Melanjutkan
catatan yang tertunda lama memang sedikit menurunkan mood. Namun sayang
jika tidak dituntaskan. Sebelum memutuskan untuk berangkat ke Leiden, kami
sudah menyusun daftar destinasi. Salah satunya adalah berkunjung ke negara yang
dekat dengan Belanda. Yap! Belgia menjadi pilihan yang tepat. Kami pilih pula
Brugge sebagai tempat menginap agar mudah mencapai kota-kota terdekatnya.
Setelah puas merekam keindahan kota
Brugge, di hari kedua kami memilih Ghent sebagai destinasi lanjutan untuk
Belgia. Pagi itu udara sedang-sedang saja. Tidak terlalu cerah dan tidak pula
hujan. Kami bersiap menuju stasiun kereta Brugge. Jaraknya yang dekat membuat
kami tidak terlalu terburu-buru. Sekitar setengah jam perjalanan dengan kereta
dari Brugge, kami pun tiba di Ghent-Sint-Pieters, stasiun kereta Ghent.
Penyebutan Ghent berasal dari Bahasa
Inggris. Sedangkan dalam Bahasa Belanda disebut Gent, Bahasa Prancis
menyebutnya Gand. Baiklah, kita pakai sebutan yang umum saja yaitu Ghent. Kota
Ghent terletak di wilayah Flemish yang dekat dengan perbatasan Prancis, sekitar
57 kilometer dari Brussels. Mungkin karena Brussels lebih terkenal, maka Ghent
sebagai salah satu kota di Belgia ini terlupakan oleh sebagian wisatawan yang
berkunjung ke Belgia.
Di depan stasiun kereta Gent-Sint-Pieters |
Pic: dokumen pribadi |
Begitu sampai, sangat jelas terlihat bahwa kota ini sudah sangat tua. Namun bangunannya justru menyimpan daya magnet untuk ditelusuri. Peradaban di Ghent sudah diawali sejak abad keenam. Bangunan-bangunan megah yang mendominasi sudut-sudut kota telah berdiri sejak abad pertengahan. Kota ini ternyata tidak kalah memikat dari Brugge maupun Brussels yang pernah kami kunjungi. Gaya arsitektur dari abad pertengahan menjadi magnet sudut-sudut kota Ghent.
Selain
naik bus untuk mencapai pusat kotanya, kita bisa melanjutkan wisata dengan
berjalan kaki atau menyewa sepeda. Jika ingin menikmati kota dalam nuansa yang
sedikit romantis, silakan memilih berperahu di sepanjang Sungai Leie untuk menyusuri
keindahan kota Ghent. Saya, suami dan putri kami Yasmin lebih memilih berjalan
kaki.
Katedral St. Bavo
Bangunan pertama
yang kami lihat adalah Katedral St. Bavo yang bergaya Gothic dan Baroque. Katedral
ini memiliki menara setinggi 89 meter. Di dalamnya tersimpan karya seni
terkenal yang disebut sebagai Altar Gent. Menurut Wikipedia, altar dari abad
ke-15 yang sangat besar dan disimpan di Katedral ini, mulai dibuat oleh seniman
bernama Hubert dan Jan van Eyck pada abad pertengahan (1420-an). Diselesaikan
sebelum tahun 1432. Katedral ini juga merupakan tempat Keuskupan Ghent.
Katedral St. Bavo tampak samping atau belakang ya ini. 😊 |
Kami tidak masuk
ke dalam Katedral karena ingin memanfaatkan waktu untuk melihat bangunan
bersejarah lainnya di Ghent. Karena jarak antara bangunan satu dan lainnya
tidak begitu berjauhan, kami tetap berjalan kaki untuk menyusuri kota Ghent
yang hari itu ramai dikunjungi wisatawan.
