami itu.
Pemukiman Mualaf Baduy |
Buku-buku karya saya |
Lemari dan buku-buku yang dibawa pun
diangkut menuju salah satu rumah. Rumah itu lah yang akan dijadikan Taman Baca
bagi masyarakat mualaf Baduy. Memang buku-buku yang diberikan jumlahnya belum
maksimal dan belum memenuhi 4 lemari yang dibawa. Semoga dengan membaca tulisan
saya ini, teman-teman penulis ada tergerak untuk ikut menyumbangkan buku-buku
Islami yang masih layak baca. Aamiin.
Rumah Bacanya sudah rapi 😍 |
Satu per satu kerdus pun dibuka.
Buku-buku yang dibawa diletakkan dan disusun sesuai dengan pengelompokannya.
Ada buku-buku pelajaran dan buku-buku cerita. Dari salah satu warga, saya
sempat bertanya tentang kemampuan mereka membaca. Ternyata mereka belum bisa
membaca dan menulis dengan baik. Begitu juga dengan anak-anaknya. Ini juga
menjadi salah satu program yang sedang dilakukan oleh forum pembina keluarga
mualaf Baduy ini. Semoga ada yang terus
berdatangan dan bisa memberi perhatian lebih di bidang kemampuan baca tulis
ini. Untuk apa buku-buku yang dipajang di lemari itu jika mereka tidak bisa
membacanya. Minimal untuk anak-anak, ada yang mendampingi serta membantu
menyampaikan isi buku-buku cerita anak sesuai dengan usia mereka lewat story
telling atau atau mendongeng. Semua seolah berjejal di kepala saya saat
ikut membantu meletakkan buku-buku itu di lemari.
Salat
berjemaah dan makan siang beralas daun pisang
Setelah puas
melihat-lihat area pemukiman mualaf Baduy, saya juga menyempatkan melihat cara
menenun selendang. Alat menenunnya sangat sederhana tapi hasilnya lumayan
bagus. Untuk selendang/syal harganya pun tidak terlalu mahal. Sekitar 35 sampai
50 ribu. Namun untuk kain tenunnya berbeda-beda. Harganya ada yang 200 sampai
600 ribuan.
Teman-teman seperjalanan pun sibuk
memilih kain dan selendang tenun. Anak muda suku Baduy yang melayani para ibu
itu terlihat sumringah. Dagangannya laku keras. Saya juga tak mau ketinggalan. Kain
tenun berwarna kotak-kota hitam menjadi pilihan saya. Bukan hanya kain dan selendang tenun yang dijual di pemukiman itu. Ada madu dan gula merah juga.
Selain di lokasi pemukiman
mualaf Baduy ini, katanya variasi kain dan selendang tenun bisa dijumpai di perkampungan
Baduy dalam. Waktu tempuh ke lokasi itu sekitar setengah jam.
Madunya asli |
Tiba waktu Zuhur. Kami pun kembali
ke masjid untuk melakukan salat berjema’ah. Nikmatnya ketika ibadah utama ini
dilakukan secara berjema’ah. Saya merasakan nuansa yang khusyuk dan benar-benar
menyentuh kalbu.
Selesai salat, kami diajak kembali
ke pemukiman mereka untuk menikmati santap siang. Saya tersenyum melihat
hidangan makan siang yang sederhana beralaskan daun pisang. Para ummahat Al
Aqsha sudah siap duduk berhadapan untuk menyantap lauk pauk yang memancing selera
itu. Ada tahu tempe, ikan asin, rebus daun singkong dan sambal terasi serta
ayam goreng untuk yang membawa anak. Semua itu terlihat nikmat ketika disajikan
dengan nasi putih hangat.
Siap menyantap |
Tidak hanya lauk pauk yang
dihidangkan untuk kami. Masih ada buah yang menyusul setelah acara makan
bersama beralas daun pisang usai. Alamaaak … siang yang lumayan panas itu pun
berbaur dengan rasa kenyang dan menyenangkan.
Menyusuri
perkampungan Baduy
Perjalanan kami
belum usai. Dari pemukiman Mualaf Baduy, kami lanjutkan menuju lokasi
perkampungan suku Baduy yang masih hidup membaur antara pemeluk Islam dan Sunda
Wiwitan.
Begitu sampai, saya dan teman-teman
langsung memasuki area pemukiman mereka. Jalannya menanjak. Sebagian dari kami
membeli tongkat kayu yang dijajakan di pintu masuk. Tongkat kayu itu lumayan
membantu menopang berat badan saat melangkah menanjak. Sementara saya yang baru
pertama berkunjung, samasekali tidak terpikir untuk membelinya. Hahaha … sukseslah
kaki ini menahan beratnya beban hidup tubuh sendiri.
Sebagian dagangan masyarakat Baduy luar |
Jarak antar rumah mereka |
Jalanan menaik dan bebatuan |
Ternyata untuk mencapai perkampungan
Baduy dalam tidak semudah yang saya bayangkan. Butuh waktu 3 sampai 4 jam lagi.
Obsesi itu kami tunda. Cukuplah melihat-lihat tempat tinggal para Baduy luar
saja sambil berbelanja kain, madu dan cinderamata yang dijajakan di sepanjang
sisi kiri kanan jalan.
Sebelum menjadi kain tenun, benang-benang ini dipintal terlebih dahulu |
Yang paling membuat saya gembira
adalah saat melihat beberapa orang suku Baduy dalam yang hilir mudik di area
itu. Kesempatan untuk berfoto bersama mereka tentu tidak saya lewatkan. Sebab
jika di pemukiman mereka (Baduy dalam), kesempatan itu tidak akan mungkin saya
dapatkan.
Lagi-lagi saya menangkap rasa nyaman
dari cara mereka berinteraksi. Bersahaja, ramah, sopan, dan sedikit malu-malu.
Tidak ada terlihat sikap intoleransi atau sarkas saat menerima ajakan kami untuk
berkomunikasi. Walaupun tidak semua mereka fasih berbahasa Indonesia namun
mereka menyambut kami seperti layaknya keluarga sendiri.
Begitulah, pengalaman pertama saya
mengunjungi suku Baduy yang mengesankan. Semoga tidak untuk sekali ini saja. Saya masih berharap untuk berkesempatan mengunjungi perkampungan suku Baduy
dalam yang masih kental dengan adat istiadat itu. Semoga! [Wylvera W.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar