Di awal menulis catatan perjalanan ke Turki ini, saya terlupa memberi satu informasi. Terkait dengan pandemi Covid-19, tentu ada yang bertanya-tanya tentang keamanan melancong di negeri itu. Setelah pandemi yang berkepanjangan, akhirnya pariwisata Turki perlahan bangkit kembali di masa New Normal. Sertifikasi pariwisata sehat yang telah diberlakukan di beragam sektor penunjang pariwisata (penerbangan, bandara, penginapan, transportasi umum, objek-objek wisata, dan restoran), sukses menarik minat turis untuk kembali menjadikan Turki sebagai destinasi perjalanan wisata. Ini terbukti ketika saya melihat begitu ramai wisatawan yang tersebar di tempat-tempat yang kami kunjungi. Maka, tidak salah jika rombongan kami pun tergiur ingin berkunjung ke negeri itu.
Sudah siap
menyimak cerita saya berikutnya?
Baiklah, mari kita
mulai. Selepas seharian merekam jejak peradaban di Ephesus dan Hierapolis, tour
leader kami kembali membawa kami untuk beristirahat di Hotel Tripolis yang ada
di Pamukkale. Hari yang melelahkan tentu saja mengantarkan kami pada tidur nyenyak
dengan mimpi-mimpi indah. Masih mengikuti kesepakatan pembagian kamar. Saya pun
masih sekamar dengan bestie tim redaksi Majalah Insani. Ini malam
terakhir kami ternyata. Esok malam, saya akan tidur bersama bestie
lainnya. Bukannya tidak setia ... hahaha, tetapi kesepakatan itu dibuat agar kami bisa
menyatu satu dengan lainnya.
Saya sempat
teringat salah satu kisah Khalifah Umar bin Khattab rhadiyallahu’anhu. Dalam
kisah itu dikabarkan bahwa salah satu cara untuk mengetahui jati diri seseorang
dibutuhkan beberapa hal, salah satunya adalah dengan bersafar. Orang-orang yang
bersafar seringkali menghadapi berbagai hal yang tidak menyenangkan. Mulai dari
rasa lelah, lapar, gelisah, sulit tidur, dan situasi tidak nyaman lainnya yang
akan memaksa memunculkan sifat aslinya. Berdasarkan kisah Umar tersebut kita
dapat mengambil hikmah bahwa kriteria seorang sahabat yang baik adalah;
berakhlak mulia, wara’ (menjauhi hal-hal yang dimurka Allah), dan amanah
(jujur). Rasanya kami mampu melewati “ujian” safar itu di 3 malam
pertama dan 4 malam berikutnya. Alhamdulillah ....
Kembali ke cerita perjalanan kami.
Sesaat sebelum menikmati sarapan pagi di hotel itu, hati kami mendadak hangat oleh suguhan pemandangan di atas langit Tripolis. Balon-balon udara seolah mengerti bahwa kami masih menyimpan mimpi untuk menaikinya. Seakan memberikan semacam pemanasan. Dan rasanya tak mungkin kami lewatkan untuk mengabadikan momen itu. Klik! Klik! Beberapa sudut pengambilan foto tersimpan cantik di hape.
Restauran di hotel |
Menurut Billy,
salah satu tour leader kami, hari ini kami akan melalui perjalanan
panjang menuju Cappadocia. Jarak tempuh dari Pamukkale menuju kota impian itu
akan menghabiskan waktu sekitar sembilan jam. Maka, untuk memulai hari yang
akan menguras energi, kami pun memanfaatkan hidangan santap pagi sesuai
kebutuhan.
Sesaat sebelum meninggalkan hotel |
View dari area hotel |
Sebelum berangkat menuju destinasi berikutnya, kami masih menyempatkan untuk berfoto di sekitar hotel. Saya ingat kalau punya janji pada Billy. Buku bacaan anak berjudul "Teka-Teki di Museum Louvre" karya saya yang sehari sebelumnya ikutan berfoto di Hierapolis, saya hadiahkan untuk putra dan putri Billy. Semoga dua ananda suka dengan cerita di buku itu.
Belanja lagi, makan lagi.
Dalam perjalanan berikutnya kami diajak mampir ke dua toko yang menjual aneka
busana, tas, sepatu, jilbab serta banyak lagi. Persinggahan ini demi mengisi
durasi dan jarak tempuh yang lumayan jauh.
Meskipun
isi koper sudah menunjukkan tanda-tanda sesak, hasrat berbelanja ternyata jauh
lebih kuat godaannya. Ada yang membeli kaus, sepatu, jaket, bahkan jilbab
diskonan seperti saya. Yihaaa! Yang penting judulnya, belanja lagiii! Urusan
kelebihan bagasi nanti sajalah. Hahaha ….