Belfort
van Gent
Dari
gedung Katedral berpindah ke Belfort Van Gent, warisan dunia UNESCO yang
memiliki menara setinggi 91 meter. Menara ini menjadi salah satu menara tertinggi
di Belgia dan Prancis. Awalnya menara ini dibangun sebagai menara pengawas.
Kemudian berubah fungsinya menjadi menara lonceng dan menara jam.
Velfort van Gent (pic: pribadi) |
Menara
ini dibangun pada tahun 1313 dan selesai pada tahun 1380. Naga perunggu yang
diletakkan di puncak menara kabarnya dibawa dari Brugge. Menariknya, jika memiliki
waktu panjang, pengunjung bisa naik ke atas menara untuk menikmati pemandangan
kota Ghent. Kami memilih memandang ketinggian menara dari luar saja. Sebab kami
ingin melanjutkan melihat bangunan bersejarah lainnya.
Graventeen Castle yang menyimpan kisah panjang.
Sambil
menikmati kota dengan berjalan kaki, kami pun sampai di landmark kota
Ghent, Gravensteen Castle. Kastil ini merupakan tempat wisata paling populer di
Ghent. Kastil yang berlokasi di tengah kota ini dibangun pada abad ke-21 oleh
Count Philippe dari Alsace. Philippe dari Alsace merupakan seorang Comte
Flandria dari tahun 1168 sampai 1191.
Graventeen Castle (pic: dokpri) |
Gravensteen dikenal
sebagai “Castil of the Count”. Count sendiri maksudnya adalah wilayah atau yang
dikenal sebagai county atau sub unit dari pemerintahan daerah yang memiliki
yurisdiksi sendiri. Kalau di Indonesia kita mengenal sebutan “Keresidenan” yang
pada zaman kolonial Belanda sebelum berdirinya Republik Indonesia Serikat.
Menyimak sambil menunggu arahan tur |
Kembali
ke niatan kami mengunjungi landmark ini. Ada paket tur yang menyajikan kisah tentang kastil ini. Kisahnya diceritakan oleh dua tokoh sejarah, novelis Chretien de Troyes dan aristocrat Simon Saphi. Panduan
di tur ini membantu pengunjung mengeksplorasi sejarah kastil. Suara di headphone
menjelaskan berbagai aspek tradisi dan budaya
abad pertengahan. Tur ini tentu sangat interaktif untuk para wisatawan. Kami
memutuskan untuk mengambil paketnya.
Lumayan puas
karena durasi yang diberikan hampir sekitar dua jam. Sejarah pun dimulai dan
kami menyimak dengan baik dari alat bantu dengar yang diberikan. Kastil ini
pernah menjadi penjara dengan ragam praktik penyiksaan. Bukti-bukti dari
sejarah itu tersimpan rapi di dalamnya.
Kastil
Gravensteen dibangun pada tahun 1180. Philippe meniru kastil-kastil Tentara
Salib yang dilihatnya selama Perang Salib Kedua. Sebelum kastil ini didirikan,
di lokasi yang sama sudah ada kastil kayu yang telah ada dari sekitar abad
ke-9. Kastil tersebut berfungsi sebagai rumah Count Flandria, sebelum
ditinggalkan pada abad ke-14.
Ada beberapa tangga seperti ini untuk ruang-ruang lainnya |
Gravensteen
merupakan benteng abad pertengahan yang khas. Pangeran Flanders, Philippe dari
Alsace, membangun benteng pertahanan ini di akhir abad ke-12. Dilengkapi oleh
tangga berputar yang sedikit bikin saya pusing saat menaikinya. Ditambah dengan
ruang bawah tanah yang dikelilingi oleh tembok tinggi dan parit pelindung. Bangunan
ini kemudian berfungsi sebagai penjara dan kompleks industri yang diawali pada
abad ke-19. Kastil ini akhirnya dibuka untuk umum pada tahun 1907.