Hamparan lavender |
Setelah
sesi belanja part kesekian, bis yang membawa kami pun kembali melaju
melewati jalanan dengan hamparan tipis-tipis lavender. Tidak begitu rimbun
namun warna ungunya tetap memancarkan warna berbeda. Lavender yang berasal dari
Prancis ternyata tumbuh juga di Turki. Bahkan ada lokasi lavender yang tumbuh
subur, namun kami tidak sempat mampir ke sana.
Peta Turki yang dipajang di dalam bis kami |
Tanpa
terasa, waktu makan siang sudah mefet. Kami pun kembali mampir di salah satu
restoran untuk menikmati hidangan makan siang berikutnya. Kali ini, menunya
lumayan cepat akrab di lidah. Teksturnya seperti pizza. Aaah! Minim
sekali pengetahuan saya tentang jenis makanan Turki ini. Maaf ya, Mr. Erdogan.
Hehehe ….
“Eh,
kok enak ya? Mau lagi dong!”
“Ini
lumayan enak nih makanannya.”
“Cuma
butuh saus sambal aja.”
Celotehan
di meja makan mewarnai kebersamaan kami. Efek gembira bisa makan dengan nyaman,
berakhir pada sesi foto-foto di meja makan dengan sisa-sisa hidangan yang
nyaris kandas. Klik! Klik! Wajah-wajah kenyang pun terabadikan di ponsel.
Singgah di Karavanserai
Sultanhani
Turki
merupakan salah satu negara tertua di dunia. Itu sebabnya, negeri ini banyak
sekali menyimpan sejarah masa lalu, baik itu dari kisahnya maupun bangunannya.
Salah satunya adalah Karavanserai Sultanhani, peninggalan Kesultanan Turki
Seljuk yang masih bisa dijumpai di Kota Konya, Turki.
Lokasi
bangunan Karavanserai Sultanhani menjadi santer dan melegenda karena letaknya
berada pada jalur utama perdagangan sutra Turki ke tempat-tempat lain. Bangunan
yang juga dijuluki sebagai hotel gratis ini dulunya dijadikan sebagai tempat
peristirahatan para pedagang dan karavannya setelah menempuh rute panjang.
Jika
dilihat dari sisi luar, karavanserai ini, tampak sama saja dengan bangunan tua
di Turki pada umumnya. Bentuknya yang persegi panjang dengan dinding batu yang
tinggi, menjadi ciri khas bangunan di Turki. Gerbangnya yang lumayan besar,
terdapat gapura dengan dekorasi berbentuk melengkung dan tersusun sedemikian
rupa.
Tak puas hanya
melihat sisi bangunan luarnya saja, tiga orang dari rombongan kami memilih
masuk dengan membayar 10 Lira. Murah sekali ya? Entahlah, saya juga heran.
Keheranan saya langsung lenyap saat melihat bagian dalam karavanserai ini.
Arsitektur bangunan yang tinggi dengan
kualitas bahan yang saya sendiri tak paham jenisnya. Yang pasti, saya
terkagum-kagum.
Sembari berfoto,
saya sempat menyapu pandangan ke seluruh area bangunan karavanserai ini.
Terdapat beberapa ruang seperti kamar. Mungkin kamar-kamar itu dulu digunakan
sebagai tempat beristirahat para pedagang dan musafir. Ingin rasanya
mengeksplor lebih banyak lagi, namun waktu kami tidak cukup.
Saat ini,
Karavanserai Sultanhani yang dibangun pada abad ke-8 Masehi ini, menjadi daya
tarik para wisatawan. Jika dahulu kala dijadikan tempat persinggahan dan
bertemunya para pedagang, kini menjadi lokasi kunjungan bagi wisatawan yang
melintasi wilayah Konya, Aksaray, sebelum melanjutkan perjalanan menuju
Cappadocia.
Dari sejarahnya,
ternyata bangunan ini pernah mengalami kebakaran. Beberapa bagian bangunannya
kemudian direnovasi pada tahun 1278. Tentu saja Karavanserai ini bisa diakses
dari beberapa tempat. Tergantung di mana anda memulai perjalanan saat melintasi
bangunan bersejarah ini.
Tiba di Cappadocia
Perjalanan panjang melewati waktu tempuh sekitar sembilan jam, semakin mendekati Cappadocia. Pemandangan di sisi kanan dan kiri jalan menambah rasa penasaran saya. Berharap esok agenda kami bisa terpenuhi dengan paripurna.
Yang terekam dari balik jendela bis |
Hingga akhirnya tibalah kami di Cappadocia. Kota yang menjadi salah satu mimpi saya ketika memutuskan untuk melancong ke Turki.
Banyak cerita seru yang ingin saya simpan di blog saya ini. Siapkan diri untuk
menyimak keseruan kami di Cappadocia. Sampai jumpa! [Wylvera W.]