Yang bikin merinding berada di bekas ruang siksaan kastil. Sekarang berfungsi sebagai museum yang
didedikasikan untuk benda-benda yudisial. Antara abad ke-14 dan ke-18, kastil
ini digunakan untuk penyiksaan, penghakiman dan eksekusi tahanan. Kami melihat
baju besi, berbagai senjata, busur besar yang kokoh dan beragam sisa
peninggalan yang dijadikan koleksi museum. Menarik tetapi sempat bikin bulu
kuduk berdiri membayangkan penyiksaan seperti apa yang pernah dilakukan di kastil ini.
Berat juga ternyata baju besi ini |
Kami
terus menikmati announcer di headphone yang memaparkan sejarah
kastil secara runut. Dari ruang satu ke ruang lainnya, tak satu pun yang kami
lewatkan. Akhirnya kami sampai pada bagian atas bangunan yang terbuka. Dari
sana, pemandangan kota Ghent yang eksotis pun terlihat dengan sempurna. Tidak
mungkin untuk tidak mengabadikan momen ini dalam kamera. Klik! Klik! Puluhan
foto pun tersimpan rapi di smartphone kami.
Pemandangan dari Rooftop |
Another view from rooftop |
Jangan
takut ketinggalan momen tur. Gravensteen dibuka setiap hari sepanjang tahun. Gratis
hanya untuk anak di bawah 13 tahun. Usia di atasnya tentu saja berbayar. Hehehe
….
Groot Vleeshuis
Hari
masih terang. Kami melanjutkan eksplorasi kota Ghent. Ketika menyusuri tepian
kanal, kami menemukan Groot Vleeshuis, gedung dengan arsitektur unik yang
merupakan bekas pasar tertutup serta guild house (rumah serikat sekerja). Bangunan
ini juga dijadikan tempat pasar daging dan pemotongan hewan. Pada abad
pertengahan, penjualan daging dipusatkan di aula atau rumah daging untuk
mengendalikan penjualan daging. Penjualan
daging di rumah dilarang pada masa itu. Setiap kota di abad pertengahan
memiliki satu atau lebih rumah daging seperti ini.
Sisi sebelah kiri itu Groot Vleeshuis |
Kanal cantik di Ghent yang tak sempat kami susuri |
Bangunan aula yang unik ini dilindungi sebagai monumen
pada tahun 1943 dan mengalami restorasi pada akhir tahun 90-an. Bangunan ini
sekarang digunakan sebagai pusat promosi untuk produk regional Flemish Timur.
Makan siang sebagai penutup perjalanan di
Ghent.
Setelah
mengakhiri eksplorasi, hari sudah sore. Kami baru sadar kalau belum makan
siang. Pantaslah suara-suara aneh mulai terdengar sesekali dari perut ini. Hahaha
….
Kami lanjutkan perjalanan kembali mencari
restoran halal yang pas untuk kami. Sambil melihat-lihat kembali beberapa
arsitektur bangunan dan kafe-kafe yang ramai. Akhirnya kami menemukan “Restoran
Ali Baba” yang lokasinya masih di seputar kota.
Ekspresi lapar itu memang aneh 🤠|
Diizinkan moto sama chefnya |
Perut
yang sudah lapar tidak bisa lagi diajak kompromi. Kami masuk ke restoran lalu
memilih tempat duduk yang dekat dengan jendela. Dengan pelayanan yang sangat
ramah, rasanya menu yang memancing selera di buku daftar menu pun ingin dipesan
segera. Hidangan di restoran ini dijamin kehalalannya.
Siap disantap 😅 |
Santap
siang yang mengenyangkan dan sangat memuaskan selera. Kami seolah lupa bahwa
lidah kami lidah Asia. Habisnya sedap sih semua yang dipesan. Hahaha ….
Dan inilah akhir kunjungan kami ke Ghent.
Setelah ini, in shaa Allah saya lanjutkan dengan Brussels dan Antwerpen, mungkin
dalam satu catatan sekaligus.
Sabar menunggu ya. [Wylvera W.]